Nara membuka pintu kamarnya dan ia melihat Moa yang berada di sana, duduk bersila menghadap ke luar.
“Kupikir kau langsung pulang,” ujar Nara.
“Aku kedinginan.”
Jawaban jujur itu membuat Nara tersenyum. “Kasihan sekali. Kupikir kau tak pernah merasa kedinginan,” ujarnya. “Kau pasti lelah. Tidur saja di sini sebelum kembali ke hutan. Kau mau mengganti pakaianmu? Mungkin aku bisa membawakanmu pakaian yang kering.”
“Tidak usah. Aku akan tetap seperti ini, lagi pula sebentar lagi aku akan kembali ke hutan.”
“Baiklah.” Nara kemudian terdiam saat gadis itu berniat menarik tali hanbok miliknya, lalu berbalik menatap Moa. “Aku … akan mengganti pakaian dulu—”
“Ganti saja di sini.” Lelaki yang masih belum mengubah posisinya itu menginterupsi, mengabaikan reaksi Nara yang sudah membulatkan kedua matanya.
“Kau gila?”
&ld
"Haewon, kau bisa kembali jika kau mau." Nara menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang, tepat ke arah wanita yang berjalan bersebelahan dengan Yooshin."Maaf, Nona. Tapi saya tidak bisa kembali jika hanya sendiri. Ini perintah dari Tuan Kim," jawab wanita yang umurnya lebih tua darinya itu tanpa mengangkat kepala. Nara membuang napasnya agak kasar, "Tapi aku benar-benar merasa tak nyaman jika seperti ini." "Sudahlah, Nara. Lagi pula ini memang bagus untukmu. Sesekali aku tak bisa menemanimu kan, jadi tak apa jika Nona Choi juga ikut bersamamu ke mana pun kau pergi." Yooshin segera berujar. "Iya, aku tahu. Tapi jika seperti ini, aku malah merasa seperti seorang Nona Muda terhormat yang tak pernah keluar rumah." Jawaban Nara malah membuat Yooshin terkikih pelan, hingga ia langsung mendapatkan tatapan tajam dari gadis itu. "Lagi pula kau ini pendeta, yang artinya kau memang orang cukup disegani di sini jadi tak ada salahnya kalau kau memiliki pelayan pribadi," ujar lelaki it
Dengan berbekal satu buah anak panah yang diberikan oleh Nara, Haewon berlari dengan sekuat tenaga berusaha untuk mencari Yooshin atau paling tidak para penjaga yang turut mencari para buronan itu. Tanpa harus melibatkan orang-orang yang tak bersalah, rasanya sulit karena bahkan gadis itu sedari tadi ingin sekali berteriak meminta tolong akan tetapi ia selalu mengurungkan niatnya begitu melihat banyaknya anak kecil di sana.Haewon menolehkan kepalanya ke belakang dan menatap seorang pria yang masih saja mengejarnya meski sudah terkena satu anak panah dari Nara tadi.“Berhenti kau!” teriak pria itu di belakang sana hingga beberapa orang tampak menoleh.“Tolong aku! Tuan Hwang!” Dengan sekuat tenaga Haewon berteriak dan berharap Yooshin ada di sekitar sana.Brukk!Nahasnya, gadis itu justru menabrak seseorang tanpa sengaja hingga tubuhnya limbung akan tetapi segera ditahan oleh orang itu.“Te-terima kasih!” Dengan takut-takut Haewon menatap pria di hadapannya dan ia menoleh ke belakang
“Maaf karena tidak bisa menjaga Nona Son dengan baik.” Yooshin dan Haewon membungkukkan badan usai berbicara dengan Seungmo begitu mereka sampai.“Tidak apa-apa, aku juga terkejut saat mendengar kabar itu. Padahal baru beberapa jam lalu Kepala Desa ke sini memberi kabar kalau para penjahat itu sudah ditangkap.” Seungmo membalas. “Kalau begitu sekarang aku akan ke sana denganmu. Haewon, tolonh awasi cucuku di sini.”Haewon yang mendengar itu kembali membungkukkan badannya. “Baik, Tuan Kim.”Nara membuang pandangannya usai menatap sang kakek yang sudah pergi bersama dengan Yooshin dan juga dua buah anak buahnya yang lain.“Bukan salahmu. Seharusnya kau tak perlu meminta maaf pada kakek,” ujar Nara. Ia melangkah memasuki rumahnya dengan diikuti Haewon di belakang.“Karena saya lalai, Nona.”“Tapi kau memang tidak salah. Kakrk juga tidak tahu sepenuhnya yang terjadi di sana. Kau sudah berjuang keras tadi. Jika tak ada kau, maka aku akan lebih kesulitan.” Nara memberikan peralatan memanahn
“Kau pergi bersamaku. Kapan kau akan melakukannya?”“Apa jika aku menyuruhmu untuk menunggu, kau masih akan tetap menunggu?” Nara membalasnya.Moa menatap kedua netra milik gadis itu kemudian ia memutuskan kontak mata mereka secara sepihak setelahnya. “Ah, kau masih ingin aku menunggu, ya? Baiklah, lupakan saja pertanyaanku barusan,” ujarnya seraya kembali menatap ke depan sana.“Apa kau … marah?”“Apa aku terlihat sedang marah?” tanya Moa dan lelaki itu menatap kembali Nara. Kemudian setelahnya ia menahan tawa begitu melihat Nara yang menganggukkan kepala, mengiyakan pertanyaannya dengan raut wajah begitu lugu.“Astaga, melihatmu seperti ini membuatku berpikir kalau kau ini masih gadis yang sama dengan yang aku lihat beberapa tahun yang lalu. Kau masih terlihat seperti saat berumur delapan tahun, kau tahu?” cibir Moa. “Dari dulu, tatapan dan juga raut wajahmu itu masih saja sama dan tidak berubah sedikit pun.”“Memangnya kau memperhatikanku?”“Seekor singa tak akan melepaskan mangsan
