Share

80. DEATH GAME

"... Aku akan menikah ..."

~ Aru ~

"Ngak kesini?" Ara mengirim pesan. 

Aku akan membalas 'tidak' sebenarnya, sebelum pesan susulannya yang ke dua datang dan merubah pikiranku.

"Aku sendirian, btw" 

Kata sendirian di pesan itu mengganggu pikiranku. Seperti medan magnet yang menarik kuat, aku tak bisa menghindar. Tapi tak ingin ini terlalu mudah baginya.

"Tasya?" 

"Kencan"

"Aku agak lelah. Kau saja yang kesini" aku masih jual mahal.

"Zein di rumah?"

"Ya"

"Klo gitu, kau saja yang kesini"

"Why?"

"Ngak enak sama Zein"

"Nonsense"

"Kau saja yang kesini. Aku masak buat kamu juga, nih. You're invited"

"Aku makan disini aja yah"

"Aru, please!    šŸ™    Sayang klo dibuang. Aku dah masak lho ini. Hargai dong!"

"Tapi aku dah sama kamu terus lho dari kemarin. Zein juga ngak lama disini"

"But I miss you" diapun membuat ini tidak mudah untuk ku hindari.

Sekalipun rindunya hanya text, tapi semua itu mampu menggetarkan lagi hatiku. Satu kalimat sederhana yang mampu meluluhkanku. Dia tahu itu.

"Besok saja, OK?"

Aku masih jual mahal. Sekalipun hatiku berkata 'ya' tapi aku mempersulitnya.

"No, Aru! It's like so bad. Real bad"

Sekali lagi dia membujuk dengan kalimat mahalnya yang tak selalu bisa ku dengar setiap hari, setiap waktu. Pernah ku bilang, kan? Jika dia sangat tertutup jika soal perasaannya padaku. Mungkin itulah kenapa rindunya jadi  hal yang mahal untukku. Sebab dia tak mengobralnya dengan baik. Kini, tidak ada alasan lain lagi untuk menghindar.

"OK. I'll be there really quick. So you will never ever feel so lonely, I guess?"

"YEAH, gO Aru... quick and hurry!"

"Happy Ra?"

"Mmm, YAASS"

"Need something?   šŸ‘‰  šŸ‘ˆ    Aku bisa mampir toko klo kau perlu sesuatu"

"Just you, I guess. It's more than enough. 15 minutes, can you?"

"OK. C.U.S"

"C.U"

Tak perlu waktu lama untuk sampai di Kondo milik Ara. Dia mempersiapkan makan siang kami dengan sederhana. Tanpa lilin, bunga, benda romantis lain. Keromantisan bagi kami ialah saat kita bisa memahami satu sama lain dengan baik. Membantu meringankan tugas satu sama lain dengan baik, bukan dengan mawar, coklat batangan, atau emas. Terlebih Ara bukan tipe perempuan romantis, dia juga bukan tipe penyuka kesederhanaan.

"Ehmmm, wanginya sedap"

"Kau datang? Jangan hanya berdiri saja melihatku. Ayo duduklah"

Alih-alih duduk, aku malah mendekat dan melingkarkan tangan ke perutnya.

"Mm, aromanya membangkitkan nafsu" 

Ara menyandar senang dalam pelukku.

"Makan?"

"Ya, nafsu makan. Keliatannya enak"

Ara mengambil sendok dan menyuapiku testernya.

"Bagaimana?"

"You never fail, Nyonya. Sesuai seleraku"

Dia tersenyum mendengar pujianku. 

"Bisa bantu aku ULEG Sambal?"

"Tentu"

Aku mencium rambut kepala Ara, sebelum melepas peluk. Dia senang menerimanya. 

"Ra ..."

"Mmh?"

"Bisa kau katakan sekali lagi?"

"What?"

"That you miss me so bad" godaku, tapi Ara menggeleng. Menggodaiku balik. 

"Oh come on, Ara"

"Nohhh"

"Plis, katakan sekali saja!"

"I miss you" katanya patuh, tapi cepat. 

"So bad?" mintaku secara lengkap.

"Not bad"

"So bad!"

"Not that bad" godanya. Tetap kekeh mengelak. Aku gemas dalam diri.

OMG. BATU BANGET SIH!

"You said that you miss me so bad before"

"Tapi sekarang kau sudah disini, Aru. So, it's not so bad anymore like before"

Tapi aku tetap senang mendengarnya. 

"Bisa aja ngereceh, huh?"

"Dan aku tahu kau suka hal-hal receh seperti itu"

Kami lantas berbagi tawa bersama. 

"Ru ..."

"Mmm?"

"Kapan Zein balik shanghai?"

"Entahlah. Kenapa?"

