“Bu, itu kenapa Mas Rendra ....” Leandra langsung pergi menemui ibu mertuanya yang sedang memantau asisten rumah tangga memasak menu untuk makan malam. “Rendra kenapa, bicara yang jelas.” Widi menyahut sambil menoleh. “Dia memang sudah pulang dari tadi, capek kelihatannya.” Leandra menarik napas sejenak, “Terus kenapa dia sama Mas Rendra?” Widi mengerutkan keningnya. “Dia ...? Silvi maksud kamu?” tanya Widi heran. “Ya tidak apa-apa, kan? Rendra sepulang kerja, kondisi capek, dan kamu belum pulang. Menurut kamu siapa yang akan dia datangi? Tidak mungkin saya kan?” Asisten rumah tangga yang masih memasak, berusaha keras untuk konsentrasi supaya tidak mendengar percakapan majikannya. “Memang tidak apa-apa, Bu ... Tapi kenapa mereka berdua harus tidur di kamar utama?” tanya Leandra sabar meski hari rasanya tidak keruan. “Maksud kamu?” tanya Widi balik sambil memandang menantu pertamanya. “Bukankah seharusnya istri kedua Mas Rendra tidur di kamar tamu?” Leandra mengonfirmasi. “Kena
“Aku nggak mungkin menceraikan Silvi karena dia sedang hamil!” bantah Rendra tidak setuju.“Kalau begitu ceraikan aku saja,” tantang Leandra. “Dari awal, kamu sendiri yang memutuskan untuk menikah lagi diam-diam kan?”Rendra mematung seketika.“Aku nggak mau cerai,” tolaknya tegas. “Apa perlu aku yang gugat cerai kamu?”“Nggak akan ada perceraian di antara kita!” tegas Rendra. “Ini cuma situasi sulit yang sifatnya sementara saja, nanti kalau keadaan sudah membaik, aku akan tambahkan lagi uang bulanan kamu. Suami sedang dalam kondisi susah, jadi sudah sepantasnya kalau kamu tetap setia mendampingi aku—bukannya malah menggugat cerai seperti ini.”Leandra berdiri dari posisinya. Melihat Rendra yang semakin hari semakin pandai bersilat lidah, dia pun terpancing untuk berkomentar.“Kondisi susah, kamu bilang?” tanya Leandra dengan mata menyipit. “Kondisi kita seperti ini kan karena ulah kamu sendiri, mas! Jangan bilang seolah-olah aku ini yang nggak setia menemani kamu dalam kondis
“Itu nanti kamu bersih-bersih seperti asisten rumah tangga, bagaimana?” Tian menjelaskan inti pekerjaan yang harus Leandra lakukan ketika sudah berada di dalam mobil yang melaju.“Tidak masalah, Pak.” Leandra mengangguk. “Tapi apa itu berarti saya harus berhenti dari kantor Bapak?” Tian berpikir sebentar.“Kalau kamu mau sedikit repot, tidak masalah seandainya kamu mampir ke rumah setelah bersih-bersih kantor.” Dia mengusulkan. “Seperti yang saya bilang sebelumnya kalau di kantor itu tidak ada pekerjaan, untuk sekadar bersih-bersih ada Bu Dini yang bisa melakukannya kalau cuma menyapu lantai.”Leandra terdiam, sedikit merasa malu.“Maaf ya, Pak? Gara-gara saya, beban pengeluaran di perusahaan Bapak jadi membengkak?”“Tidak masalah,” sahut Tian sembari terus mengemudi ke arah rumah orang tuanya.Selama mobil melaju, Leandra segera mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Rendra supaya tidak perlu menjemputnya.“Itu rumah yang harus kamu rawat selama tidak ada penghuniny
Leandra mengangguk mengerti dan menyahut, “Semoga keadaan segera pulih seperti semula ya, Yah?”“Terima kasih,” angguk Irawan, sementara Widi melipat bibirnya rapat-rapat seakan menahan diri untuk tidak berbicara di luar kendalinya.Pantas kalau keuangan Mas Rendra ikut bermasalah, pikir Leandra ketika dia akan berangkat kerja. Bahkan ayah mertuanya sendiri mengakui kalau perusahaan mereka sedang tidak baik-baik saja.Kalau begitu aku harus lebih rajin kerja, tekat Leandra dalam hati. Andai saja ibu mertua tidak memaksa Rendra untuk menikah lagi, tentu dia akan dengan senang hati membantu perekonomian suaminya meskipun sedikit saja.Namun, karena pengkhianatan yang disengaja itu sudah telanjur terjadi, Leandra tidak akan mau repot-repot membagi uangnya sedikit pun.Sebelum Leandra tiba, Tian sudah lebih dulu muncul di kediaman orang tuanya. Seperti yang dia perkirakan sebelumnya, hasil kerja Leandra tidak pernah mengecewakan.“Pak Tian, pembantu yang kemarin datang ...”Tian me
