Tetanggaku Luar Biasa
Bab 4
"Bukan itu, Mbak," bantah Siska dengan suara pelan. "Anakku nggak biasa diobati dengan cara tradisional. Fia sama Oliv, dari bayi kalo panas langsung dibawa ke dokter."
Aku menghela napas kasar. Ingin rasanya menepuk jidat sendiri.
"Maaf, Siska. Perasaan semalam cuaca gerah banget. Kenapa Oliv bisa masuk angin? Di rumah kalian juga nggak ada kipas angin, kan?" tanyaku menurunkan nada suara.
Siska masih menunduk. Wanita berambut panjang itu melirik pada suamiku. "Kemarin sore, pas aku mandi, Oliv sama Fia nggak mau aku tinggal. Jadi, aku bawa ke kamar mandi. Soalnya mereka juga belum mandi, aku pikir sekalian aja. Habis mandi aku sekalian nyuci baju. Anak-anak ikut main air sampai aku beres nyuci. Terus, malamnya, badan Oliv panas sama muntah-muntah."
Aku melirik Mas Reyhan yang terlihat menggelengkan kepalanya. "Ya sudah. Ayo ke dokter, sekalian aku berangkat kerja sama nganter Alisha. Fia, kamu titipkan saja sama Ajeng."
Setelah mengucapkan terima kasih, Siska masuk ke mobil bersama Alisha dan suamiku. Tak lama kemudian, mereka meluncur meninggalkan halaman rumahku.
***
Sampai aku berangkat mengantarkan Andra ke sekolah, Siska belum juga kembali. Fia yang sudah kumandikan, dan disalin bajunya serta sarapan pagi, terpaksa diajak serta. Tak lupa kukirim pesan pada Siska tentang Fia, tak lupa kuminta dia menyusul ke sekolah Andra. Karena, aku berencana sekalian mengantarkan paket ke kantor ekspedisi setelah Andra masuk kelas.
Sepeda motorku pun penuh. Andra dan Fia di belakang, sementara di depan, penuh dengan barang yang akan kukirim.
Andra sudah masuk ke kelas, sambil menuntun Fia, aku menuju tempat parkir. Beberapa pasang mata menatap heran ke arahku. Ada juga yang bertanya tentang siapa Fia. Untunglah Fia termasuk bocah yang anteng dan mudah akrab dengan siapa saja. Jadi, aku tidak terlalu kerepotan mengurusnya. Sementara sang ibu, belum ada kabar. Pesanku centang satu. Panggilan suara juga tidak diangkat. Perasaan, tadi aku melihat Siska membawa ponselnya. Mungkin, Siska masih antri di klinik pikirku.
Akhirnya Fia kuajak mengirimkan paket-paket berisi pakaian pesanan para pelanggan. Untung tidak antri. Selesai urusan pengiriman barang, aku berniat ke pasar untuk berbelanja beberapa bahan makanan yang habis. Pemilik warung sayuran langganan tadi pagi tutup, katanya akan tutup selama beberapa hari ke depan. Bisa jadi sampai seminggu. Karena mereka akan menggelar syukuran anak bungsunya yang dikhitan.
Siska masih belum ada kabar sampai aku selesai belanja dan kembali ke sekolah Andra. Daripada bolak-balik, kuputuskan untuk menunggu Andra yang sebentar lagi pulang.
***
Pintu rumah Siska tertutup rapat, suasananya juga sepi. Tak ada tanda-tanda Siska ada di rumah. Fia merengek minta masuk ke rumah, mungkin mengantuk dan kangen mamanya.
"Fia, mamanya belum pulang. Fia bobo siang di rumah bude aja, ya, sama Mas Andra. Kita bobo di depan tivi, mau?" Aku berusaha membujuk bocah yang terlihat mengantuk itu.
Fia tidak menjawab. Bocah itu malah menangis. Karena tak tega, aku menggendong dan membujuknya agar tidak menangis.
Karena Siska tak ada kabar, aku khawatir. Jangan-jangan Oliv sakitnya parah, bukan sekedar masuk angin. Lalu, Siska membawa anak bungsunya itu ke rumah sakit sendirian. Berkali-kali nomor Siska kuhubungi, tapi tidak diangkat. Pesanku juga tidak dibaca.
Akhirnya kuputuskan untuk menghubungi suamiku. Barangkali dia tahu apa yang terjadi pada Siska dan Oliv.
"Tadi, Siska aku turunin di Klinik Pratama. Ayah nggak ikut turun, langsung nganter Alisha ke sekolah, terus berangkat kerja," jawab suamiku melalui sambungan telepon.
"Lah, terus ke mana Siska? Ayah, ada saudara di sekitar sini nggak? Barangkali Siska ke sana."
"Nggak. Kan, ibu juga kenal semua saudara ayah yang tinggal di kota ini. Ibu juga tahu rumah mereka, kan?"
Iya juga.
