"... Mungkin karena cinta ini jumlahnya tak terhitung, jadi seperti debu ... "
~ Ara ~
Hari Ini, Di Dua Tahun Kemudian.Aku melakukan rutinitasku, bekerja. Tapi ada yang istimewa hari ini. Ini akan jadi dua hari terakhir ku bekerja disini, setelah hampir dua tahun lamanya. Itulah kenapa aku jadi agak sibuk hari ini. Banyak hal yang mesti dibereskan sebelum aku pergi keluar dan menghirup udara segarku dari hetiknya ruang kerja yang menyita banyak perhatianku selama ini.
Aku kembali ke ruanganku. Duduk di kursi nyamanku lagi, setelah memberi laporan yang Bos minta.
Sejenak aku mengecek ponselku, melihat jam dari sana, tapi aku malah disambut dengan notivikasi dari dua panggilan tak terjawab yang datang beberapa menit lalu dan itu merupakan nomor asing.
"Ra, bisa kau bantu aku dengan ini?" minta
"... Kami jadi manusia asing lagi setelah tahunan dingin, beku bagai gunung es ... "~ Ara ~"Hallooo..." aku menerimanya cepat, merasa jika itu panggilan penting.Sekalipun jika itu tidak penting aku akan menerimanya, karena selama ini aku memang membiarkan banyak nomer asing dengan mudah menghubungiku.Berharap dari banyaknya nomer asing itu akan ada satu panggilan yang selalu ku tunggu, menyapaku kembali meski hanya sekedar 'hai' yang bisa diucapkannya."Hallooow...??" sekali lagi aku menyapa dengan ramah siapapun orang diujung sana, yang masih diam tak menyahut."Hei..., dari Mas Bos nih. Spesial katanya" ujar teman kerjaku sambil meletakkan semangkuk bakso favoritku."Makasih""Ohh, makasihnya sampaikan sendiri saja yah. Aku bukan kurir cinta"Aku tersenyum geli mendengarnya."Okay, baiklah""Oh ya, boleh ku pinj
"... Jangan tanya kabarku bagaimana, itu berat untuk dijawab ... " ~ Aru ~ 'Apa itu anakmu??' Kau akhirnya menemukan kebahagiaan mu juga tanpa ku, kan Ra? Aku tahu itu. Aku tahu itu tak akan pernah terlalu sulit bagimu. Tak pernah sulit bagimu, seperti berada diposisi orang-orang dengan hati yang tersakiti sepertiku. "Semacam...??" "Semacam perpisahan ulang!" "Kenapa? Kau masih menghindariku?" "Tidak tahu! Mungkin ..." Aku menarik nafas berat dan menghembusnya cepat. "Mungkin karena, kau membuatku benci dengan kota indah ini" Aku tahu kalimatku memberi efek berat baginya juga. Dia jadi terdiam, mungkin menyesal telah bertanya begitu. Tapi aku berharap dia tidak akan mengucapkan kata maafnya lagi. Semoga ia mengingat dengan baik, dua hal yang kularang untuk diucapkannya padaku. Sayangnya, lirih dia mengucapkan k
"...Maaf adalah kata yang mewakili semua perasaanku padamu... "~ Ara ~"Kau... apa kau ...""Katakan saja, Ru!""Apa.... Kau bahagia?"Itukah yang membuatnya merasa berat? Kebahagiaan ku?! Apa kau merasa harus bertanggung jawab atas kebahagiaanku? Kau merasa terbebani jika aku berlarut dalam kesedihan itu atau bagaimana?Tapi aku tidak ingin kau merasa buruk karena merasa terbebani dengan itu."Mhhh...ya. Ya, aku... aku bahagia. Aku bahagia dengan apa yang kujalani kini""That's great!"Rasa aneh menyelinap. Getar suara Aru tidak terdengar baik. Seperti ada radiasi gemuruh yang hendak menyapa. Hawa ini seperti, hawa tenang sebelum badai."Good for you, Ra. Good for you!"Kalimatnya juga terasa aneh didengar.But, "Thanks"mungkin itu hanya dugaan ku saja, bukan sebuah isyarat.Mungkin
"... Ingatan itu seperti pintu ajaib, berhenti dan maju kemanasaja ... " ~ Aru ~ . . - Beberapa jam sebelum menelpon Ara - Aku terbangun dari lamunan singkatku, saat tiba-tiba dan seketika saja arus pikiranku terbawa mengingat ulang satu wajah yang berusaha aku singkirkan selama beberapa tahun ini, karena dia jadi punya dampak mengganggu bagiku, kini. Ya, sejak pertengkaran berat itu. Aku memutuskan untuk sepenuhnya menjauh dari Ara. Aku berjuang keras membunuh setiap rindu yang datang karenanya. Karena sejak itu aku sadar sepenuhnya jika semua hidupku dengannya hanyalah tersisa luka dan luka. Ara tak bisa menunjukkan ucapannya dengan tindakan serius. Dia hanya terus berusaha menahanku tapi tak pernah bisa mengeksekusi dengan tindakan nyata. Sebab itu aku membencinya setengah mati. Membuang namanya jauh-jauh. Tapi kena
