"Bekerja untukmu?" gumam gadis itu. "Yap, Kau tidak perlu berpikir bagaimana cara berdagang, mempertahankan pelanggan, putar otak untuk menutupi kerugian ... Semua yang harus Kau lakukan adalah melakukan apa yang kuperintahkan padamu, dan Kau akan mendapatkan banyak uang hingga merasa bahwa uang 200 juta itu hanyalah uang recehan belaka," tutur Chris yang dengan mengandalkan mulut manisnya mencoba untuk membujuk pencuri itu agar mau menjadi bawahannya. "Tidak! Aku tetap ingin 200 jutaku!" jawab gadis itu tanpa mempertimbangkan ucapan manis korbannya. Chris cukup terkejut mendengar jawaban tegasnya. Bukan karena penolakannya, tetapi karena betapa tegas dan ketusnya gadis itu menolak tanpa sedikit pun memikirkan ucapannya, dan bahkan dia juga tampak tidak tertarik dengan kata-kata manis serta wajah tampannya yang biasanya membuat wanita mana pun terpesona karenanya. "Meski Aku tidak bisa melihat wajahnya untuk memastikan ekspresinya, tetapi hanya dengan mendengar suaranya, Aku sa
Sementara itu di kediaman Michael Clifford. Setelah menyelesaikan urusannya dengan rekannya yang bekerja di kepolisian mengenai percobaan pembunuhan Hilde, detektif jenius itu langsung pulang ke rumahnya, tempat teraman baginya dari telinga-telinga yang ingin tahu tentang apa yang ia rencanakan. Pria itu tengah duduk di kursi kebesarannya di depan televisi yang sedang tidak menyala. Semenjak sampai ke rumah, ia terus berbicara sendiri seperti orang gila, mengatakan isi kepalanya yang sulit dimengerti jika ada orang lain mendengarnya. Tangannya lalu merogoh saku celananya, dan dikeluarkanlah sebuah flashdisk berwarna keemasan dengan gantungan kelinci berwarna perak yang tampak lucu sekali. Pandangannya tertuju pada benda itu. Saking fokusnya, pandangannya tampak kosong seakan ia benar-benar sedang tenggelam dalam lautan pikirannya. Melihatnya seperti itu, ditambah dengan ia yang berbicara sendiri membuatnya sungguh terlihat seperti orang yang tidak waras. "Benar-benar benda ini
"Anak ini, dia sepertinya tertarik pada mahasiswi baru itu," pikir Michael dengan perasaan kaget yang tak bisa dijelaskan. "Aku tahu dia punya kekasih saja sudah sangat kaget, apa lagi melihat raut wajahnya seperti ini ... bahkan raut ini bukan karena kekasihnya, tetapi karena gadis lain," sambungnya. Detektif jenius itu memandang dengan seksama reaksi tidak biasa putranya itu, serta menampakkan diri bahwa ia benar-benar tertarik akan gadis yang membuat anak lelaki satu-satunya itu tergerak hatinya. "Jadi, ada apa dengan gadis itu?" tanya Reynold yang penasaran dengan diamnya Michael. "Tidak ada yang aneh, Aku hanya penasaran dengannya. Kau tampak tertarik padanya ... jadi, bagaimana dengan gadis itu? Siapa namanya?" tanya Michael dengan nada meledek. "Dia gadis yang aneh, namanya Bella Valentine." Entah karena tidak menyadari Michael tengah meledeknya atau karena tidak peduli, Reynold menjawab pertanyaannya. "Wah, mengejutkan sekali," gumam Michael yang cukup terkejut denga
POV Wendy. Beberapa hari kemudian. "Hai Rey!" Aku langsung menyapa pemuda dingin yang tengah berjalan itu dari kejauhan. Tetapi Reynold tidak menggubrisnya. Ia tak berhenti hanya sekedar untuk memastikan aku yang memanggilnya. Tak mau menyerah, aku pun berlari kecil menghampirinya, lalu menepuk pundaknya dengan cukup keras sehingga hap itu cukup untuk membuatnya berhenti dan menoleh padaku dengan tampang datarnya. "Selamat siang, Reynold!" Aku menyapanya kembali sembari memasang senyum terbaikku pada pemuda itu. "Hm, pagi." Reynold menjawab sapaanku dengan malas. Terlihat ketus, tapi takapa, yang penting dia membalas balik sapaanku. Kami terdiam, dan saling menatap satu sama lain dengan raut wajah yang bersebrangan. Aku berusaha tampak ceria, sedangkan dia memandangku dengan datar, seakan tak tertarik dengan apa pun yang hendak kulakukan, meski dia tetap diam menungguku melakukan sesuatu. "Apa?" tanyanya pada akhirnya setelah sebelumnya ia hanya diam. "Hehehe. Tidak
