Share

Tetanggaku Bukan Mantanku
Tetanggaku Bukan Mantanku
Penulis: Bai_Nara

1. Tetangga AC

Baju rapi, sepatu bersih walau bukan sepatu baru, tas lumayan meski beli di Tanah Abang harga lima puluh ribuan, rambut dikucir rapi. Muka? Poloslah pakai skincare alami. Maklum gak ada duit, boro-boro beli bedak. Buat makan sama ongkos setiap hari aja usahanya udah luar biasa. Luar biasa mengencangkan keinginan pokoknya.

"Risaaa ... makan dulu Nduk?"

"Iya Eyang."

Risa segera menuju ruang tengah yang menggabungkan ruang makan dan ruang keluarga. 

"Nasi goreng sama kerupuk ya Nduk," ucap Eyang dengan tatapan sendu.

"Iya Eyang, gak papa. Untung masih bisa makan."

"Iya, daripada kelaparan ya Nduk."

"Iya, untung ya Eyang?"

"Iya, untung ngumpul. Kata orang Jawa ...."

"Ora madang ora papa sing penting ngumpul1."

1Gak makan gak apa-apa yang penting kumpul

Risa dan Eyangnya tertawa. Bagi mereka berdua bahagia itu sederhana, asal masih bisa hidup, bisa makan, bisa tertawa tapi gak usah banyak gaya.

Carrisa Aurora, namanya. Usia 15 tahun, sekarang sekolah di SMAN 100 Jakarta kelas Sepuluh IPA 3. Risa tinggal di Jakarta sejak lima tahun yang lalu, sedangkan tiga tahun ini Risa hanya tinggal bersama Eyang Kakungnya, Eyang Pardi namanya. 

Kedua orangtuanya meninggal dua tahun yang lalu akibat bencana kebakaran yang menimpa rumah-rumah di sekitar kontrakan mereka. Penyebabnya, ledakan tabung gas LPG milik salah satu warga. 

Risa beruntung masih hidup karena saat itu sedang mengikuti studi wisata ke Jogja sedangkan sang Eyang sedang mudik ke Banyumas karena ada saudara yang punya hajat. Tapi kedua orang tua Risa dan beberapa tetangga tak selamat dan menjadi korban.

Sejak itu Risa hanya hidup bersama dengan Eyangnya. Dulu, kehidupan mereka lumayan. Walau sederhana tapi gak pernah pusing mikirin uang buat makan. Karena usaha Eyang, Ayah dan Ibunya sebagai pedagang makanan soto Banyumas di daerah Jakarta cukup lumayan. Tapi itu dulu. Sekarang? Eyangnya hanya pelayan di salah satu rumah makan Padang, Risa sendiri membantu perekonomian dengan mengajari les anak-anak tetangga. Lumayan, setidaknya sedikit membantu perekonomian. 

"Ris,"

"Nggih Eyang?"

"Kamu ingin pulang kampung tidak?"

Risa menghembuskan nafasnya, "Pengin banget Eyang, disini Risa gak betah."

"Nunggu kamu lulus SMA ya? Kalau enggak nunggu rumah ini laku."

"Iya Eyang, Risa bakalan sabar kok nunggunya."

Eyang Pardi menarik nafas dalam-dalam lalu berucap, "Padahal udah woro-woro tapi gak ada yang mau beli juga."

Risa hanya bisa tersenyum melihat raut kesedihan sang Eyang.

"Mau bagaimana lagi, rumah kita paling kecil, disini."

"Iya, paling jelek pula. Apa kita tawarin tetangga sebelah aja."

"Boleh Yang."

Mereka melanjutkan makan lagi dengan lahap. Setelah selesai Risa langsung mencuci piring bekas makannya. Risa bercermin lagi untuk melihat penampilannya sebelum berangkat ke sekolah.

"Eyang, Risa berangkat. Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati Nduk. Pulangnya jangan mampir-mampir!"

"Oke, Eyang."

Risa membuka pintu gerbang rumah yang catnya sudah mengelupas dan mulai berkorosi. Refleks matanya melirik ke sumber bunyi dari rumah samping. 

"Mau berangkat Nduk?"

"Iya Tante Maira. Risa duluan ya Tan."

Risa hendak berjalan melewati gang setapak sebelum sampai ke jalan utama.

"Eh ... kamu mau kemana?"

"Mau jalan Tante, nanti sampai jalan utama ya naik angkot."

"Udah gak usah naik angkot bareng sama Abi aja."

Risa syok, apa? Jalan sama tetangga dingin alias AC (Air Conditioner) bermerek Abizar? Big No.

"Risa jalan aja Tante bukan muhrim hehehe."

"Ya ampun Risa, udah pokoknya kamu ikut Abi aja. Sebentar lagi dia keluar."

