Share

3. Hubungan Terlarang

Selepas menuaikan kewajibannya, Hania segera bersiap untuk pergi ke tempat ia bekerja. Tak lama, ia hanya akan bekerja selama kurang lebih 4 jam dan akan kembali pukul 11 malam nanti. Tergantung bagaimana kepadatan pengunjung saja.

Hania bekerja dengan sepenuh hati. Tak pernah ada pelanggan yang komplain atas pelayanannya di sana. Sikap hati-hati dan ramahnya selalu ia terapkan tiap kali berhadapan dengan para pelanggan kafe dari berbagai kalangan.

Namun, untuk pertama kalinya malam ini, ia melakukan sebuah kesalahan. Untung saja pelanggannya tidak memiliki sikap angkuh yang keras dan berprinsip pelanggan harus selalu dirajakan.

"Maaf, Bu. Saya tidak sengaja. Sekali lagi maaf, Bu." Hania meminta maaf secara berulang-ulang kepada wanita setengah baya yang masih terlihat sangat cantik tersebut.

"Tidak apa-apa, Nak." Wanita yang tak diketahui namanya oleh Hania itu tersenyum tipis.

Kelegaan seketika menghampiri perasaan Hania. Ternyata tak semua orang kaya itu angkuh. Buktinya, ibu-ibu yang pakaiannya tak sengaja ketumpahan cafucino itu, tidak marah, atau memaki-makinya. Padahal, dari penampilannya saja Hania bisa menilai, ibu-ibu itu pasti bukan orang dari kalangan biasa.

Hania menghela napas, sembari membersihkan meja yang sedikit basah karena tumpahan kopi. Kesalahan yang ia perbuat bukan tanpa alasan, melainkan karena sosok Zico dengan seorang gadis di meja 06 tepatnya samping ibu-ibu baik hati tadi. Perempuan cantik di samping Zico saat itu tentu bukanlah kekasih pria itu, melainkan adik kandungnya, Larasati Navares.

Saat itu, Larasati sedang melakukan panggilan video bersama seorang pria yang ia yakini adalah Daviandra, suami gadis itu. Ya, Daviandra lebih pantas disebut suami Larasati, daripada kekasih dirinya. Miris sekali. Menjadi orang kalangan bawah memang harus selalu dipaksa mengalah dalam segala hal.

"Ku kira api saja yang panas, ternyata yang sebelah juga panas," celetuk Zico sembari melirik Hania singkat.

"Panas? Apa yang panas, Kak?" Terdengar suara Larasati yang begitu merdu, bertanya pada kakaknya.

Meskipun tidak disebutkan namanya, Hania yakin betul yang sedang disinggung oleh Zico kala itu adalah dirinya.

Setelah selesai dengan tugasnya, Hania pun segera pergi dari sana. Mau tak mau ia juga melewati meja Zico dan adiknya.

"Jaga suamimu baik-baik, zaman sekarang banyak pelakor berkedok perempuan lugu," ucap Zico tiba-tiba yang berhasil membuat langkah Hania terhenti untuk beberapa detik saja.

Zico tak serta merta menasihati adiknya, Hania tahu itu. Ternyata, tak hanya perempuan, pria pun ada yang mulutnya pedas melebihi boncabe level max.

Hania berakhir melamun di dekat meja barista. Diam-diam Hania menatap Larasati dari jarak yang lumayan jauh. Dan tanpa diminta, ia membandingkan dirinya dengan perempuan cantik itu tanpa sadar.

Haruskah ia melupakan Daviandra seperti perintah Zico? Satu pertanyaan itu terbesit dalam benaknya.

Akan tetapi, ingatannya kembali berputar pada kejadian siang tadi. Di mana Daviandra memohon dengan wajah putus asa, memintanya agar tak pergi meninggalkan pria itu.

Hania menarik napasnya dalam, kemudian ia hembuskan perlahan. Ia benar-benar sangat bingung. Di situasi seperti ini, ia tak bisa menyalahkan Daviandra. Pria itu sama sekali tak salah. Selama dua tahun bersama, Daviandra tak pernah menyakitinya apalagi selingkuh dan bermain perempuan. Pria itu sangat setia dan baik hati. Dua hal itulah yang membuat Hania akhirnya membuka hati pertama kalinya untuk seorang laki-laki.

Mendapatkan Hania bukanlah hal yang mudah untuk seorang Daviandra. Hampir dua bulan pria itu mengejar sosok Hania yang kerap kali menolaknya hanya karena alasan kasta mereka yang berbeda, tetapi Daviandra akhirnya berhasil setelah menyakinkan Hania berulang kali, bahwa kekayaan bukanlah perbedaan apalagi penghalang.

Hania menghela napasnya lagi, ketika teringat momen-momen tersebut. Rasa sesak kembali menyerangnya saat teringat akan kekasihnya yang kini telah dimiliki wanita lain. Wanita yang setiap harinya akan berdekatan dan lebih berhak akan Daviandra.

"Han, kenapa? Ada masalah ya, kelihatannya kamu tertekan banget?"

Pertanyaan dari salah satu rekan kerjanya, membuat Hania lantas menoleh lalu menggeleng.