Leandra duduk di samping Silvi sementara Rendra berada jauh di sana seakan untuk mengaburkan fakta bahwa mereka adalah pasangan suami istri.“Mau tambah lagi, Mas?” tanya Silvi, dengan sigap dia memegang centong dan bersiap menyendokkan nasi. “Biar aku ambilkan.”“Sudah cukup,” jawab Rendra sambil mengangguk.Melihat Leandra yang hanya terdiam, Silvi segera menawarinya. “Mbak Lea mau makan apa? Udang atau sop?” “Apa saja, nanti aku akan ambil sendiri.” Leandra menyahut datar, dia tidak bisa pura-pura. Dia benci situasi seperti ini.“Semuanya juga tidak apa-apa, Mbak.” Silvi tersenyum. “Ibu sama Ayah juga, silakan dicicipi ... masakan asisten Ibu cocok sama aku.”Widi mengangguk-angguk setuju.“Ibu memang sengaja suruh untuk masak sesuai citarasa ibu hamil,” katanya antusias. “Lidah ibu hamil kan sensitif sama rasa dan bau, jadi harus pintar-pintar meracik bumbunya ... Tahu sendiri kan ibu hamil itu bagaimana rasanya?”“Betul, Bu. Ini pertama kalinya aku hamil dan memang anuge
Setelah paket berada di tangan, Widi langsung masuk tanpa mengucapkan terima kasih kepada Leandra.Begitu tiba di kamar utama, Leandra baru sadar kalau dia telah menyerahkan satu-satunya persediaan uang tunai yang ada di dompetnya.“Besok aku makan apa?” pikir Leandra karena meski tidak sebanyak Silvi, dia tetap membantu memenuhi kebutuhan rumah, terutama dapur.Semua itu Leandra lakukan disebabkan dia merasa tahu diri bahwa selama ini kedua mertuanya itulah yang memenuhi hampir seluruh kebutuhan rumah tangganya termasuk listrik, air, dan bahan makanan. Jadi bisa dikatakan bahwa Rendra belum sepenuhnya mandiri selama tinggal di rumah orang tua kandungnya, karena itu sudah sepantasnya Leandra merasa kalau dia hanya hidup menumpang.“Mas, kita ngontrak rumah saja yuk?” ajak Leandra setelah memikirkannya matang-matang. “Biar ayah sama ibu tidak terlalu banyak pengeluaran, selain itu kita bisa bantu mereka sedikit-sedikit ....”“Lea, kamu sadar nggak sih kalau itu justru makin mena
Rendra memasuki kamar utama dengan wajah sekusut benang, Leandra tahu apa sebabnya dan tidak melontarkan pertanyaan apa pun.“Bisa-bisanya ibu ...” keluh Rendra sambil menjatuhkan dirinya di sofa. “Bisa betul-betul bangkrut kalau begini ....”Leandra tahu ini bukanlah saat yang tepat untuk tertawa di atas penderitaan keluarga suaminya, tapi kalau dipikir-pikir lagi bukankah masalah demi masalah mulai bermunculan sejak pernikahan kedua Rendra diketahui olehnya?Bohong besar jika Leandra tidak sakit hati saat tahu kalau suaminya telah menikah dengan perempuan lain. Namun, untuk langsung pergi meninggalkannya juga dia belum merasa mampu.“Ibu kenapa, Mas?” tanya Leandra sekadar untuk respons. “Itu ... ibu ikut investasi atau arisan—persisnya aku lupa, pikiranku pusing ... yang jelas intinya itu Cuma tipu-tipu dan uang melayang ...” Rendra bercerita dengan wajah gusar. “Padahal uang itu dipersiapkan ayah untuk kebutuhan perusahaan, gaji pegawai minimarket, gajiku, buat kamu sama Sil
Mata Leandra membuka sedikit, tampak seorang pria yang duduk tidak jauh dari hadapannya sedang sibuk merobek-robek tumpukan kertas di atas meja.Pria itu hanya mengenakan kemeja putih dengan dasi hitam menjulur melewati dadanya, aura kepemimpinan terpancar dari wajahnya.Seakan menunjukkan kepadanya bahwa dia tidak mudah diatur-atur oleh orang sekitar.Bukankah itu Pak Tian, batin Leandra sambil bergerak sedikit. “Maaf, Pak ...” lirih Leandra berkata. “Saya ketiduran ... maaf, Bapak boleh potong gaji—tapi jangan banyak-banyak ....”Tian menghentikan gerakan tangannya dan menyipitkan mata ke arah Leandra.“Barangkali kamu butuh cuti?” tanya Tian tanpa basa-basi. “Saya tidak keberatan untuk memberikannya ke kamu meski cuma satu hari.”Leandra perlahan menegakkan diri, agak malu jika dia berbicara dengan bosnya dalam kondisi belum sepenuhnya sadar seperti itu.“Tidak usah, Pak. Terima kasih,” geleng Leandra perlahan. “Saya harus tetap kerja setiap hari ....” Dia teringat dengan