Share

2. Tertangkap Basah

Hania terdiam. Mencerna apa yang diucapkan oleh Zico. Benar, ia memang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan wanita yang dinikahi Daviandra. Mahasiswi dari fakultas bahasa Inggris itu adalah seorang putri kesayangannya keluarga kaya raya, sedangkan dirinya? Hanya tinggal di kos-kosan kecil tak jauh dari kampus. Meskipun dari segi pisik ia tak kalah cantik, tetap saja ia kalah jauh dari sisi-sisi yang lainnya.

Larasati yang ke kampus setiap harinya selalu memakai mobil mewah, berteman dengan orang-orang yang sama terpandangnya di kampus, sangat jauh dengannya yang harus bekerja setiap malam sebagai pelayan di salah satu kafe. Berasal dari keluarga yang kurang mampu membuat Hania harus ekstra kerja keras, demi melanjutkan hidupnya di kota orang. Jangankan bergaya, ataupun membeli kendaraan, untuk makan saja setiap harinya ia kesusahan. Menjadi mahasiswa bidik misi tak membuatnya ditanggung segala kebutuhannya secara finansial terlebih yang di luar urusan kampus.

Awal masuk kuliah dulu, Hania dipertemukan dengan seorang pria berbeda kasta dengannya. Daviandra, seniornya di fakultas yang sama, putra sulung dari seorang wakil rektor tiga yang disegani di kampus tersebut. Lahir di tengah keluarga yang berkecukupan tak membuat Daviandra angkuh. Bahkan tak jarang pria itu juga mendukung Hania dari berbagai sisi. Hal itulah yang membuat Hania merasa nyaman dengan sosok Daviandra. Hania merasa dicintai oleh Daviandra, begitupun sebaliknya.

“Jika kau masih punya harga diri, sekalipun kau yang lebih dulu memiliki Daviandra, kau harusnya mengalah. Drajat istri sahnya Daviandra lebih tinggi darimu yang hanya sebatas kekasih tetapi tak dinikahi,” cemooh Zico.

Hania benar-benar dibuat geram dengan ucapan-ucapan yang sedari tadi meluncur dari bibir ketua MPM tersebut. Zico memang terkenal tegas, setiap kali terjadi aksi di kampus beberapa kali ia yang memimpin. Ketika orasi pun, suara Zico sangat tegas dan berhasil membuat nyali yang mendengarnya menciut. Ternyata, memang tak hanya di lingkup demo saja, ketika berbicara begini, pun sama tajamnya lidah pria itu.

“Sudah cukup! Itu semua bukan urusanmu. Sebaiknya jadi manusia jangan terlalu ikut campur urusan orang lain. Dan ya, terserah kau mau menilaiku seperti apa. Hidupku tidak perlu penilaian dari orang sepertimu. Dasar penguntit!” sungut Hania dengan nada ketus.

Baru saja beberapa langkah Hania berjalan, semua itu harus kembali terhenti dengan jarak beberapa meter lagi menuju pintu keluar. Sebab Zico tertawa sembari bertepuk tangan beberapa kali.

“Hebat, hebat ... pelakor yang menganggap dirinya paling benar,” ejek Zico. Lagi-lagi hal itu membuat Hania mengepalkan tangannya.

“Zico!” Hania berteriak sangat keras.

“Ssst, jangan berteriak pada seniormu. Belajarlah sedikit akan sopan santun,” tegur Zico dengan suara yang sama menyebalkannya seperti tadi.

“Maaf, tapi aku hanya akan menghargai manusia yang pandai memanusiakan manusia lain,” balas Hania angkuh.

Zico pun terkekeh dengan suara rendah. Pria itu beranjak dari posisinya, dan mulai melangkah menghampiri Hania.

“Dengar Hania, aku tidak akan ikut campur urusan pribadi mu selagi itu tidak merugikan keluargaku,” ucap Zico berubah dengan nada serius.

“Keluargamu? Memangnya aku merugikan keluargamu dalam hal apa?” Kemarahan Hania yang semula menggebu perlahan menyurut seiring rasa penasaran yang mulai melandanya.

“Larasati adalah adikku.”

Deg!

Untuk kedua kalinya, Hania harus ditampar kenyataan yang mengejutkan. Jika sebelumnya ia terkejut karena sosok Zico yang mengetahui hubungannya dengan Daviandra, maka kini ia semakin bertambah terkejut karena satu fakta bahwa Larasati, wanita yang telah dinikahi kekasihnya itu adalah adik dari pria yang sedari tadi merendahkannya. Sekarang ia paham, mengapa Zico sampai bersikeras seperti tadi.

