Share

Bab 3

Luna mengusap keringat pada keningnya sekilas setelah meletakkan sebuah pot tanaman monstera di atas buffet cabinet. Akhirnya ia berhasil membereskan rumahnya.

Luna melihat rumah sebelahnya dari jendela.

Waktu masih kecil, ia ingat keluarga Garner yang mengisi rumah sebelahnya. Putri mereka yang bernama Tania, sering bermain ke rumah neneknya saat Luna dan keluarganya datang berkunjung.

Tapi, saat Luna berusia 12 tahun, keluarga Garner pindah ke kota lain.

Di saat yang sama, Luna sadar akan kemampuan spesialnya yang bisa melihat kematian seseorang di masa depan dengan menyentuhnya. Luna melihat ayah Tania akan meninggal di masa depan karena terkena penyakit kanker. Awalnya ia tidak percaya, tapi setelah penglihatannya menjadi kenyataan, Luna sadar kalau ia punya kemampuan spesial.

Luna juga melihat bagaimana neneknya akan meninggal di masa depan saat menyentuhnya. Lima hari setelah Luna mendapatkan penglihatan itu, neneknya benar-benar meninggal karena terjatuh di kamar mandi.

Awalnya tidak semua orang yang ia sentuh membuatnya bisa melihat bagaimana orang itu akan meninggal. Tapi, lama-lama ia bisa melihat kematian semua orang yang ia sentuh di masa depan, meski tidak tahu waktu tepatnya kapan. Penglihatannya hanya berupa potongan-potongan kejadian saat orang itu akan meninggal.

Luna sempat menceritakan kemampuannya pada orang tuanya dan bagaimana mereka akan meninggal, tapi ayah dan ibunya tidak percaya. Setelah memberitahu bagaimana orang tuanya akan meninggal, Luna mengalami sakit kepala yang membuatnya lemas dan tidak masuk sekolah selama berhari-hari.

Sejak itulah Luna sadar kalau ia akan menerima konsekuensi jika menceritakan penglihatannya kepada orang lain.

Drrt drrtt

Ponsel Luna berdering.

“Hi Cassie! Ahh aku kangen sekalii! Padahal baru beberapa hari berpisah,” ungkap Luna pada sahabatnya yang menelepon.

“Salah sendiri tiba-tiba pindah jauh banget! Jadi gimana pindahannya? Sudah selesai semua?”

“Yap. Semua sudah beres. Aku nyaman sekali tinggal di sini sendiri. Rasanya tenang.”

“Syukurlah. Weekend ini aku mau datang ya!”

“Okay. Nanti akan aku masaki makanan kesukaanmu.”

“Asyik! Oh udah kenalan sama tetangga sekitar belum?” tanya Cassie penasaran.

“Sudah. Di sini rumahnya berjauhan, jadi baru kenalan dengan 1 tetangga. Sayangnya dia jutek.. Untung aja ganteng,” ucap Luna yang membuat semakin kepo.

“Ganteng?? Dia tinggal sendirian? Udah punya istri atau anak belum??”

“Kurang tau sih. Tapi dari awal pindah aku enggak pernah lihat istri atau anaknya.”

“Wahhh jadi makin enggak sabar nih main ke rumahmu. Kebetulan banget aku lagi single. Kalau kamu kan emang enggak pernah tertarik pacaran.”

Ya, Cassie benar. Luna tidak pernah tertarik pacaran. Bukan karena dia tidak pernah menyukai seseorang, tapi karena ia tidak sanggup membayangkan harus melihat bagaimana kekasihnya meninggal setiap kali mereka bersentuhan.

“Eh udah jam 4 nih, aku harus siap siap pulang kantor. Kita lanjut lagi nanti malam ya! Bye honey!” kata Cassie.

“Bye! Hati-hati di jalan pulang!”

***

Setelah selesai membereskan rumahnya dan menelepon Cassie, Luna memutuskan untuk pergi ke pusat kota dan membeli kopi.

"Baru pindah ke mari, ya?" tanya wanita penjaga kasir di sebuah kafe.