"Yah, tadi lihat Siska bawa hape, kan?"
"Iya, lihat. Bawa hape kok. Kenapa?"
"Khawatir aja. Pesan nggak dibaca, ttelepon nggak diangkat."
"Oh. Mungkin Siska pergi ke mana dulu, gitu, terus hapenya lowbatt."
"Oh, iya atuh."
Percakapan dengan suami melalui telepon pun kuakhiri. Ke mana coba Siska? Duh, bikin khawatir saja.
Mungkin karena lelah menangis, Fia tertidur dalam gendongan. Kutidurkan bocah itu di kamar tamu. Sementara Andra juga sudah tertidur di kamarnya. Karena lelah, aku pun merebahkan diri di samping Fia. Tidur dulu sebentar, masih ada waktu dua jam sebelum menjemput Alisha.
***
"Wak Ayi, maaf, saya minta tolong buat jagain Andra sama Fia, ya," pintaku pada Wak Ayi. Janda dua anak itu, dulu mengasuh Alisha saat aku masih bekerja.
"Bisa, Mbak. Kebetulan, saya nggak ngapa-ngapain. Ini, Fia anaknya tetangga Mbak Ajeng?"
Aku mengangguk. "Iya, Wak. Dari pagi dititipin ke saya. Mamanya nggak tahu ke mana. Mau saya ajak jemput Alisha, kasihan, ah. Cuaca panas banget. Nitip, ya, Wak. Maaf, ngerepotin."
"Iya, Mbak. Nggak usah sungkan. Kayak sama siapa aja."
"Iya, Wak. Makasih, ya."
Wak Ayi mengangguk sambil tersenyum. "Sama-sama."
Aku pun berpamitan dan bergegas pergi untuk menjemput Alisha.
Ke mana coba Siska? Sampai sesiang ini, belum ada kabar. Meninggalkan anaknya bersama orang lain.
Tetangga Luar BiasaBab 5"Mbak Ajeng ini, gimana sih? Dititipin Fia, malah Fia dititipin lagi ke orang lain. Kalo, nggak mau, ngomong dong, Mbak. Jadi, Fia aku bawa sekalian. Bukan malah dititipin lagi ke orang!" oceh Siska saat aku tiba di rumah seusai menjemput Alisha.Siska terlihat kesal. Sambil berdiri di teras rumahku, ia menggendong Oliv, sementara tangan satunya memegang tangan Fia. Mendengar omelan Siska, aku buru-buru memarkir sepeda motor, dan langsung menghampirinya."Kamu dari mana aja? Sebelum nyalahin orang lain, lihat dirimu sendiri dulu! Atau, kamu bakalan malu sendiri! Jangan menyalahkan orang lain hanya untuk menutupi kesalahanmu sendiri!" sahutku ketus.Sebenarnya aku ingin balik mencaci maki Siska. Akan tetapi, aku tidak mau Alisha melihat ibunya marah
Tetanggaku Luar BiasaBab 6Seperti biasa, suara tangisan Fia dan Oliv mengiringi pagi kami. Aku memilih cuek dan meneruskan semua pekerjaan. Gara-gara pindah ke depan televisi, aku tidur larut malam, dan bangun kesiangan. Jadi, kusiapkan dulu sarapan untuk suami dan anak-anak. Pekerjaan lain bisa nanti lagi. Walaupun masih dongkol pada Mas Reyhan, tapi tetap tidak tega membiarkan dia pergi bekerja tanpa sarapan terlebih dahulu.Kalau di dalam film-film, atau sinetron, atau novel romantis, biasanya saat istri marah, suami akan membujuknya. Apalagi, sampai pindah tempat tidur, pasti si suami akan menyusul dan meminta maaf, lalu selesai. Hm, jangan harap itu terjadi pada Mas Reyhan. Seperti biasa, saat aku marah, dia malah cuek saja. Boro-boro ada adegan bujuk membujuk, meminta maaf atau apalah.Jadi, sebena
Tetanggaku Luar BiasaBab 7Terdengar Siska menutup pintu dengan kasar. Lalu terdengar suara tangisan Oliv. Mungkin bayi itu kaget mendengar suara pintu dibanting. Sebenarnya tak tega mendengar tangisan Oliv, tapi aku tetap masuk ke rumah sambil memeluk Fia dalam gendongan. Leni mengurungkan niatnya pulang."Mbak, sabar, ya. Aku baru tahu, loh kalo Mbak Siska kasar gitu ke anak," ujar Leni sambil menyerahkan segelas air putih padaku."Makasih, Len." Aku meminum air mineral itu hingga tandas. Kemudian mengambil satu gelas lagi dengan gelas yang berbeda, dan memberikan pada Fia, agar lebih tenang."Iya, Len. Hampir setiap saat kami mendengar teriakan Siska ke anak-anak. Sebenernya kasihan. Cuma, ya, gitu, deh. Dia suka keenakan kalo aku bantu ngasuh anaknya."
