Nara berjalan memasuki halaman rumahnya dan ia langsung berhadapan dengan sang kakek yang entah sejak kapan menunggunya di sana. Nara sudah hampir berjalan melewati pria tua itu namun kedua kakinya berhenti ketika namanya dipanggil.
"Nara." Seungmo berujar pelan. "Ke mana kau bawa norigae itu?"
"Norigae?"
"Kau sudah menemukannya, kan? Aku menggunakan benda itu sebagai penghalang di rumah ini agar Moa tak bisa menembusnya. Aku mencarinya tadi dan tidak menemukannya. Kau pasti sudah menemukannya. Ke mana kau membawa benda itu, Nara?"
"Aku sudah membuangnya," jawab Nara.
Kalimat yang baru saja Nara lontarkan itu membuat Seungmo menatap cucunya tak percaya. "Ka-kau... Membuangnya?"
"Ya. Aku membuangnya," tegas Nara dengan rahang yang sudah mengeras.
"Kenapa kau melakukan itu? Kau sendiri tahu kalau benda itu bisa melindungimu dari Moa!"
"Bertahun-tahun aku menjaga benda peninggalan ibu dan kake
Begitu malam tiba, Nara secara diam-diam keluar dari kamarnya. Gadis itu berjalan keluar melewati pagar rumah setelah memastikan kalau tak ada satu pun orang di rumahnya yang melihat."Aku harus segera kembali ke sana agar bisa mengetahui kelemahan Moa," batinnya seraya mempercepat langkah. Hari belum terlalu malam yang artinya perpustakaan yang ada di desanya itu kemungkinan masih dalam keadaan buka."Nona, Anda kembali?" Seorang penjaga tampak langsung menyapanya dengan begitu ramah.Nara mencoba menarik sudut bibirnya agar tak menimbulkan kecurigaan. "Hm, rasanya aku ingin membaca sesuatu di sini," ujarnya diiringi kikihan. Gadis itu lalu segera masuk ke dalam dan mendekati salah satu rak tempatnya menemukan buku itu."Nara?"Merasa namanya dipanggil, Nara pun menolehkan kepalanya ke sumber suara dan ia terkejut karena bertemu dengan Yooshin di sana. Gadis itu seketika langsung mengurungkan niatnya dan mengambil buku yang lain agar Yoos
Nara membawa serta peralatan memanahnya dan bergegas keluar rumah. Tepat ketika ia mencapai pagar, ia bertemu dengan kakeknya yang entah pulang dari mana, padahal hari masih pagi."Mau ke mana kau?" tanya Seungmo seraya menatap cucunya."Hanya ingin berjalan-jalan mencari udara segar," jawab Nara singkat dan kembali melangkahkan kedua kakinya hingga benar-benar melewati sang kakek.Seungmo berbalik dan menatap punggung Nara yang menjauh. Pria itu membuang napasnya pelan dan kembali berjalan memasuki rumahnya.la memasuki ruang makan dan ia terdiam begitu melihat mangkuk milik Nara yang terlihat sudah dalam keadaan kosong."Nara sudah sarapan?" tanyanya pada pelayan yang ada di sana."Iya, Tuan. Nona Nara baru saja selesai sarapan dan langsung pergi keluar," jawab pelayan itu."Apa dia mengatakan sesuatu? Mau pergi ke mana dia, ini masih begitu pagi, tidak biasanya dia pergi sepagi ini apalagi dia sendiri.""Maaf, Tuan Kim
Nara berdiri di perbatasan hutan seraya menatap Moa yang tengah duduk di salah satu dahan pohon."Aku benar-benar tidak bisa menahannya lagi, apa lagi yang kau tunggu? Kau bisa ikut denganku sekarang," ujar Moa dengan napas yang memberat."Tidak bisa, Moa. Sebentar lagi, perjanjian kita akan berakhir sebentar lagi dan jika kau berhasil bertahan hingga hari itu, maka aku akan ikut denganmu dengan sukarela." Nara membalas. Bisa ia lihat Moa sedang menahan diri. Wajahnya tampak agak pucat dari biasanya.Moa terdiam tanpa melepaskan pandangannya dari Nara. "Kau sedang mempersiapkan jebakan untukku? Kau sedang menunggu waktu yang tepat untuk menikamku dari belakang? kau sengaja melakukan ini hingga tenagaku terkuras habis dan kau akan menyerangku?"Nara menggelengkan kepalanya. "Aku tidak merencanakan apa-apa." Gadis itu perlahan tersenyum."Mungkin benar, aku yang sekarang memang lemah," batin Nara. Ya, dia lemah. Dia berjala
Hari sudah mulai gelap ketika Nara menginjakkan kedua kakinya kembali ke perbatasan hutan. Gadis itu lantas berbalik untuk menatap sosok yang masih berdiri di belakangnya. "Pulanglah. Mungkin ... orang-orang akan panik karena mengira aku telah menculikmu." Moa terkikih pelan, membuat Nara menahan tawanya. Sebelum Nara benar-benar pergi, suara Moa kembali menyapa indra pendengarannya sehingga gadis itu berbalik dan kembali menatapnya. Lelaki itu memanggilnya dengan suara yang begitu lembut. "Ada apa?" tanya Nara. "Besok ... apa kau akan ke sini lagi?" Pertanyaan itu sempat membuat Nara menautkan kedua alisnya sejenak, sebelum akhirnya ia mengulum senyum. "Kau berkata seperti itu karena memang ingin aku kembali lagi ke sini, kan?" ujarnya. "A-apa? Tidak--" "Aku akan ke sini lagi besok. Jadilah anak baik malam ini." Nara tersenyum sehingga kedua matanya membentuk sebuah lengkungan yang menyerupai bulan sabit ke atas. Ia pun pergi dari sana dan melambaikan tangannya pada Moa