"Klo dia balik, kau tinggal disini lagi ya? Kan bentar lagi Tasya juga balik KL"

"Kenapa? Takut ya sendirian?"

"Lebih kesepian aja sih. Ngak ada temen ngobrol dan tukang pijat aku"

"Huh, dasar. Kurasa alasan kedua yang membuatmu ingin aku tinggal disini. Pijat gratis"

"Tahu ajah"

"Ra, bagaimana klo kali ini tidak gratis?" 

"Mmhh? Apa imbalan yang kau mau?"

"A kiss maybe?" godaku mencandainya.

"Nope!"

Sekalipun aku tahu dia akan menolak, tetap saja hati ini jadi sedikit nyeri.

"Favorit banget sih bilang NO ke aku?"

"Kau, kenapa favorit banget pengen menciumku?" celotehannya balik. 

Aku menarik pipinya, "Karna GEMAS!"

Ara mencubit tanganku ganti dan aku melepaskan tanganku dari pipinya. 

"Masak? Sama Quin ngegemesin mana?"

"Oh sh*t!" air dari cabe rebus yang ku uleg masuk ke mataku.

"Kenapa? Terganggu yah?"

"Mataku pedih tahu. Kena cabe!" aku membasuh mataku dengan air.

"Coba kulihat"

Dia berjinjit dan meniup mataku. Aku bisa merasakan kasih dan perhatiannya yang lembut padaku. Tapi apa kau juga bersikap seperti ini pada Arnold?

"Hei, kau mengundangku kesini bukan untuk nge-roasting aku dan Quin, kan?"

Ara berhenti dan tersenyum bahagia.

"Kau lebih menggemaskan darinya saat ini, okay?"

"Hanya saat ini?"

"Jangan serakah ...." aku mencolek hidungnya, "Aku tak bisa memprediksi perasaanku besok padamu apa masih gemas seperti ini, atau jadi sebal esok hari. Yang jelas aku masih cinta"

"Tapi kenapa aku tak merasa kau begitu padaku?"

"Mmmh mungkin, karena kau tidak lagi tertarik padaku" gurauku lagi.

"Uhmm, SARKASME BANGET SIH!"

Ada jeda hening yang kami gunakan untuk mempersiapkan semua makanan di atas meja.

"Ra..."

"Mmhh. Apa lagi, sekarang? Mau minta cium lagi?" Ara duduk di kursinya,

"Aku tegasin lagi yah sama kamu, NO ARU. NO, OKAY!"

"Bukan itu. Aku tahu akan ditolak klo minta itu lagi. Aku tak mau mengulang sakit hati lagi"

"Terus?"

"Kita main tanya jawab aja ya? Jawab tanyaku dengan cepat, okay?" mintaku.

"Kau ingin menjailiku? Maaf aku bukan Quin yang selalu menerima tantangan darimu"

"Masih cemburu juga? Dia udah pulang. Rumah udah adem, jangan dibikin panas lagi dong"

"Abis kamu yang mulai sih"

"Kok aku sih? Kan kamu yang mulai. Aku hanya ingin tanya jawab cepat"

"Apa ini semacam kuis cerdas cermat? Atau apa? Kenapa aku harus jawab cepet, ngak santuy aja?"

"Yah. Mungkin. Aku ingin tahu reflek cepat kepandaian mu seberapa"

"Kau ingin membandingkan aku dengan Quin, begitu?"

"Ya, ampun. Enggak! Ngak ada sangkut pautnya juga dengan Quin. JUST STOP THINKING ABOUT HER, YA!"

Dia hanya diam, malas.

"Jadi mau ngak?"

"Sebenarnya kau ingin mengujiku atau meremehkan kemampuanku?"

"Kita akan tahu nanti. Kau bisa menjawabnya dengan cepat atau tidak"

"Okay. Baiklah. Mainkan!"

"Yeah. Jawab cepat lho yah"

Ara mengangguk. Aku membuang nafas cepat. Menyiapkan diriku sendiri juga. 

"Oke, kita mulai. Katakan aku ganteng!"

"What?"

"Refleks mu payah" ejekku. 

"Itu karena permintaan mu terlalu narsis"

"Sekalipun begitu, klo kau memutuskan bermain maka ikuti peraturannya. Jangan banyak membantah atau kau akan dinyatakan kalah"

"Iya.. iya, oke. Ulangi sekali lagi!"

"Oke. Jawab cepat, fokuslah pada ucapan juga perintahku. Paham?"

"Iya!"

"Katakan aku ganteng" aku mengulang.

"Kau ganteng"

"Sebut tiga hal yang kau suka dariku!"

"Tidak ada"

"TIDAK ADA? SERIUS??"

"Sekarang kenapa kau yang protes? Kau memintaku menjawab dengan cepat"

"Tapi pertanyaannya sebutkan tiga yang kau suka dariku. Sungguh tidak ada?"