Mau tak mau Risa pasrah, bukan karena mengharapkan dapat tumpangan gratis dari tetangga dingin bin nyebelinnya tapi demi menghormati Tante Maira yang baiknya macam Ibu Peri bagi si remaja yatim piatu ini.

Tak lama kemudian keluarlah remaja berusia 17 tahun dengan postur tubuh tinggi menjulang dan kurus, rambut tertata rapi tanpa poni. Wajahnya tampan sekali. Jangan lupakan kulit eksotisnya yang emmm ... bikin para ciwi-ciwi pada jatuh hati. Bentuk rahangnya yang tegas dengan alis mata tebal serta bibir tipis nan menawan. Sayang itu bibir jarang sekali tersenyum. Mahal pokoknya.

"Abi, sekalian sama Risa ya berangkatnya? Lagian sekolah kalian sama kan?" 

"Hem."

"Ham hem ham hem. Ya sudah sana berangkat gih. Udah siang juga, takut kalian terlambat."

"Abi berangkat Mah. Assalamu'alaikum." Abizar mencium tangan sang Mamah.

"Wa'alaikumsalam, hati-hati ya Nak, jaga Risa jangan sampai jatuh," titah Maira pada Abizar.

Dengan terpaksa baik Abizar dan Risa berangkat bersama karena tidak mau mendapat tausiyah gratis dari Maira.

Selama perjalanan tak ada obrolan sekalipun. Risa duduk menyamping dimana tangan kirinya berpegangan pada behel motor. Tangan kanannya dari tadi mencoba bergulat dengan rambut sepunggungnya yang dikucir kuda dan tengah menari-nari dibelai angin. 

"Singkirkan rambut kamu! Ganggu aja."

"Maaf," Risa akhirnya menyelempangkan rambut panjangnya ke arah bahu kanan hingga menjuntai di bagian depan. 

Setelah perjalanan kurang lebih lima belas menit, Risa minta diturunkan.

"Turun sini aja, Kak," pinta Risa.

Abizar menghentikan laju motornya,  "Kenapa?" tanya Abi sambil menaikkan sebelah alisnya. Huh ... tampan. Itu kata hati Risa.

"Gak papa, Kak. Risa duluan. Assalamu’alaikum." 

"Wa'alaikumsalam." Abizar hanya mengedikkan bahunya. Masa bodo, toh dia sudah mematuhi perintah mamahnya dengan mengantar Risa ke sekolah.

*****

"Risa."

"Hem."

"Lihat itu tetangga AC kamu, cakep ya?"

"Hem," Risa tidak menggubris perkataan Citra sahabatnya. Dia fokus mengerjakan soal Stoikiometri. 

"Ish ... kamu ini. Selalu gitu. Mata kamu gak buta kan?"

"Enggak masih sehat kok. Belum minus lagi. Kenapa?"

"Kalau gak buta dan gak minus kok bisa cowok secakep itu kamu anggap biasa aja."

"Ya emang bagiku biasa aja."

"OMG, Risaaaa," pekik Citra.

"Ekhem ... ekhem." Suara deheman mengalihkan perhatian Risa dan Citra.

"Ini perpustakaan bukan pasar. Kalau kalian mau berisik sana pergi dari sini!" ketus tetangga AC-nya Risa.

"Hehehe ... maaf Kak Abi," ucap Citra sambil memasang wajah manis. 

Risa sendiri hanya diam karena sudah paham karakter tetangganya itu. Tiga tahun mereka bertetanggaan semenjak Risa ikut Eyangnya. Selama tiga tahun pula mereka jarang ngobrol karena ya itu tadi si tetangga sikapnya dingin macam 'AC' sesuai namanya sih Abizar Caesario Raffardhan. Karena itu, daripada diomelin lagi sama si AC mending Risa fokus lagi sama tugas Kimianya.

Abi sendiri kembali fokus untuk mengerjakan tugas makalahnya mengenai mutasi genetika. Ia tengah memainkan jari-jemarinya pada keyboard sambil browsing dan membaca buku referensi yang ia dapatkan di Perpustakaan.

Perpus masih sepi, karena masih jam pembelajaran. Kebetulan kelas Risa dan Abizar sedang ditinggal gurunya, karena ada urusan. Sehingga mereka diberi tugas untuk dikerjakan. Hanya ada beberapa siswa yang memilih mengerjakan tugasnya di Perpus. Sisanya mengerjakan di kelas.

Ketenangan di perpus agak terusik karena kedatangan geng cewek cantik. Siapa lagi kalau bukan Diana dan teman-temannyas. 

"Hai Abi," sapa Diana dengan senyum khasnya.

Abi cuma meliriknya sekilas lalu fokus kembali pada laptop dan buku.

"Ya ampun, sok banget kamu ya. Gak usah dingin ma aku lagi. Karena aku akan selalu jadi bara buat mencairkan es kamu."