Luna mengangguk dan tersenyum.

"Selamat datang. Aku Fiona. Tapi orang-orang biasa memanggilku Nyonya Sanders," ucap sang wanita paruh baya dengan senyuman hangat pada Luna.

"Aku Luna! Senang berkenalan dengan anda Nyonya Sanders.”

"Oh hai Luna. Itu nama yang cantik. Semoga kau suka dengan pastry dan kopi kami."

Luna mengangguk, "Terima kasih. Sampai jumpa Nyonya Sanders."

Setelah dari kafe, Luna berniat jalan-jalan sebentar karena cuaca yang bagus dan untuk mencari inspirasi bab terbaru naskah novel ke enamnya. Luna memilih untuk duduk di sebuah bangku di taman sambil mencicipi pastry yang ia beli.

"Hari ini indah sekali bukan?" tanya seorang wanita berambut pendek yang tiba-tiba duduk di sebelahnya.

Luna tersenyum sekilas dan mengangguk, lalu matanya melihat penampilan wanita di sebelahnya. Sekilas Luna menangkap ada bekas luka pada bibir wanita itu yang terlihat cukup jelas. Ia tahu itu bukan luka karena sariawan atau kulit bibir yang kering.

"Wanita ini habis terkena pukulan," pikir Luna.

Pandangannya turun ke bawah dan melihat perut buncit si wanita yang ternyata sedang hamil.

Wanita itu menoleh ke arah Luna yang membuatnya berpaling melihat ke arah lain. Wanita itu kemudian tersenyum.

"Biasanya nanti sore akan ada banyak anak-anak yang bermain di taman. Aku ingin sekali mengantar anakku bermain ke taman saat ia sudah besar nanti," kata sang wanita sambil mengelus perutnya.

“Ah begitu ya..” ucap Luna yang kemudian menyeruput kopinya.

"Ah maaf, kamu pasti menganggapku sebagai orang yang aneh karena tiba-tiba mengajakmu ngobrol tanpa memperkenalkan diri. Aku Lily. Biasanya setelah pulang shift kerja, aku akan duduk dulu di bangku taman ini untuk melihat pemandangan atau beristirahat. Di sini rasanya tenang dan nyaman sekali."

"Ya. Di sini sangat tenang," jawab Luna.

"Namamu siapa?" tanya Lily penasaran.

"Luna."

"Wah, nama yang indah," komen Lily.

Setelah itu mereka berdua pun diam dan sibuk dalam pikiran masing-masing. Luna menyesap kopinya perlahan dengan pikiran yang melayang membayangkan skenario cerita novel terbarunya.

"Baiklah, aku pulang dahulu. Have a nice day Luna," ucap Lily yang mencoba bangkit berdiri.

Luna mengangguk, "Thank you. Kau juga."

Saat baru saja berhasil berdiri, tubuh Lily tiba-tiba kehilangan keseimbangan hingga hampir terjatuh karena kakinya yang keram. Luna refleks bergerak untuk menahan tubuh Lily agar tidak jatuh sehingga tangannya menyentuh tangan Lily yang mencoba mencari pegangan.

Detik itu juga Luna mendapat penglihatan kalau Lily yang masih memakai pakaian sama pulang ke rumahnya dan suaminya yang mabuk akan memukulinya karena belum menyiapkan makan malam. Lily terjatuh akibat pukulan suaminya dan kepalanya terantuk sudut meja. Lily pingsan dan meninggal dalam perjalan ke rumah sakit – begitu pun dengan janin dalam kandungannya yang tidak berhasil diselamatkan.

"Luna?" panggil Lily karena Luna tiba-tiba terdiam seperti tidak sadarkan diri dengan pandangan kosong ke arahnya.

Luna yang kembali sadar pun menggelengkan kepalanya sekilas.

"Maafkan aku yang membuatmu kaget. Kakiku tadi terasa keram dan kehilangan keseimbangan. Kamu tidak apa–"

"Jangan pulang!” ucap Luna tegas memotong perkataan Lily.

Mendengar ucapan Luna membuat Lily bingung.