Ara tersenyum, meminta damai.

"Baik, smart dan... penyayang. Puas?"

Aku mengangguk senang.

"Sebut tiga nama orang terdekat mu"

"Tasya, Aru, Ar- Texxi" 

Aku memandangnya curiga. Kurasa Ara baru saja akan menyebut Ar-no. Aku tahu hatiku mulai terpengaruh kesal. Tapi aku tak oleh meledak dan merusak keharmonisan kecil ini.

"Sejak kapan Texxi jadi orang?"

"Dia seperti anakku, Aru"

"Tapi aku tidak mau jadi Papa Anjing"

Dia terbahak begitu senang.

"Lanjutkan permainanmu"

"Katakan sebuah kebohongan"

"I hate you Papa Anjing" aku tersenyum mendengar gurauannya.

"So, tell me something true"

Aku berharap dia akan bilang 'I love you.'

"This game is funny" 

Aku kecewa, jawabnya tak seharap denganku.

"Thank you. Then tell me a secret, Ara"

"Aku akan menikah" jawabnya spontan. 

"MENIKAH?"

Dan permainan terhenti dengan wajah buram di raut kami.

Akupun spontan menyeringai keruh berbalut luka sekali lagi. Aku tak bisa mengantisipasi perasaan canggung yang kian cepat menjalar kemana-mana.

Sekalipun itu bukan lagi kabar baru. Tapi mendengarnya langsung dari mulut orang yang kusayang adalah hal yang menyakitkan hatiku. Kehangatan kecil ini jadi aus dalam sekejap. 

"Aru... Aru, I'm so sorry. Sorry!"

"Untuk apa?" aku berusaha tenang. 

"Semua. Aku tak bermaksud menyakiti dan merusak momen ini"

"But you did it so well. You ruin my heart so well. Congrats Ara. I wish you happy" kataku sambil berusaha pergi.

"Aruuu... please... dengerin aku dulu..."

"Apalagi?" kataku lelah.

"Kau tak perlu menjelaskan apapun. Kita sudah tak bersama juga. Lagipula, aku juga tahu posisi sulitmu. Ya, aku SANGAT PAHAM. Tak perlu ada penjelasan lagi!"

"Aru... Kita lurusan ini semua ya!"

"Semua sudah jelas. Aku sudah kalah"

"Bisakah kita tidak seperti ini?"

"Lalu seperti apa?"

"Kita bicarakan ini dengan baik-baik. Tak perlu bertengkar" 

"Apa menurut mu, kita bertengkar? NO! I'm chill, Ra. I AM SO CHILL!"

"NO, you're not!"

Ara mengapitkan tangannya di leherku, lantas mencium pipiku dengan cepat.

Dia menyapu semua emosi dalam diriku seketika redam. Aku menenang dalam sekejap. Tidak hanya itu, aku pun jadi lemah dan bimbang dibuatnya.

"Kita tidak bisa menghabiskan waktu kita dengan terus bertengkar seperti ini. Aku lelah. Sungguh sangat lelah dengan semua keadaan ini juga. Aku... aku akan jelaskan semua, tapi bisakah kita tetap baik seperti ini?"

"I SAID NO! JANGAN MENJELASKAN APAPUN PADAKU. ITU AKAN SEMAKIN MELUKAIKU. TIDAK BISAKAH KAU PAHAM ITU?!"

"You're not chill at all" Ara menangis.

"Sorry, my bad"

Aku mendekapnya. Menenangkannya.

"Sungguh, kau sudah seyakin itu dengannya? HUBUNGAN KALIAN SUDAH SESERIUS ITU??"

"Entahlah, Ru. Aku juga tidak merasa baik dengan ini semua. Aku hanya merasa semakin tertekan dan pening"

"Tapi kau tetap tak bisa berbuat apa-apa untuk menolaknya?"

Ara mengangguk-angguk di pelukku.

"Ara..., apa cintaku tak pernah cukup untuk melengkapimu? Hingga harus ada orang lain diantara hubungan kita?"

Dia semakin terbenam dalam tangis.

"Kau tahu, Ru. Masalah kita bukan itu. Ini bukan lantaran cintamu tidak cukup untukku atau aku tak lagi mencintaimu. Bukan itu Aru!"

"Klo begitu, jangan menikah dengannya"

Matanya jadi berkaca-kaca karena mendengar permintaanku yang tak sederhana, tapi dia hanya diam dalam gemuruh di hatinya.

"Kenapa?"

"KENAPA??" 

Aku terluka dengan tanya Ara itu.

"Kenapa tidak bisa hanya aku saja, Ra?"

"Lalu, kau bisa menikahiku?"

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status