"Hahaha," terdengar tawa dari ketiga teman Diana. 

Abi memandang keempat orang di depannya dengan tatapan tajam, setajam elang. Bahkan raut mukanya berubah menjadi menyeramkan. Risa dan Citra saja sampai begidik ngeri melihatnya.

"Kita duluan ya Di, ayok guys,"

Teman Diana memilih berlalu karena merasa ada hawa-hawa dingin dari 'AC'.

"Abi ...." Diana menggelayut manja pada lengan kanan Abi.

Bruk ....

Semua mata menoleh ke asal suara.

"Abiiiii," pekik Diana.

"Sekali lagi kamu colak colek awas kamu!" Abi langsung mengambil laptop dan buku-bukunya lalu pergi meninggalkan Diana yang masih terduduk di atas lantai.

"Apa kalian lihat-lihat, hah? Brengsek kamu Abi. Lihat saja kamu akan menyesal." Diana langsung berdiri dan berlalu meninggalkan perpustakaan. Tapi sebelumnya Diana memandang penuh intimidasi pada lima orang siswa yang berada di perpus termasuk Citra dan Risa.

Risa menghembuskan nafasnya. Dia aslinya tidak betah hidup di Jakarta. Tapi mau bagaimana lagi. Dia sekarang hanya punya Eyang Kakung, Lik Hamdi adik Bapaknya sedang merantau entah dimana. Kakek nenek dari sang Ibu juga sudah meninggal.

"Tetanggamu memang AC ya Ris, dingin," celetuk Citra.

"Makanya aku gak pernah cari perkara sama dia." Risa menghembuskan nafasnya lagi.

"Kenapa?"

"Aku pengin balik Banyumas tahu gak Cit, di Jakarta orangnya pada egois. Gak ramah. Bahkan para pelajarnya tukang bully."

Citra memandang sahabatnya dengan rasa iba, aslinya Risa itu cantik tapi memang penampilannya sederhana dan kucel. Ditambah lagi bentuk rahang giginya yang tidak rata sehingga sering kena bully. Meski otaknya encer, tapi gak ada yang peduli. Terutama geng Diana CS, hobi banget bully Risa.

"Sabar ya. Orang sabar disayang Tuhan, kuburannya lebar."

"Kamu nyumpahin aku cepet masuk liang lahat gitu?"

"Hehehe, enggak Ris. Jangan marah dong? Entar cantiknya ilang," hibur Citra.

"Hem ... terserah. Asal kau bahagia," celetuk Risa.

"Kaya judul lagu aja, Ris."

"Ck. Udah masuk kelas yuk, bentar lagi Biologi."

"Astaga, kenapa aku lupa kalau ngambil jurusan IPA ya?" keluh Citra. Risa sendiri hanya tertawa, malas berkomentar.

*****

Tin ... tin ... tin.

Risa menoleh ke arah orang yang mengklakson dirinya, si AC.

"Kamu kok jalan?"

"Gak ada angkot, Kak."

Memang sore ini tak ada angkot yang lewat karena para sopirnya tengah mogok gegara salah satu perusahaan transportasi yang dipesan dengan aplikasi online lebih diminati oleh pada pelanggan.

"Cepat naik!"

"Tapi kak …."

"Cept! Keburu ujan."

"I-iya Kak."

Mau tak mau Risa membonceng Abi kembali. Seperti tadi pagi, Abi membahas rambut Risa yang mengganggu pandangan Abi.

"Potong aja kenapa? Kalau perlu potong model cepak. Ganggu aja!" sengak Abi.

"Maaf, Kak," hanya kata itu yang bisa terlontar dari mulut Risa.

Sesampainya di depan rumah, Risa langsung turun untuk membukakan pintu gerbang rumah Abizar.

"Makasih, Kak."

"Hem, balik sana!"

"Iya," Risa memilih langsung ke rumahnya. Dia tak ingin menambah masalah dengan si AC.

Sesampainya di rumah, Risa langsung mandi dan mengganti bajunya dengan baby doll gambar Hello Kitty. Risa membuka jendela kamarnya, kemudian duduk di daun jendela, pikirannya menerawang kemana-mana. Terutama pada Ayah dan Ibunya.

"Udah mau maghrib, masuk sana!"

Risa kaget dan hampir saja terjatuh dari daun jendela. Tatapannya tertuju pada jendela kamar rumah sebelah. Ah, Risa lupa kamarnya berhadapan dengan kamar si AC. Mana temboknya cuma setinggi satu meter lagi, ya mereka bisa saling intip. Hadeh.

"Ngapain bengong, masuk sana! Kunci jendelanya. Jangan ngintip!"

"Iya, Kak," tanpa banyak kata Risa menutup jendelanya. Huh, kenapa harus tetanggaan sama AC? Mana kamarnya sebelahan pula. Huh ... nasib.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status