"... Segalanya tak akan sama tanpanya ... "
~ Aru ~
.
.
- FLASHBACK -
Ara kembali memberikan sinyal ketidak jeslasannya lagi. Kadang dia manja lalu berubah menyebalkan. Kadang dia ingin ditemani tapi kemudian ingin aku pergi.
Kadang dia manis lalu selanjutnya sifat manisnya itu melumer jadi tangis karena perdebatan kami berulang lagi. Aku bingung dengannya, mungkin dia juga sama bingungnya denganku. Kita jadi sangat membingungkan satu sama lain.
"Ru...?" panggil Ara memecah lamunku.Dia terlihat ingin mengutarakan sesuatu siang itu, tapi terus merasa ragu-ragu."Apa?"
"Amhh, tidak jadi. Bukan apa-apa kok, hanya ingin memanggil kamu saja"
Dia urung mengutarakan niatnya setelah mengamatiku. Dari situ aku curiga dan bisa menebak jika mungkin saja dia ingin menjawabku saat itu. Tapi entah kenapa malah merasa ragu dan menundanya. Mngkin dia hanya
"... Cinta yang hebat akan berakhir dengan kebencian yang hebat pula ... " ~ Aru ~ "... Kaupun sebaiknya memahami hal itu" "Ohh my GWAADD. KAU BENAR-BENAR SUDAH SINTING?! Gunakan LOGIKAMU! Berpikirlah dengan WARAS, bro. WARAS!!" "Justru aku sangat WARAS! Makanya bisa berpikir seperti ini, Zei" "NOH! Kau masih terdengar seperti orang mabuk, sob!" "Cinta?! Yah kurasa!" "That's why you being so LOCO and stupid. Aru really, are you really that okey, bro?" "Yupz. I'm super straight you know" "Nah. You're just FOOLISH, idiot!" "Or I'M just F*cking in LOVE with her, okey!" "NOH, You're just PAKK1NG LOSING your mind!! MENCINTAINYA HANYA membuat LOGIKA OTAKMU MELEMAH. TUMPUL!!" "Hey, but STILL SOBER enough you know!" "SOBER, huh?? YOU GOING ASTRAY, mate! Jel
"... Aku sadar kau tak terlalu cantik malam itu, tapi aku suka ..." ~ Aru ~ . . Aku tak tahu lagi apa yang kurasakan kini. Setelah buru-buru memutus obrolan singkat dengan Ara tadi, aku malah jadi semakin tak menentu. Membuat tidurku tak lagi enak, padahal kukira dengan tahu bawa dia bahagia aku bisa tidur pulas dan lepas tanpa beban. Tapi itu malah seperti bumerang yang menyerang diriku sendiri, membuat pikiranku kacau lagi, merusak tatanan nyaman yang berhasil ku bangun dan kulalui tahunan lalu tanpanya. "Kurasa dinding pertahananku jebol kembali. Dan aku sakit lagi" renungku. Harusnya kudengar baik-baik nasehat Zein, sebelum aku menghubungi Ara lagi. Karena bagaimapun dia punya sisi benar dalam menasehatiku, tapi yang kulakukan malah terus mengabaikan itu sejak dulu. "Ingat ini kawan! Berhati-hatilah sebab perasaan itu selalu bersifat fluktuatif. Tak bisa diprediksi den
"... Tetaplah disampingku, karna aku tak yakin bisa tanpamu ..."~ Ara ~.."Lalu?""Lalu, kita membicarakan banyak hal tentang film yang baru kita tonton. Kau suka karakter pria yang merupakan suami sang istri, tapi aku lebih suka karakter pria dari tokoh simpanan sang istri. Lalu dari sana kita tahu jika ternyata kita menyukai sesuatu secara BERKEBALIKAN. Mulai dari selera makan, tontonan, hobi, cara berpikir, dan lain-lain-lainnya""Tapi kau selalu bilang jika kita punya satu persamaan diantara banyaknya perbedaan-perbedaan kita itu""Yupz!""Dan...?""Dan itulah CINTA! Perbedaan kita berdua tersatukan dengan cinta. Itu satu-satunya persamaan yang kita miliki, yaitu dengan saling mencintai. Dan harusnya, sampai detik inipun tetap begitu" Aru melepas kalimat terakhirnya dalam ketak yakinan.Aku bisa merasakan ada kegetiran dari kalimat singkat itu, dan aku berusa
"... Cerita ini hanya fiksi awang-awang ..." ~ Aru ~ . . "Tetaplah disampingku, Bi. Karna aku tak yakin bisa melewati ini semua tanpamu..." 'Is this for real?! Darn, hatiku rasanya mekar dengan sangat baik. Akhirnya!' "Kumohon jangan pergi− " Tunggu dulu! Tunggu dulu!! 'Kenapa kalimatnya terdengar janggal, ya? Kenapa juga aku harus pergi, jika dia akan memilihku? Kenapa??' "Tetaplah disampingku dan... " "Dan?" "Tetaplah jadi teman terbaikku!" PAHIT. OH GOD! Sungguh indah caranya menyanjung, hingga kukira aku sedang terbang tinggi bersama angin musim semi, tapi ternyata angin musim gugurlah yang datang dan menerbangkanku tinggi, hanya agar bisa menjatuhkanku sempurna ke tanah. Andai saja kalimatnya berakhir titik tepat sebelum kata 'dan' muncul dan menyusul untuk memberi jeda
