"... Ada percik cinta diantara mereka
... "~ Ara ~
Kami semua terjebak di rumah seharian ini, karena gerimis sejak pagi belum juga berhenti dan mobil yang kusewa sudah dikembalikan. Alhasil kami tak kemana-mana seharian ini, hanya di rumah, nobar film dan sekarang di kamar lagi."Ra, thank you. Aku sudah mengkopi semuanya"
Aku menerima kameraku kembali.
"Aku malah belum melihatnya"
"Oh ya? Ah, Aku tinggal mandi dulu yah"
Aku mengangguk. Lalu memeriksa hasil foto-foto juga video rekaman kemarin.
Mereka berdua sangat baik bernyanyi. Aku jadi penasaran seperti apa band mereka dulu. Aku penasaran bagaimana Aru dulu diatas panggung, apakah sama seceria ini juga? Ataukah dulu justru dia lebih bahagia?
Tapi aku bisa melihat bagaimana Aru menikmati pertunjukan sederhana ini, jika dibandingkan dengan saat ia hanya ber
"... Romantisme tak harus datang dari bunga atau indahnya cahaya lilin... "~ Masih Saja Ara ~Kami berempat duduk dibawah dengan sebuah botol ditengahnya. Aru memberi peraturannya."Jadi siapapun yang ditunjuk oleh botol akan melakukan dare ataupun truth. Tapi tantangannya ialah ia tak akan memilih sendiri, melainkan dipilihkan oleh siapapun dintara kami. Paham?"Semua mengangguk paham."Kita mulai ya?" ujarnya kemudian, dan langsung memutar botol.Botol menunjuk pada Andre. Dia yang belum siap jadi memprotes."Yahhh, kenapa aku yang kena duluan""Siapa yang mau memberi tantangan?" tanya Aru, tapi karena tak satupun yang menjawab akhirnya dia melakukannya,"Aku saja. Andre... mmmh""Jangan sulit-sulit. Aku belum berpengalaman dalam permainan ini" "Permainan ini tidak butuh pengalaman ataupun skill, boca
"... Dia menyakitiku teramat baik, menikmati tiap tikamannya ... " ~ Masih Saja Ara ~ "Kita lanjutkan permainannya?" seseorang berkata begitu, dan aku tidak terlalu perduli. 'El Río' masih mengganjal pikiranku. SUNGAI?? "WHATTT???" aku mengingatnya. "Araaa" seseorang menunjukku. "NO WAY!" ujarku dalam keterkejutan. "NO WAY? Kau tak bisa menolak. Ini giliranmu, Ra" Aku melihat banyak foto dengan background sungai tadi. Foto-foto Quin di kapal. Dan fotonya yang terpana pada Aru cukup untukku menyimpulkan, dia tidak menyimpan Aru sebagai teman dalam hatinya. Itu terlalu jelas. Lantas hal romantis seperti apa yang sudah Aru lakukan hingga membuatnya terpesona begitu? Hal romantis seperti apa yang tak terlalu mahal, tapi bernilai tak terhingga? Apa itu? APA?? "ARRRAAAA!" "Huh?" aku tersadar.
"... Menyalakan fiksi dalam kepala orang yang cemburu itu hal buruk ... "~ Ara Lagi ~"Bagaimana?"Andre keluar memperlihatkan sarung yang dia kenakan. Aru tersenyum dan memberi kode ok. Quin juga keluar dengan daster tidurku yang jarang ku pakai. Aru menertawai-nya."Kenapa? Jelek ya?" protes Quin."Tidak. Stunning kok!""Then let's go!""Tidak... tidak. Siapa bilang kami akan ikut? Hanya kalian berdua yang pergi""Huh, curang!" keluh Andre"Kalian mau apa?""Bebas. Dessert-nya aku mau ice cream matcha. Untuk Ara rasaa... mau apa?""Rasa... ""Rasa sayange, rasa sayang sayange..." Aru menyela dengan tingkah kocaknya."Plis-lah serius!" tegur Quin malas."Rasa strawberry cincau. Kau suka itu kan? IYA. ITU AJA UDAH!""Oke. Matcha dan strawberry cincau" rekap Andre mengingat."Quin
"... Aku akan menikah ..." ~ Aru ~ "Ngak kesini?" Ara mengirim pesan. Aku akan membalas 'tidak' sebenarnya, sebelum pesan susulannya yang ke dua datang dan merubah pikiranku. "Aku sendirian, btw" Kata sendirian di pesan itu mengganggu pikiranku. Seperti medan magnet yang menarik kuat, aku tak bisa menghindar. Tapi tak ingin ini terlalu mudah baginya. "Tasya?" "Kencan" "Aku agak lelah. Kau saja yang kesini" aku masih jual mahal. "Zein di rumah?" "Ya" "Klo gitu, kau saja yang kesini" "Why?" "Ngak enak sama Zein" "Nonsense" "Kau saja yang kesini. Aku masak buat kamu juga, nih. You're invited" "Aku makan disini aja yah" "Aru, please! 🙏 Sayang klo dibuang. Aku dah masak lho ini. Hargai dong!" "Tapi aku dah sama kamu terus lho dari ke