"Hallo Rob!" Aku menyapa Robert dengan ceria. "Sedang apa Kau di sini? Tidak biasanya," tanyaku, berbasa-basi sebagai permulaan dari interaksiku dengannya. Pemuda itu tersenyum lebar, lalu mengambil tempat duduk di sampingku, kemudian meletakkan 2 buku di tangannya ke atas meja. "Well, tentu saja untuk meminjam buku. Nanti sore ada mata kuliah kriminologi dasar, dan ya ... di perpustakaan program studi-ku buku tentang kriminologi tidak selengkap di sini," tuturnya. Robert tampak memandang pada Reynold dan aku secara bergantian, seakan sedang memastikan sesuatu. "Em, Kalian sedang kerja kelompok kah?" tanyanya, memastikan. "Oh, kami-" "Kami sedang belajar BERSAMA, dan saat Kau datang, Kami sedang berada di tengah sebuah diskusi." Reynold tiba-tiba menyela perkataanku dengan penuh penekanan. "O ... oh. Apakah dia cemburu? Benarkah itu?" pikirku yang seketika merasa bahagia sekali melihat tingkah targetku itu. Robert tersenyum lebar, seraya berkata, "Well, kalau begitu, sep
Malam yang gelap gulita, kira-kira sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Waktu yang orang normal gunakan untuk tidur dan beristirahat setelah aktivitas mereka di siang hari. Namun, tidak dengan gadis cantik berambut hitam panjang bermata hijau ini, ia tengah berdiri memandang dingin seorang pria yang tergeletak di hadapannya dengan bermandikan sinar rembulan. Pria itu meringkuk di atas genangan darah yang berasal dari tubuhnya dengan luka menganga akibat tikaman diperutnya. Kulitnya sudah terasa dingin dan badannya kaku, dengan begitu dapat dipastikan bahwa pria itu sudah tewas. Gadis cantik itu tidak terganggu dengan mayat yang tergeletak di hadapannya itu, ia malah menatapnya dengan dingin tanpa ekspresi seakan hal itu bukanlah apa-apa baginya. "Ini terlalu mudah," gumam gadis itu sembari berlalu tanpa memedulikan apa yang baru saja dilihatnya. Wendy Madeline, itulah nama gadis dingin itu. Ia adalah salah satu anggota kelas menengah organisasi mafia Coltello.
Sepulangnya dari kantor Chris, Wendy langsung mengurung diri di ruang kerjanya yang sangat dipenuhi oleh kertas-kertas dan benang-benang merah yang ditempel di dindingnya. Kertas-kertas itu merupakan berkas-berkas mengenai target-targetnya dan benang merah berfungsi sebagai penghubung antara target dengan hal-hal lainnya. Selain itu di ruang kerjanya terdapat beberapa senjata seperti pistol, katana, pisau, dan lain sebagainya yang tersimpan rapi dalam lemari kaca, sungguh ruangan yang sangat menggambarkan sekali seorang eksekutor.Wendy duduk di kursi kebesarannya sembari membuka lembar demi lembar berkas informasi tentang targetnya kali ini, Reynold Clifford.Wendy sangat sulit sekali untuk fokus mempelajari berkas informasi targetnya, karena matanya selalu teralihkan pada potret targetnya yang sangat menawan itu. Merasa terganggu dengan foto itu, ia lalu berdiri dan menghampiri tembok yang masih memiliki ruang kosong dan menempelkan foto targetnya itu di sana."Bagaimana cara untuk
"Kenapa orang ini malah jadi mengikutiku?" pikir Wendy sembari melirik Reynold yang pada akhirnya malah ikut berjalan bersamanya menuju sebuah lapangan di dekat rumahnya."Nah Kita sudah sampai, Kau tadi bilang akan mengelilingi lapangan ini bukan?" tanya Reynold pada Wendy.Lapangan yang berada dekat dengan rumah Reynold itu saat ini terlihat tidak terlalu ramai, ada beberapa orang yang tengah duduk-duduk bercengkerama di lapangan, joging, atau hanya berjalan-jalan saja di sana. Lapangan yang ternyata tidak sepi itu membuat Reynold merasa lega, karena ia akhirnya bisa pergi dengan tenang."Di sini sepertinya tidak terlalu sepi, jadi Aku pulang ya," ucap Reynold yang langsung bergegas meninggalkan Wendy di lapangan.Wendy hanya diam melihat punggung Reynold yang kian lama kian menjauh, ia benar-benar tidak mengerti alasan mengapa Reynold ikut bersamanya ke lapangan dan tiba-tiba meninggalkannya sendirian di sana."Tunggu dulu! Apakah itu maksudnya dia hanya ingin memastikan Aku aman s