Pagi ini Nara mendapat laporan kalau beberapa pemuda yang mengganggunya sudah diamankan oleh kepala desa dan akan segera diberikan sanksi. Sang kepala desa secara langsung pergi ke kediaman gadis itu untuk sekalian mengucapkan permintaan maaf. "Tidak perlu meminta maaf, ini sama sekali bukan kesalahan Anda," ujar Nara. "Mereka pasti membuat Anda merasa tak nyaman, Nona. Sekali lagi saya meminta maaf." "Tidak apa-apa. Yang penting sekarang mereka harus segera ditindak setidaknya agar jera, apalagi Yooshin bilang ada yang masih umurnya belum legal. Saya percaya Anda bisa melakukannya." Sang kepala desa kemudian membungkukkan badannya dan segera berpamitan dari sana. "Jangan terlalu sering pergi sendiri saat malam hari jika memang tak ada kepentingan. Atau setidaknya jika memang ingin pergi, suruh seseorang untuk menemanimu pergi," ujar Seungmo. Nara hanya bergumam pelan sebagai bentuk jawaban. "Aku akan pergi menjenguk Tuan Hwang dan mungkin pergi bersama Yooshin setelahn
"Mereka mencarimu." "A-apa?" "Ada seseorang yang menyuruh mereka ke sini dan mencarimu. Kurasa, kemarin orang-orang itu memang sudah mencurigai kau yang secara diam-diam pergi ke sini," ujar Moa seraya menurunkan Nara di suatu tempat. "Sungguh? Apa mungkin kakekku?" "Aku tidak tahu soal itu. Tapi, yang memimpin mereka adalah ayahnya si Yooshin itu, orang yang menjadi kepercayaan sekaligus tangan kanan kakekmu." "Jadi, maksudmu ... kemarin Tuan Hwang dan pengikutnya ke sini?" Moa mengangguk. "Mereka sudah merasa curiga padamu. Meski kemarin aku berhasil mengusir mereka, akan tetapi aku masih tak yakin kalau mereka tak akan kembali lagi." Lelaki itu menolehkan kepalannya ke belakang sana. "Tapi kemungkinan pemimpin mereka saat ini tak akan bisa pergi, karena kemarin aku tanpa sengaja melihatnya memakan buah yang kau temukan tadi." "A-apa kau bilang?" Kedua mata milik Nara lantas membulat. "Aku ingat kalau Yooshin juga berkata kalau saat ini ayahnya sedang sakit dan kemarin
“Ke mana dua orang yang tadi di sini? Apa mereka memesan ini untukmu?” Si pemilik kedai itu menatap seorang anak perempuan yang ada di meja itu.“Iya, mereka pergi dan meninggalkan ini di sini.”Wanita yang umurnya diperkirakan sudah hampir mencapai setengah abad itu lantas menatap sejumlah uang ditinggalkan di meja, lalu menghitungnya. Percakapannya dengan bocah itu sempat diperhatikan oleh salah seorang pengunjung yang ada di sana tanpa ia ketahui.“Uangnya pas untung semua pesanannya, berarti ini memang untukmu,” ujar wanita itu. “Ya ampun, dasar pasangan muda. Padahal ini masih hujan tapi malah langsung pergi.” Ia menatap ke sekitar dan sepertinya mereka berdua memang sudah pergi dari sana.“Tapi mereka berdua serasi, ya?” Bocah itu berujar di tengah kegiatan mengunyahnya.“Ah, kau juga berpikir begitu? Hanya saja aku tidak bisa melihat wajah prianya.”“Tuan itu memiliki wajah yang sangat tampan. Garis rahangnya tegas, warna kedua matanya juga agak kebiruan namun cantik. Aku juga
Nara membuka pintu kamarnya dan ia melihat Moa yang berada di sana, duduk bersila menghadap ke luar.“Kupikir kau langsung pulang,” ujar Nara.“Aku kedinginan.”Jawaban jujur itu membuat Nara tersenyum. “Kasihan sekali. Kupikir kau tak pernah merasa kedinginan,” ujarnya. “Kau pasti lelah. Tidur saja di sini sebelum kembali ke hutan. Kau mau mengganti pakaianmu? Mungkin aku bisa membawakanmu pakaian yang kering.”“Tidak usah. Aku akan tetap seperti ini, lagi pula sebentar lagi aku akan kembali ke hutan.”“Baiklah.” Nara kemudian terdiam saat gadis itu berniat menarik tali hanbok miliknya, lalu berbalik menatap Moa. “Aku … akan mengganti pakaian dulu—”“Ganti saja di sini.” Lelaki yang masih belum mengubah posisinya itu menginterupsi, mengabaikan reaksi Nara yang sudah membulatkan kedua matanya.“Kau gila?”&ld