"... Apa cinta bisa diukur dengan cium ..."~ Ara ~.."Jadi BEGINI saja AKHIR KITA? Kau akan MEINGGALKAN ku begini? KAU akan MENYINGKIRKANKU setelah TIDAK LAGI KAU butuhkan, BEGITU?! KAU INGKAR JANJI RU!" makiku emosi dan berbalik pergi, tapi Aru yang jadi menahanku."Ara, JANGAN MEMBALIK FAKTA!!! Kau yang meninggalkanku dan memilih dia, JADI AKU PERGI!""Tidak bisakah KITA BERTEMAN?""WHATT?? BER-TE-MAN?! Buat apa lagi?! Keputusan mu sudah cukup jelas bagiku. Aku yakin kau tak perlu teman sepertiku. I'm not a good person for you. Anymore!"Aku menatapnya tak mengerti."Semua wanita baik menginginkan pria yang baik. Lupa? Kau tak memilihku. Artinya, aku tak cukup baik bagimu, kan! Jadi untuk apa juga kita berteman? KITA TAK AKAN BERTEMAN RA!! NO, NEVER!"Aru berbalik dan hendak pergi tapi aku balik menahan langkahnya."Tidak bisakah itu menjad
"... Kita memasuki babak perang cinta..." ~ Aru ~ . . "ARU, KAULAH yang selalu RAGU AKAN CINTAKU PADAMU selama ini, BUKAN AKU!! You know what, I'm just trying to give you what you really want, MOST!!!" tekannya padaku, membela diri. "Jadi JANGAN LAGI MERAGUKAN TIMBANGAN CINTAKU PADAMU, jika kau tak tahu semua itu dengan tepat, ARU!" Aku mendengus tak percaya. "Bagaimana aku tidak ragu? Kau biasa bilang, NO! MOST ALL THE TIME, RA!! No is your favorite answer to me. Bagaimana bisa kau berubah semudah ini sekarang? KENAPA? KASIHAN!?" "IT'S YOU ARU! IT IS YOU!! I changed my mind it's because of you, Aru!" Mata baranya menegas, menekankan jawabnya yang tak main-main. Aku mengelak mempercayai belaannya. Jelas dia bukan versi Ara yang ku kenal. Dia adalah versi Ara yang akan menikah dengan orang lain. Yang rela melepasku dengan pertaruhan apapun. Ara tak akan rela melepas sisi egoisnya dan keras kepalanya hanya karena kata cinta. Dia bukanlah tipe orang yang bisa melemah hanya deng
"... Mencintai dua orang dalam satu hati, tidaklah mudah ..."~ Ara ~..Aku masih sukar menepis kesepian, dan bergulat menyingkirkan pikiran sedih ini dari 25 hariku tanpanya. Hampir sebulan dan dia masih sama saja, menghindariku. Masih menutup diri dariku. Sikapnya jadi jauh dari hangat. Sepertinya kali ini dia sungguh-sungguh ingin menjadikanku musuhnya. Aku lelah membujuk, berdamai padanya sedang dia seperti tak mau lagi mengenalku, hingga tangispun sering menjadi teman sunyiku.Benar katanya, kami tidak baik terpisah. Tapi aku tak bisa memilihnya, sekalipun aku ingin memilihnya. Karena bagiku, tak ada restu orang tua itu seperti menjalani hidup dalam sekap bayang-bayang hitam. Selain memicu sesak nafas dan rasa takut, itu juga memberi beban ketidak tenangan jiwa."Maaf, aku tak bisa memilihmu, sekalipun aku ingin. Aku hanya tidak bisa..."Pedih itu hadir kembali, mengusik hati yang masih gamang. Dan disaat seperti inilah aku berlari pada Tasya. Berharap dia bisa menghibur gulan
"... I love you, itu perasaan bukan bualan ..."~ Ara ~.."Makan sendiri tidak terlalu enak, Aru!""Makan denganmu lebih tidak enak lagi. Maksudku, makan dengan MANTAN lebih tak enak lagi rasanya tauk!"Aku menatap lelah. Malas mendengar hal semacam itu keluar lagi jadi sinis yang mengusik telinga."Harusnya, jawab saja agar kita punya tenaga lagi untuk bertengkar. Itu lebih mudah diterima daripada alasan apapun juga, saat ini. Bagiku""TERSERAHLAH!"Kutarik satu mangkok dengan dorongan kesal. Menyantap laksa dengan banyak air mata, menikmati kebersamaan yang kini terasa MEMUDAR di depan mata.Satu seruputan lagi, air mataku meleleh terbawa arus perasaan yang kian campur aduk jadi satu kesatuan, antara takut kehilangannya tapi juga harus merelakan. Antara rindu tapi juga lelah dengan sikap dinginnya yang tak mereda. Sedangkan waktu kami makin singkat dan terbatas.Aku sungguh merindukan sosok Aru yang biasanya hangat, ramah, penuh cinta.'Cinta?' Bukankah aku baru saja memutusnya.