"... Mungkin, kacamata cinta kami yang tak serupa hingga berselisih pham... "~ Aru ~"Kenapa? Kenapa sekarang kau tiba-tiba menanyakannya lagi? Ini perasaanmu lagi, atau masih tentang sakit hatimu? AHH... Kau ingin menuntutnya, ya? KAU INGIN BALAS DENDAM??!""Hey... hey, calm down bro! Aku hanya ingin bertanya hardisk ku. Sepertinya masih di tempatnya waktu itu""Jadi kau menanyakan nomernya hanya untuk mengambil hardisk, begitu?""Yep!""HECKKK NO! Kau pikir aku akan percaya BUALANMU, huh? Kau bisa beli yang baru klo soal itu, bruh!!""Aku tak bisa membeli file didalamnya!""Pertanyaannya, kenapa baru sekarang kau mencarinya? Setelah dua tahun??? Dan kau akan muncul begitu saja hanya untuk bertanya pada Ara 'hei Ra, kau masih menyimpan hardiskku?' BEGITU? HECK NO ARU!! AKU MENGENALMU!""Tapi aku memang perlu itu sekarang" "
"... Segalanya tak akan sama tanpanya ... "~ Aru ~..- FLASHBACK -Ara kembali memberikan sinyal ketidak jeslasannya lagi. Kadang dia manja lalu berubah menyebalkan. Kadang dia ingin ditemani tapi kemudian ingin aku pergi.Kadang dia manis lalu selanjutnya sifat manisnya itu melumer jadi tangis karena perdebatan kami berulang lagi. Aku bingung dengannya, mungkin dia juga sama bingungnya denganku. Kita jadi sangat membingungkan satu sama lain."Ru...?" panggil Ara memecah lamunku.Dia terlihat ingin mengutarakan sesuatu siang itu, tapi terus merasa ragu-ragu."Apa?""Amhh, tidak jadi. Bukan apa-apa kok, hanya ingin memanggil kamu saja"Dia urung mengutarakan niatnya setelah mengamatiku. Dari situ aku curiga dan bisa menebak jika mungkin saja dia ingin menjawabku saat itu. Tapi entah kenapa malah merasa ragu dan menundanya. Mngkin dia hanya
"... Cinta yang hebat akan berakhir dengan kebencian yang hebat pula ... " ~ Aru ~ "... Kaupun sebaiknya memahami hal itu" "Ohh my GWAADD. KAU BENAR-BENAR SUDAH SINTING?! Gunakan LOGIKAMU! Berpikirlah dengan WARAS, bro. WARAS!!" "Justru aku sangat WARAS! Makanya bisa berpikir seperti ini, Zei" "NOH! Kau masih terdengar seperti orang mabuk, sob!" "Cinta?! Yah kurasa!" "That's why you being so LOCO and stupid. Aru really, are you really that okey, bro?" "Yupz. I'm super straight you know" "Nah. You're just FOOLISH, idiot!" "Or I'M just F*cking in LOVE with her, okey!" "NOH, You're just PAKK1NG LOSING your mind!! MENCINTAINYA HANYA membuat LOGIKA OTAKMU MELEMAH. TUMPUL!!" "Hey, but STILL SOBER enough you know!" "SOBER, huh?? YOU GOING ASTRAY, mate! Jel
"... Aku sadar kau tak terlalu cantik malam itu, tapi aku suka ..." ~ Aru ~ . . Aku tak tahu lagi apa yang kurasakan kini. Setelah buru-buru memutus obrolan singkat dengan Ara tadi, aku malah jadi semakin tak menentu. Membuat tidurku tak lagi enak, padahal kukira dengan tahu bawa dia bahagia aku bisa tidur pulas dan lepas tanpa beban. Tapi itu malah seperti bumerang yang menyerang diriku sendiri, membuat pikiranku kacau lagi, merusak tatanan nyaman yang berhasil ku bangun dan kulalui tahunan lalu tanpanya. "Kurasa dinding pertahananku jebol kembali. Dan aku sakit lagi" renungku. Harusnya kudengar baik-baik nasehat Zein, sebelum aku menghubungi Ara lagi. Karena bagaimapun dia punya sisi benar dalam menasehatiku, tapi yang kulakukan malah terus mengabaikan itu sejak dulu. "Ingat ini kawan! Berhati-hatilah sebab perasaan itu selalu bersifat fluktuatif. Tak bisa diprediksi den