Satu per satu anak panah yang menancap pada pohon itu dicabut oleh Haewon dan setelahnya gadis itu memberikannya pada Nara. Sudah hampir dua jam ia menemani gadis itu memanah tanpa henti.“Tangan Anda sudah memerah, Nona. Sebaiknya Anda beristirahat karena itu bisa terluka.”Nara yang sudah menarik tali busur itu langsung menatap Haewon yang secara tiba-tiba beralih ke hadapannya. “Menyingkirlah, Haewon.”“Hentikan, Nona. Tangan Anda akan terluka.”“Menyingkirlah sebelum aku benar-benar membuat anak panah ini menancap di kepalamu.”Kalimat itu sempat membuat tubuh Haewon menegang. Ia menelan ludahnya dengan susah payah akan tetapi gadis itu tetap bersikeras dengan pendiriannya dan tak menyingkir sedikit pun dari hadpan Nara.“Saya tetap tidak akan menyingkir sebelum Anda berhenti.” Haewon menggenggam erat anak-anak panah di tangannya. Ia pasrah di sana jika Nara benar-benar menembakkan anak panah itu tepat ke kepalanya.Tali busur itu semakin ditarik kuat ke belakang. Nara menatap
Nara berpegangan erat pada sebuah tangan yang menangkapnya dengan sigap, sementara di belakang sana, Haewon masih terlihat syok dengan kedua kaki yang terasa begitu lemas. “Jangan sembarangan memetik beri saat di hutan. Kau harus lihat-lihat dulu kondisi tanahnya apalagi saat ini tanahnya sedang licin.” Yooshin berujar sesaat setelah lelaki itu berhasil menarik Nara kembali ke atas. “Maaf.” Nara membuang napasnya perlahan. “Terima kasih banyak, Tuan Hwang.” Haewon berlari mendekati Nara dan gadis itu membungkukkan badannya selama beberapa kali. “Kenapa kau bisa berada di sini?” tanya Nara kemudian. “Aku tidak sengaja bertemu dengan kakekmu dan dia berkata kalau saat ini kau dan Haewon sedang pergi ke kuil di utara.” “Jadi … kau menyusulku ke sini?” Nara mengangkat wajahnya dan menatap Yooshin. Kedua mata Yooshin berkedip pelan, ia kemudian membuang pandangannya ke arah lain. “Kakekmu bilang kau tidak membawa kudamu. Jadi, aku menyusulmu,” ungkapnya. Selang beberapa detik setelah
Kedatangan Nara disambut dengan baik oleh beberapa biksu yang berada di kuil. Suasana di sana pun tak banyak berubah sejak pertama kali Nara datang ke sana beberapa bulan yang lalu.“Rasanya sudah lama sekali Anda tidak ke sini, Nona Pendeta,” ujar satu orang biksu yang berdiri di paling depan.Nara tersenyum tipis. “Terakhir aku ke sini saat melihat pohon-pohon ek yang baru ditanam setelah upacara ritual purnama dihentikan. Dan aku baru sempat kemari lagi sekarang,” ujarnya.“Saya sangat bersyukur Anda baik-baik saja, Nona.” Sang biksu berujar. “Tuan Hwang selama ini telah menjaga Anda dengan sangat baik,” imbuhnya.Mendengar itu, Yooshin yang berdiri di belakang Nara segera membungkukkan tubuhnya sebagai ungkapan terima kasih.Kemudian setelahnya mereka dipersilakan masuk. Ketiganya sempat berdoa di sana dan setelahnya mereka di antar ke bagian belakang kuil yang langsung mengarah ke Gunung Seolchang di bagian timur laut. Haewon sempat berpamitan kepada Nara untuk berkeliling kuil d
“Dia datang lagi, Tuan.” Seorang biksu berjalan menghampiri sang tetua yang berada di belakang kuil.“Dia?” Kening sang pria tua itu mengerut.“Iya, Tuan. Mahluk itu.”Tanpa berpikir panjang lagi, kedua kaki mereka bergerak ke satu tempat yang ada di kuil. Di sana, seseorang terlihat duduk bersila dengan sebuah pedang berwarna biru menyala di dekapannya.“Aku tidak berniat mengacau di sini, jadi lanjutkan saja kegiatan kalian,” ujar Moa tanpa mengalihkan pandangannya ke belakang, seolah ia sudah tahu apa yang akan oleh kedua biksu di belakangnya itu.“Ini sudah hari ke lima kau datang ke sini tapi kau tak membuat masalah. Sebenarnya apa yang kau inginkan? Apa rencanamu?” Sang biksu berjalan menghampiri Moa yang masih duduk bersandar di salah satu pilar kuil, sementara kedua mata mahluk itu terlihat menatap lurus ke depan sana.“Kau sudah sering menanyakan hal itu, ya. Aku semakin bosan mendegarnya.” Moa menghela napas pelan. “Sudahlah, aku memang tak berniat mengacau di sini sama seka