"... Kau mau menikah dengan ku ... "~ Ara ~Aru menghindaiku lagi. dan aku tak bisa menghubunginya selama beberapa hari ini, sejak percakapan terakhir waktu itu. Itulah kenapa kini aku ke tempat Zein, menekan bel rumahnya berulang kali, tapi tak seorangpun membukakan pintu.Apartementnya sepi, seperti tak ada penghuni. Akupun sudah puluhan kali menghubungi Aru, tersambung tapi tak pernah diangkat juga. Dia membuatku cemas, terlebih karena tak ada aktivitas di dalam apartemen ini. Cepat aku memberanikan diri beralih ke nomer sahabatnya. Menghubunginya."Ohh, hallo Miss Ara. Kenapa kau menghubungiku? Ahh, biar kutebak. Kau pasti sedang BERTENGKAR dengan sahabatku, lalu dia menghilang begitu saja dari tempatmu. Jadi kau pasti menghubungiku hanya untuk bertanya dimana keberadaan Aru, kan?""Kurasa memang begitu. Kau tahu dimana dia?""Lain kali kau pake aplikasi cari orang saja, jangan melulu bertanya padak
"... Aku mau hubungan ini bernama ... "~ Aru ~Masa perenunganku berakhir. Aku sudah kembali ke tempat Ara, dia terus memintaku untuk kembali, aku menolak sebab aku tak lagi punya selera tinggal dan tetap berada disana. Aku tak punya pekerjaan, dan orang yang ku cintai telah menemukan cintanya yang lain. Berada disana hanya membuatku sakit. Tapi Ara tak pernah berhenti membujuk agar aku kembali. Katanya pekerjaan bisa dicari, dan dia masih mencintaiku.Mudah ditebak, aku luluh lagi. Tapi, bukan karena dia mengatakan cinta aku jadi luluh dan mau kembali. Sebab aku tahu dia juga punya cinta untuk Ar-no juga. Aku memintanya membuktikan kesungguhannya dengan datang ke rumah dan menjemputku. Dan diapun tidak mau awalnya. Dia punya banyak alasan untuk mengelak, tapi akhirnya dia ke rumahku juga membawaku kembali kesinggasana ternyaman kami.Baik Zufan juga Dila senang bertemu dengannya. Mereka
"... Aku ingin egois mencintaimu ... " ~ Aru ~ "Kau bahagia bila menikah dengannya?" rasanya hatiku memar mengatakan itu. Ara menaikkan bahunya. Menatap dengan tidak pasti dan tak terarah. Tapi aku mengembalikan fokusnya padaku. "Tentu aku ingin kau bahagia. Aku ingin melihatmu mengenakan gaun pengantin yang indah juga, dan menjalani hidup bahagia setelah pernikahan. Tapi− " "Tapi?? Bukan dengan Arnold?!" "Entah. I'm not saying it, Ra. Aku hanya ingin kita bahagia. KEBAHAGIAANMU yang paling utama bagiku" Dia mengerti. "Begini saja Ra, pastikan kau bisa hidup bahagia dengannya. Katakan jika HIDUP mu akan LEBIH BAHAGIA dengannya, jauh MELEBIHI saat kau bersamaku. Maka detik ini juga aku akan merelakan mu menikah dengannya. Jadi katakan!" Dia menatapku bimbang. "Kau bisa memastikan itu untukku?" "I can't Aru. I
"... Bukan hanya cinta yang memberi luka, tapi juga rasa kecewa ..."~ ARU ~"Ma− "'Aku jatuh cinta, Ma. Aku jatuh hati pada seorang wanita terpandang, anggun, dan bertatakrama. Dia wanita yang punya hati lembut seperti Mami, sensitif dan juga ke-ibuan. Kami saling mencintai. Tapi masalahnya, dia tak seiman dengan kita. Bolehkah aku menikahinya, Ma?'Aku ingin jujur dan mengatakan itu pada ibuku, tapi aku tak sampai hati untuk menambah beban pikirannya dan aku tak punya nyali mengatakannya. Aku takut ini terlalu melukai hatinya. Aku takut itu beresiko pada jantungnya. Aku tidak siap kehilangan siapapun saat ini. Tidak Ara, tidak juga keluargaku.Aku makin terpuruk dalam tangis memeluknya, hingga kepalaku pening."Ma, bagaimana kabar Mami saat ini?" akhirnya, hanya itu saja yang berani kulepas keluar dari mulutku."Mami baik sayang, sanga