Nana menelusuri gerai demi gerai di Far east plaza, Orchard road. Sesekali dia berhenti ketika ada sesuatu yang menarik perhatiannya.Kawasan yang merupakan salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Singapura yang terkenal. Dia selalu menyempatkan diri untuk berbelanja atau sekadar berjalan-jalan di salah satu kawasan yang sangat populer ini.Jarak yang tidak terlalu Jauh antara Chinatown dan Orchard road yang hanya sekitar sepuluh hingga lima belas menit dengan menggunakan MRT membuatnya memiliki cukup banyak waktu untuk bersantai dan berbelanja.Far East Plaza di Orchard Road adalah salah satu kompleks perbelanjaan tertua di Singapura. Sebuah Kompleks perbelanjaan favorit para wisatawan ataupun penduduk lokal, terutama kalangan anak muda.Di sini merupakan tempat yang cocok untuk mencari barang yang murah sekali beli dari desainer tak dikenal. Sekitar delapan ratus gerai ritel menempati pusat perbelanjaan enam lantai para pengunjung yang mencari barang-barang unik.Nana berhenti di s
Tania tersenyum puas. Paper bag berlogo salah satu toko perhiasan yang cukup populer di negeri singa itu ditentengnya dengan santai. Mengedarkan tatapan matanya mencari sosok sang suami.Di sudut toko tampak Erick yang duduk dengan santai tanpa mengalihkan perhatiannya dari smartphone-nya. Diapun tak menyadari kehadiran istrinya yang berdiri tepat di hadapannya."Pi!" Sentak Tania.Erick terkejut, namun hanya meliriknya sekilas. Melihat sang istri telah menenteng paper bag, tanpa bertanya dia berdiri dan memasukkan smartphone-nya ke saku celananya.Tanpa mengatakan apapun Erick berjalan mendahului sang istri. Tania tertegun. Kali ini Erick tidak bertanya ataupun mengomel, dia juga tetap berada di toko tidak meninggalkannya seperti kebiasaannya jika dia bosan menunggunya berbelanja.Tania menggelengkan kepalanya tidak peduli. Yang terpenting apa yang diinginkannya sudah didapatkannya. Disusulnya langkah kaki sang suami yang berjalan santai di depannya. Berusaha mensejajarkan langkah aga
Beberapa hari ini Nana gelisah tidak karuan. Sejak dari Far east plaza dia kerap uring-uringan. Sikap tenangnya seperti tengah terusik sesuatu.Meski tidak menganggu, itu membuatnya sedikit merasa tidak nyaman. Nana menyadari akhir-akhir ini sikapnya agak ketus dan membuat para karyawannya khawatir."Ibu maaf kalau beberapa hari ini kinerja kami kurang bagus." Naina mewakili teman-temannya meminta maaf padanya saat Nana menegur mereka pagi tadi.Nana mendongak menatap mereka yang masih berdiri berjajar di depan mejanya. Tiba-tiba saja terbit rasa bersalah saat menatap Keempat karyawannya yang menundukkan kepalanya dalam-dalam.Tadi pagi dia menegur mereka yang menurutnya kurang maksimal dalam melayani para pelanggan. Di akhir pekan seperti ini toko selalu ramai dikunjungi pelanggan ataupun para wisatawan.Nana tersenyum. Ditatapnya satu persatu anak-anak muda di depannya dengan seksama. Naina, Rashida, Anthony dan Gea, mereka masih muda dan bersemangat tinggi. Sejujurnya mereka bekerj
Erick mengikuti Nana memasuki toko. Nana menyalakan lampu dan mempersilakannya untuk duduk di manapun dia mau."Abang mau kopi?" Nana bertanya sembari membuka lemari pendingin."Abang sudah ngopi tadi. Mungkin sesuatu yang dingin lebih cocok sekarang." Erick menatap Nana yang berdiri termangu di depan lemari pendingin."Mau jus buah atau mungkin cocktail?" Nana menoleh menatapnya sembari menggigit bibirnya."Cocktail Abang rasa lebih cocok." Erick tersenyum dan duduk di salah satu kursi yang berada tepat di tengah toko."Oke, aku buatkan. Abang tunggu di sini." Nana kini meninggalkannya dan menuju dapur yang ada di bagian belakang toko.Terpisah sebuah partisi yang sekaligus menjadi rak pajangan berisi beberapa koleksi keramik yang cantik. Erick hanya tersenyum dan duduk dengan santai sembari mengamati toko kue milik Nana.Desain toko ini jauh berbeda dengan toko yang ada di Bali. Jika di pulau Dewata itu Nana mendesain tokonya ala toko kue yang mirip di anime, maka di sini desain min