"Jangan pulang atau kau akan –" kalimat Luna terputus karena ia baru sadar kalau ia memberitahu Lily mengenai penglihatannya, Luna akan diserang sakit kepala yang luar biasa selama berhari-hari.

"Tidak jadi. Maaf membuatmu kaget. Aku pergi dulu," pamit Luna yang berjalan pergi.

Lily masih kebingungan.

Luna berjalan menjauh dengan hati bimbang.

"Apakah aku harus menyelamatkannya? Tapi, bagaimana? Bagaimana caranya agar dia percaya kalau aku bisa melihat masa depan?" Luna bertanya-tanya dalam pikirannya.

"Aku tidak bisa diam saja. Aku harus berusaha menyelamatkannya," pikir Luna.

Kaki Luna seketika berhenti berjalan. Ia berbalik dan mengikuti Lily berjalan dari belakang menuju kompleks apartemennya.

Begitu Lily masuk ke gedung apartemennya, Luna langsung menghubungi polisi dan ambulan dengan melaporkan ada kekerasan rumah tangga.

Luna menunggu di dekat unit apartemen Lily dan tak lama terdengar suara keributan dari dalam. Bingung harus bagaimana, Luna berusaha untuk tetap tenang dan mencoba mengetuk beberapa pintu unit sekitar untuk meminta bantuan, tapi tidak ada yang membuka pintunya.

Tak punya pilihan lain, Luna pun melihat ke sekeliling mencari barang yang bisa ia gunakan sebagai alat membela diri. Ia ambil tabung merah APAR yang digunakan untuk memadamkan api dan mengetuk pintu unit apartemen Lily beberapa kali hingga suara ribut dalam unit berhenti.

“Kau siapa? Ada urusan apa hah?!” tanya seorang pria bertubuh besar yang keluar dari unit apartemen Luna.

“A—aku temannya Lily. Ada yang harus aku bicarakan dengan Lily,“ jawab Luna mencoba setenang mungkin meskipun jemarinya yang memegang tabung APAR di balik tubuhnya gemetaran.

“Dia tidak ada. Pergi sana!” usir pria itu yang mencoba menutup pintu, tapi Luna berhasil mencegahnya dengan satu kaki.

“Lily!” panggil Luna setengah berteriak dan berusaha sekuat mungkin menahan pintu agar tidak tertutup.

“Dasar wanita gila! Pergi dari sini!” usir suami Lily yang berusaha mendorong pintu.

Karena Luna terus menerus memanggil Lily dan menahan pintu tertutup, suami Lily yang marah pun membuka pintu kembali lalu mencekik Luna dan mendorongnya ke tembok.

“Wanita sialan! Maumu apa hah?!” erang suami Lily sambil mencekik Luna.

Reflek, Luna pun memukul suami Lily dengan tabung APAR hingga pria itu terjatuh ke lantai dan berteriak kesakitan. Luna langsung pergi masuk ke dalam unit apartemen dan menghampiri Lily yang duduk ketakutan di pojok ruang tamunya dengan lebam di wajah.

“Lily, ayo kita pergi dari sini! Kamu masih bisa berdiri?” tanya Luna.

Lily yang masih terisak menangis hanya bisa mengangguk lemah.

Luna membantu Lily untuk bangkit dan segera pergi meninggalkan unit apartemennya. Suami Lily masih terkapar tak berdaya dan kesakitan di lantai akibat pukulan Luna, sehingga Luna dan Lily dapat lolos.

Tak berselang lama, mobil polisi datang dan menangkap suami Lily. Saat mobil ambulan datang, Lily pun langsung dirawat dan dilarikan ke rumah sakit. Luna diminta polisi untuk memberi keterangan kejadian.

Sementara itu di seberang jalan, sosok Ryan dengan suit hitamnya berdiri mematung dengan memegang selembar kertas. Ada nama Lily pada selembar kertas itu yang perlahan memudar dan hilang.

“Sial,” umpat Ryan kesal karena jiwa yang semestinya ia jemput tidak jadi meninggal.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status