Risa tersenyum sendiri jika mengingat kecemburuannya beberapa saat yang lalu kepada Yesi. Sekarang dia sudah merasa lebih baik dan lebih plong karena satu pertanyaan yang bersarang di hati telah terjawab."Aku semakin mengagumi Kak Gilang karena kebaikannya. Kak Gilang ternyata bukan hanya baik kepadaku dan juga Dela, tapi juga kepada Yesi. Orang yang tidak dia kenal tapi dia beri pekerjaan dan obat untuk Ayah Yesi." Risa bergumam di dalam hati.Setelah memasak bersama, Risa lalu memanggil Dela untuk makan siang. Dela sempat menolak berkali-kali dengan alasan dia masih kenyang. Namun Risa tetap memaksanya makan karena dia tidak ingin jika Dela sakit karena banyak pikiran.Akhirnya Dela pun bersedia makan siang setelah Risa paksa untuk menyuapinya. "Kak Gilang nggak akan mau mengantarkan kamu ke penjara kalau wajahmu masih pucat seperti ini," ancam Risa kepada Dela dengan harapan Gadis itu bersedia menerima suapan darinya.Ancaman itu pun manjur. Dela akhirnya bersedia makan sehingga
"Pikir aja sendiri," sahut Risa seraya mengerucutkan bibirnya yang tertangkap oleh Gilang melalui kaca spion mobil.Wajah Dela sudah memudar pucatnya, tapi tubuhnya masih terlihat lemas. Wajahnya juga masih terlihat sembab."Ayang Beb, sepi banget lho, nggak ada kamu di kelas," ujar Gio membalikkan badannya menoleh ke belakang.Dela membisu, bahkan tidak menoleh sedikitpun."Ayang Beb, kasih tau Aak Gio, apa yang bisa Aak lakukan agar Ayang Beb bisa tersenyum." Gio menatap Dela dengan ekspresi konyolnya."Nyumpel mulut kamu," jawab Dela dengan tatapan kesal."Oh Tuhan, nasib aku kok malang amat Yaakk, udah punya Kakak dingin dan suka menindas. Eh, punya calon istri juteknya minta ampun." Gio mengomel sembari melirik Dela."Lo beruntung banget ya, Kak. Punya bini kayak Kak Risa. Udah baik banget, nurut, ngomognya juga lembut banget." Gio mendekatkan wajahnya pada Gilang."Jodoh itu cerminan diri Lo, kali Gi," ujar Gilang datar."Sebentar ... Sebentar." Gio memandang Risa dan Gilang ber
Dela kembali mendekati Tante Tika dan mencoba menenangkan perempuan paruh baya itu."Tidak, Bu. Ayah meninggal karena sakit. Kami menemukannya sedang sekarat." Dela mencoba meraih Tante Tika ke dalam pelukannya. Namun, di tepis oleh Tante Tika dengan kasar.Tante Tika tiba-tiba berdiri dari lantai dan mendekati Risa dan Dela yang sudah menegang karena bingung dan takut melihat sikapnya."Aku mau ke makam suamiku. Aku mau ke makam suamiku." Tante Tika kembali histeris, dan menangis sejadi-jadinya.Risa menoleh kearah Gilang untuk meminta pendapat. "Apa yang harus kita lakukan pada Tante Tika? Tante Tika adalah seorang tawanan di penjara, jadi tidak mungkin jika kita ingin membawa Tante Tika mengunjungi makam Om Herman." Risa menggigit bibir bawahnya.Risa memahami bagaimana perasaan Tante Tika yang tiba-tiba mendengar kabar kematian suaminya. Pasti sangat sakit."Kak apa yang harus kita lakukan?" Risa kembali bertanya kepada Gilang."Sebentar, Risa." Gilang meninggalkan Risa untuk mene
Tante Tika tidak mempedulikan perkataan Gilang. Dia tetap menodongkan pistol itu ke kening Risa membuat tubuh Risa seketika gemetar."Tidak, suamiku sudah mati. Maka Risa juga harus mati." Tante Tika berucap seraya hendak menarik pelatuk pistol tersebut.Ucapan Tante Tika benar-benar membuat Risa takut. Dia teramat sangat takut. Bahkan selama hidup di dunia ini, baru kali ini Risa merasakan ketakutan yang luar biasa. Terlebih, pistol semakin maju mendekati keningnya."Bu, Dela mohon, jangan bunuh Kak Risa, Bu ..." Dela berusaha melangkah maju, tapi di tahan oleh Gio.Dela berusaha membujuk Tante Tika untuk menurunkan pistolnya dari keningku."Tidak akan, Dela. Itu tidak akan terjadi. Aku akan membunuh Risa karena Risa yang telah membuat suamiku hidup menderita," sahut Tante Tika."Tante, saya berjanji akan memberikan apa pun yang Tante mau, asal jangan bunuh istri saya." Gilang mengusap kasar wajahnya. Gilang berjalan selangkah maju. Namun sepertinya ucapan Gilang sudah tidak berpenga