“Ck. Itu berarti, Daviandra si bajingan itu ... adalah adik iparku,” sambung Zico dengan nada sangat kesal. Pria itu memang tak terlalu setuju dengan keputusan orang tuanya, mengingat ia tahu betul siapa Daviandra, si ketua Himpunan Mahasiswa di fakultas ekonomi dan bisnis yang jarang terlihat bergaul dengan wanita. Sayang sekali, adik bungsunya malah setuju lantaran telah lama menyukai Daviandra.

“Jaga ucapanmu! Daviandra bukan pria seperti itu!” hardik Hania yang merasa tak terima nama kekasihnya dijelek-jelekkan.

Mendengar pembelaan dari gadis di hadapannya, Zico tertawa. Benar-benar pasangan serasi pikirnya. Sama-sama pengkhianat. Dan untuk menutupi kebusukan mereka, keduanya pun kompak mendukung satu sama lain. Pikirnya.

“Ya terserah kau saja. Mana ada pria baik-baik yang berselingkuh di belakang istri sahnya,” gumam Zico.

“Lihat, ketua MPM yang mereka agung-agungkan ini, tak lebih dari seorang yang pandai merendahkan martabat orang lain.” Hania menatap Zico dengan tatapan benci. Entahlah, sejak awal tadi rasanya ia sudah ingin balas memaki pria ini. Hanya saja, ia tetap menahannya.

“Terserah kau saja. Intinya, si bajingan itu harus tetap bertanggung jawab pada adikku yang telah dia nikahi,” balas Zico acuh tak acuh.

“Jika kekasihmu bukan Daviandra, aku tak peduli. Tapi ini menyangkut adikku. Jadi jangan coba-coba bermain denganku, Hania.” Zico memperingati Hania yang sedari tadi bergeming seolah belum mampu berdamai dengan satu kenyataan yang baru saja ia ketahui.

“Satu Minggu, aku pikir terlalu lama untukmu bisa mengakhiri hubunganmu dengan Daviandra. Jauhi dia setelah itu. Biarkan dia hidup bahagia bersama adikku. Jika kau masih berani mengusiknya, ada akibat yang harus kau bayar.”

Ucapan yang dilontarkan Zico benar-benar menusuk hati terdalam Hania. Bagaimana mungkin pria itu memintanya dengan paksaan, seakan semuanya adalah hal yang mudah. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuknya dan Daviandra. Lagi pula, di sini ia korban, bukan pelakunya. Dirinya yang paling tersakiti daripada gadis bernama Larasati itu. Tapi mengapa seolah ia yang jadi pemeran antagonis di sini?

“Tidak selamanya cinta harus memiliki ... terkadang, cinta juga mengajarkan kita untuk ikhlas,” ucap Zico sebelum melenggang pergi dari sana meninggalkan Hania dengan tubuhnya yang lemas.

Sepeninggalan Zico, tubuh Hania benar-benar luruh bersamaan dengan isak tangisnya.

“Kenapa serumit ini, sih!” Hania mengerang frustrasi dengan keadaannya. Bohong jika ia tak mencintai Daviandra lagi setelah pria itu resmi menikah. Yang namanya perasaan cinta, tak akan hilang dengan mudah seperti membalikkan telapak tangan, apapun keadaannya.

Ting!

"Yaampun, lihat ... seakan semuanya sengaja membuatku menyerah," gumam Hania setelah membaca pesan pemberitahuan, bahwa dosen kedua yang sempat berhalangan tadi, ternyata jadi masuk beberapa menit lagi.

Lelah dengan tangisan dan juga keluhannya, Hania pun bangkit dan segera pergi dari sana. Sebentar lagi, ia akan memasuki jam kuliah kedua. Sebisa mungkin jejak air mata di wajahnya harus hilang, dan jangan sampai membuat Ana bertanya padanya. Berkilah pada gadis itu bukanlah hal yang mudah.

“Astaga, Hania. Darimana saja kamu. Untung bukan Pak Alga yang masuk, kalau sampai dia, bisa-bisa kamu enggak diizinkan masuk!” omel Ana.

Saat itu Hania memang sedikit terlambat masuk kelas, lantaran harus ke toilet untuk membasuh wajahnya.

“Kenapa natap aku begitu?” tanya Hania gugup. Pasalnya, Ana memandangnya tanpa berkedip seperti sedang mengamati sesuatu.

“Kamu habis menangis ya? Ada apa, Han?”

“Dan, ya ... tadi aku tidak sengaja melihatmu bertemu dengan Kak Zico, ketua MPM itu. Kamu kenal sama dia?” Ana menatap Hania dengan tatapan penuh selidik. Hal itu berhasil membuat Hania gelagapan tak karuan.

Sial, padahal tadi ia pikir tak ada yang melihat mereka saat berjalan menuju ke gudang. Dan parahnya, yang menangkap basah adalah Ana, sahabatnya yang sering kali tak berhasil ia bohongi.

“Jawab Hania! Malah bengong!” Ana mendesak Hania dengan tak sabaran.

“Oh, i-itu ....”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status