"Tapi sekarang jangan takut lagi. Mungkin sudah saatnya kita membuang jauh-jauh rasa takut itu dan menggantinya dengan perjuangan." Erick melanjutkan ucapannya."Berjuang?" Nana bertanya lirih dan menatapnya dengan bingung."Untuk apa bang? Cinta?" Nana kembali bertanya dan kini Erick dapat melihat mata beningnya berkaca-kaca."Apa kamu tidak ingin hidup sewajarnya bersama abang? Apa kamu tidak ingin memiliki Abang seutuhnya?" Erick bertanya dan menatapnya dengan sungguh-sungguh."Aku mau, tapi itu tidak mungkin bang. Abang punya istri dan ada Alvin. Aku tidak mau menghancurkan rumah tangga Abang. Segila apapun cintaku untuk Abang aku tidak bisa bertindak gila seperti itu bang." Nana mulai terisak.Sakit, sedih, kecewa dan mungkin putus asa membuat Nana tidak yakin dengan cintanya yang dia tahu itu sebuah kesalahan."Abang tahu, tapi apakah akan selamanya kita begini saja ikan?" Erick menggenggam tangannya dengan lembut."Rumah tangga Abang sudah lama tidak sehat. Jika suatu saat nant
Perbincangan panjang mereka malam itu sangat mempengaruhi suasana hati Erick dan Nana. Keduanya bak mendapatkan semangat baru. Meski harus kembali berpisah untuk sementara waktu.Nana masih harus tinggal di Singapura untuk memantau perkembangan tokonya. Sementara Erick kembali ke Bali bersama sang istri, Tania.Selintas semuanya baik-baik saja, seakan tidak ada masalah. Meski sikap Erick masih seacuh biasanya, namun Tania cukup banyak mengalami perubahan sikap.Seperti pagi ini dia telah sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk Alvin dan Erick. Jeje dan Mbak Hani saling berpandangan, cukup bingung dengan antusias sang nyonya yang tidak seperti biasanya."Ibu biar saya saja yang bikin kopi untuk bapak." Jeje menawarkan diri saat melihat Tania membubuhkan gula ke dalam kopi untuk Erick."Eh nggak apa-apa, saya bisa kok. Kamu bawa saja ya nasi goreng dan susu untuk Alvin ke meja makan." Tania mengibaskan tangannya meminta gadis itu untuk menjauh.Jeje menatap Mbak Hani, wanita itu mengang
Tania melajukan mobilnya pelan saat melintasi villa yang dihuni Nana. Perlahan Diliriknya bangunan yang tampak sepi. Sudah cukup lama dia tidak melihat wanita yang pernah dipergokinya bermesraan dengan suaminya di pesta sahabat karib Erick beberapa waktu lalu.Pintu gerbang kayu yang biasanya setengah terbuka kini tertutup rapat. Bahkan kucing-kucingnya tidak berkeliaran hingga ke villanya.Tania mendesah pelan dan kembali mempercepat laju kendaraannya. Mungkin dia hanya berburuk sangka saja karena selain insiden beberapa waktu lalu yang berakhir dengan terlukanya kucing milik wanita itu, dia tidak pernah lagi menemukan kejanggalan di antaranya dengan Erick."Tania, wajar saja jika Erick bersikap ramah padanya. Kalian penghuni baru, bersikap baik dan ramah pada tetangga sekitar adalah hal yang biasa. Bukankah di manapun juga, Erick selalu seperti itu?" Begitu Mami Sandra, mertuanya, memberinya nasehat saat dia mengeluhkan sikap Erick.Tania tidak lagi mengeluh dan mencoba untuk tidak
"Papi hati-hati ya." Alvin memeluknya erat-erat.Bocah itu selalu merasa khawatir setiap Erick hendak bepergian jauh tanpa mengajaknya. Meski jarang mengungkapkan perasaannya, Alvin seperti kehilangan semangatnya setiap papinya tidak berada di sekitarnya."Iya, Alvin juga nggak boleh nakal. Nurut sama Aunti Ceci ya." Erick berjongkok di dekatnya.Alvin menganggukkan kepalanya. Dia kembali memeluk Erick erat-erat. Sepertinya dia enggan untuk berpisah dengan sang ayah."Papi, nanti Omil bagaimana? Tante Nana kan belum pulang. Kasihan Omil, Cleo dan Yuki nggak ada yang nengok." Alvin masih erat memeluk Erick."Nanti Alvin ajak Tante Ceci nengok Omil ya." Erick tersenyum dan mengacak-acak rambut putranya itu."Ceci, nanti tengokin kucing-kucingnya Nana ya. Nanti Abang chat alamat veterinariannya." Erick berpesan pada adik iparnya itu."Oke bang. Nana yang punya bakery itu kan?" Cecilia bertanya dan menatap Abang iparnya dengan tatapan menyelidik."Iya, kucing-kucingnya sering main sama Al