"Enggak ada kok, cuma urusan kuliah saja," jawabnya sedikit berkilah. Rasanya ia tak mungkin membagi masalahnya kepada orang lain sekalipun itu temannya bekerja. Hanya teman, yang berarti tetap orang asing. Bukanlah hal yang pantas mengetahui privasi dirinya.

"Oh, kirain. Kalau ada apa-apa, cerita saja, Han." Perempuan bernama Mika itu menepuk pundak Hania.

"Iya, terima kasih ya, Ka."

Ucapan terima kasih Hania dibalas anggukan juga senyum oleh Mika.

Hania benar-benar tak sepenuhnya fokus pada pekerjaan hari itu. Beruntung keadaan kafe tak terlalu ramai seperti biasa, lantaran cuaca yang kurang mendukung malam itu. Rintik-rintik air hujan mengguyur bumi pertiwi, membatasi ruang gerak bagi sebagian orang.

Setelah melayani tiga pelanggan di meja berbeda, Hania memutuskan untuk pergi ke toilet. Di sana, Hania membasuh wajahnya. Ia melihat dari pantulan cermin, kelopak matanya sedikit berwarna coklat. Wajar saja, beberapa hari terakhir ini ia tak bisa cepat tidur lantaran memikirkan nasib dan meresapi rasa sakit hatinya. Tentu saja, siapa yang tak akan terluka saat tahu seorang yang sangat dicintainya, telah resmi menjadi milik orang lain di tengah hubungan mereka yang baik-baik saja. Rasanya seperti mimpi buruk.

Hania merasa bimbang kali ini. Ia ingin berusaha mengikhlaskan Daviandra, seperti perintah Zico siang tadi. Sejujurnya, apapun yang dikatakan oleh Daviandra, ia tak bisa percaya sepenuhnya begitu saja. Pria itu memang akan bertindak, tetapi siapa yang tahu jika tindakannya itu gagal bukan? Intinya, Hania tak ingin berharap pada sesuatu yang tak pasti, yang pada akhirnya akan sia-sia saja.

Namun, di lain sisi ia merasa tak tega pada Daviandra. Ditambah ia juga merasa tak enak pada pria itu yang telah membantunya selama mereka menjalin hubungan.

Banyak hal yang dilakukan Daviandra untuknya. Termasuk mengantar jemputnya bekerja, meminjamkan laptopnya untuk tugas kuliah, atau bahkan kadang juga membantunya mengerjakan tugas saat ia kesulitan. Mengingat Daviandra pun berasal dari fakultas yang sama, tetapi angkatannya yang berbeda.

Tak munafik, Hania juga kadang menerima uang dari kekasihnya tersebut. Tapi perlu diingat, ia tak meminta, pria itulah yang kerap kali memaksanya dan mengatakan bahwa itu adalah tugasnya sebagai pria yang menyayanginya. Katanya, tak ada seorang pun yang akan membiarkan orang yang dicintainya kesusahan.

Sokongan yang dilakukan Daviandra, membuat Hania merasa perlu membalas budi pria itu dengan kemampuannya yang hanya bisa memberikan cinta tulus tanpa syarat.

"Bagaimana ini, ya Allah." Hania mengusap wajahnya gusar. Jika tak mengingat kuliahnya dari bantuan beasiswa, mungkin ia lebih baik memilih integritas di kampus lain saja agar terhindar dari semua masalah dan tekanan ini.

Merasa telah lama berada di dalam, Hania memutuskan untuk segera menyudahi aktivitasnya.

Ceklek!

Bunyi dari pintu yang ditarik oleh Hania memenuhi penjuru toilet yang sepi kala itu.

"Argh!" Hania terkejut saat berbalik selepas menutup pintu, ia malah menabrak tubuh kokoh seseorang. Saking kokohnya, ia bahkan sampai terdorong kembali kebelakang hingga punggungnya menabrak tembok.

"Kau!" Hania menatap tajam pada sosok Zico yang entah sejak kapan sudah berdiri di sana dengan ekspresi menyebalkan seperti biasa.

"Ya, kenapa?" jawab Zico tanpa beban.

"Kau menguntitku lagi?" tuduh Hania dengan bola mata membulat marah.

"Ck. Tidak penting sekali. Salah aku ke sini? Di sini toilet yang bisa digunakan oleh setiap pelanggan, termasuk aku." Zico berdecak.

"Tapi Tuan Zico yang terhormat, ini toilet wanita, toilet untuk cowok di sebelah sana." Hania memutar bola matanya malas.

"Terima kasih atas pemberitahuannya, Nona Pelayan. Sayangnya, di sini ataupun di sana, tidak ada petunjuknya. Dan perlu kau ketahui, aku bukan cenayang yang bisa menebak siapa yang sedang berada di balik kamar kecil ini," ujar Zico.

Mendengar perkataan pria itu, Hania lantas menatap ke atas pintu toilet. Benar saja, tak ada perbedaan antara toilet wanita dan pria di sana. Gila, selama bekerja di sini ia kemana saja sampai tak menyadarinya.

"Fokuslah bekerja, Nona Pelayan. Jangan memikirkan hal yang tidak penting, apalagi sampai memikirkan suami orang."

"Dan, ya, jangan lupa, pikirkan cara bagaimana agar kau cepat bisa mengakhiri hubungan terlarangmu dengan adik iparku itu," lanjut Zico sebelum benar-benar menghilang di balik pintu toilet.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status