"Risa, Sayang." Risa mendengar suara itu memanggil namanya dan menepuk pipinya dengan pelan. Dia ingin terbangun, tapi rasanya sangat berat. Sehingga Risa kembali memejamkan mata.Sementara itu, Gilang menyugar kasar rambutnya. Dia menyesali keadaan karena tak mampu melindungi Risa dari jahatnya Tante Tika. Berkali-kali lelaki itu mengecup punggung tangan Risa dengan harapan istrinya itu segera bangun dan tersenyum seperti hari kemarin.Gilang yang merasa lelah akhirnya memejamkan mata di samping Risa dengan tangan yang memeluk telapak tangan Risa."Kak ...." Risa terbangun ketika mencium aroma obat . Dia memandang sekeliling. Dia melihat Gilang sedang duduk dengan kepala tertunduk disamping tangannya. Risa mencoba mengumpulkan kesadarannya. Dia merasa tidak percaya bahwa sosok yang saat ini tertunduk di sampingnya adalah Gilang. "Apa aku salah lihat? Rasanya tidak mungkin Kak Gilang begitu teramat sangat mencemaskanku." Risa memegangi kepalanya yang terasa sakit.Untuk memastika
Risa merasakan kenyamanan saat Gilang menggenggam erat tangannya. Perasaan takut yang tadi mendera perlahan menghilang menjadi perasaan hangat yang terlindungi. Sebenarnya ada banyak tanya yang bersarang di dada Risa, tapi dia takut pertanyaannya itu nanti akan membuat Gilang kembali marah dan kembali bersikap dingin kepadanya.Risa sudah merasa teramat nyaman dengan perlakuan Gilang hari ini. Dia tidak ingin moment bahagia itu hilang begitu saja hanya karena pertanyaannya yang mungkin akan merusak mood Gilang.Saat Risa masih menikmati kenyamanan berada dipelukan Gilang, tiba-tiba pintu kamar rumah sakit terbuka."Kakak ..." Dela datang dan berhambur memeluk Risa. Melihat Della yang tiba-tiba datang masuk ke dalam ruangan, lalu berhambur memeluk Risa, membuat Gilang melepas genggamannya dan menyingkir dari hadapan Risa. Gilang mempersilahkan Della duduk di kursi tepat disamping istrinya. Dia tahu Ada banyak hal yang ingin dibicarakan oleh Della dan Risa. Gilang memberi ruang pada D
Namun, seketika senyum itu memudar dari bibirnya ketika mengingat bahwa ini hanya pura-pura. Hanya sandiwara. Risa tertunduk tanpa berani menatap siapa pun. Risa tidak berani terlalu banyak berharap karena memang pada kenyataannya Gilang tidak pernah mencintainya. Lelaki itu hanya mengatakan cinta kepadanya didepan banyak orang karena demi memperlihatkan kewibawaannya dan posisinya sebagai suami yang romantis.Sebagai seorang istri, Risa harus mengikuti kemauan Gilang. Dia tidak peduli meskipun pada akhirnya dia akan merasa tersiksa dengan sendirinya. Risa akan coba menyelami dan memahami bahwa semua ini adalah sebuah ujian yang akan indah pada waktunya."Siang ini Nona Risa sudah boleh pulang. Jaga kesehatan ya, Nona. Rileks, jangan tertekan." Dokter berkata seraya memberikan resep dokter kepada Gilang.Lalu, Dokter dan perawat itu pergi meninggalkan Risa dan Gilang.Sepeninggalan dokter, Gilang mendekati Risa dan membelai rambutnya dengan lembut, kemudian kembali mencium kening ist
"Aku hanya khawatir kakak tidak bisa mengembangi mobil ini dengan tepat karena kakak hanya menyetir dengan satu tangan," sahut Risa. Gilang tergelak, kemudian dia kembali meraih tangan Risa dan mengecup buku-buku tangan itu dengan lembut."Aku bisa, Risa." Gilang malah mendekatkan tangan Risa ke dadanya membuat wajah Risa seketika merona.Kami sampai dirumah setelah melewati macet jalanan kota Jakarta yang lumayan padat. Kak Gilang kembali menggendongku dengan kedua tangan kekarnya. "Nyonya kenapa, Tuan?" Bik Jum terlihat sangat cemas."Tidak apa-apa!" Gilang melangkah dengan lebar menuju kamar."Kak, Aku ..." "Aku tidak suka dibantah!" Gilang membaringkan Risa di ranjang, lalu melepas sepatu yang dipakai gadis itu."Istirahat, jangan banyak bicara." ancam Gilang sambil berlalu meninggalkan kamar.Risa memang merasa masih sangat mengantuk. Hal itu dikarenakan pengaruh obat yang diberikan oleh dokter. Tapi, Risa benar-benar ingin tau. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Di mana Tan