Tetanggaku Luar BiasaBab 8Selama tiga hari Mama menginap, selama itu pula Siska dan anak-anaknya hilir mudik di rumahku. Tanpa merasa bersalah atau malu padaku karena insiden pemukulan pada Fia. Karena Siska bersikap biasa saja, aku pun memilih tidak membahas atau mengungkit kejadian itu."Yah, Mama, kok, pulang sih." Siska bahkan ikut memanggil dengan sebutan 'mama' pada ibuku. Dan, sekarang dia sedang menggerutu, merengek, atau apalah saat tahu ibuku pulang malam ini."Iya, kasihan Mbah Kakung, sendirian di rumah." Mama menjawab sambil menata beberapa oleh-oleh yang tadi kami beli. Sebenarnya Bapakku tidak sendirian di rumah. Ada Bi Tanti dan suami serta anak-anaknya yang menemani. Karena letak rumah kami dan Bi Tanti yang bersebelahan. Mungkin jawaban Mama tadi, hanya basa-basi saja.&nbs
Tetanggaku Luar BiasaBab 9Semua mata menatap penuh tanya padaku. Aku menghela napas, untuk sedikit mengurangi rasa kesal pada Siska. Lalu, tersenyum semanis mungkin pada empat ibu-ibu di depanku termasuk Siska."Oh, soal tambahan modal. Gini, ya, Bu-Ibu. Saya itu, sewaktu keluar kerja, kan, punya sedikit uang, dari tabungan sama tunjangan dari pabrik. Nah, karena takut habis nggak jelas, saya pake uang itu, buat beli sawah. Nah, sawahnya, diurus sama saudara di kampung. Tiap panen, bagian saya dijual, uangnya dikirim ke sini sama ibu saya. Nah, sama saya, uang itu, dipakai nambahin stok barang, gitu. Jadi, bukan ibu saya ngasih tambahan modal, bukan."Mereka kompak mengucapkan kata 'oh' saat aku selesai bercerita. Kulihat wajah Siska tampak keruh, mungkin malu atau juga tidak suka dengan keterangan yang kubeberkan. Da
Tetanggaku Luar BiasaBab 10"Yah, kalo kalian mau makan dulu, aku gimana? Kalo ikut, uangku tinggal tiga puluh ribu, mana cukup buat makan kami bertiga," sela Siska.Rasa kesal yang semakin menggunung, membuatku diam saja."Bu, gimana?" tanya Alisha, mungkin dia tidak sabar mendengar jawabanku.Aku menghela napas. "Pulang aja!" jawabku ketus."Yah, Ibu, mah! Katanya tadi pengen makan di luar," gerutu Alisha."Pulang aja. Kita masak mie rebus!" jawabku ketus.Kalau sudah seperti ini, suami dan anak-anak tidak akan ada yang berani membantah. Mereka paham, aku sedang marah."Iya, mending pulang aja. Lagian
Tetanggaku Luar BiasaBab 11"Mang Ali bilang, dari kemarin, mereka nggak pulang ke sana." Mas Reyhan menyahut dengan suara pelan.Aku mengerutkan kening, agak terkejut. Kalau tidak pulang kampung, terus Siska dan Arif ke mana? Padahal, saat meminjam mobil kemarin, Siska bilang mau pulang kampung. Kalau memang mau pinjam mobil dua hari bilang saja, tidak apa-apa. Jujur, saja. Kalau seperti ini, aku jadi khawatir terjadi apa-apa sama keluarga kecil Siska. Karena sejak kemarin tidak bisa dihubungi, dan tidak memberi kabar."Ya sudah, Ayah sama Alisha berangkat pakai sepeda motor. Ibu sama Andra naik ojek atau angkot, nggak apa-apa," usulku.Mas Reyhan menyetujui usulku. Tak lama kemudian, pria yang jarang marah itu, berangkat bersama anak sulung kami. Mudah-mudahan dia tidak terlambat sampai k
Tetanggaku Luar BiasaBab 12"Kalian apakan Alif?"Kedua anakku saling pandang. Kulihat kaca-kaca di mata polos keduanya. Jujur, sebagai ibu, aku tidak tega melihat mereka ketakutan seperti ini. Akan tetapi, aku juga tidak akan membiarkan mereka melakukan kekerasan pada orang lain, jika bukan untuk membela diri."Alisha! Bisa kamu jelasin sama ibu?"Alisha mengangkat wajahnya. Ada garis memanjang berwarna merah dari samping alis sampai pipi pada wajah yang serupa dengan Mas Reyhan itu. Aku mengerutkan kening, dan menajamkan penglihatan untuk memperjelas melihat luka di wajah Alisha."Ini, kenapa?"Alisha tak lagi bisa membendung tangisnya. Begitu pula Andra. Sebagai ibu, tak ada pilihan lain, kecuali me