"... Apa cinta bisa diukur dengan cium ..."
~ Ara ~
.
.
"Jadi BEGINI saja AKHIR KITA? Kau akan MEINGGALKAN ku begini? KAU akan MENYINGKIRKANKU setelah TIDAK LAGI KAU butuhkan, BEGITU?! KAU INGKAR JANJI RU!" makiku emosi dan berbalik pergi, tapi Aru yang jadi menahanku.
"Ara, JANGAN MEMBALIK FAKTA!!! Kau yang meninggalkanku dan memilih dia, JADI AKU PERGI!"
"Tidak bisakah KITA BERTEMAN?"
"WHATT?? BER-TE-MAN?! Buat apa lagi?! Keputusan mu sudah cukup jelas bagiku. Aku yakin kau tak perlu teman sepertiku. I'm not a good person for you. Anymore!"
Aku menatapnya tak mengerti.
"Semua wanita baik menginginkan pria yang baik. Lupa? Kau tak memilihku. Artinya, aku tak cukup baik bagimu, kan! Jadi untuk apa juga kita berteman? KITA TAK AKAN BERTEMAN RA!! NO, NEVER!"
Aru berbalik dan hendak pergi tapi aku balik menahan langkahnya.
"Tidak bisakah itu menjad
"... Kita memasuki babak perang cinta..." ~ Aru ~ . . "ARU, KAULAH yang selalu RAGU AKAN CINTAKU PADAMU selama ini, BUKAN AKU!! You know what, I'm just trying to give you what you really want, MOST!!!" tekannya padaku, membela diri. "Jadi JANGAN LAGI MERAGUKAN TIMBANGAN CINTAKU PADAMU, jika kau tak tahu semua itu dengan tepat, ARU!" Aku mendengus tak percaya. "Bagaimana aku tidak ragu? Kau biasa bilang, NO! MOST ALL THE TIME, RA!! No is your favorite answer to me. Bagaimana bisa kau berubah semudah ini sekarang? KENAPA? KASIHAN!?" "IT'S YOU ARU! IT IS YOU!! I changed my mind it's because of you, Aru!" Mata baranya menegas, menekankan jawabnya yang tak main-main. Aku mengelak mempercayai belaannya. Jelas dia bukan versi Ara yang ku kenal. Dia adalah versi Ara yang akan menikah dengan orang lain. Yang rela melepasku dengan pertaruhan apapun. Ara tak akan rela melepas sisi egoisnya dan keras kepalanya hanya karena kata cinta. Dia bukanlah tipe orang yang bisa melemah hanya deng
"... Mencintai dua orang dalam satu hati, tidaklah mudah ..."~ Ara ~..Aku masih sukar menepis kesepian, dan bergulat menyingkirkan pikiran sedih ini dari 25 hariku tanpanya. Hampir sebulan dan dia masih sama saja, menghindariku. Masih menutup diri dariku. Sikapnya jadi jauh dari hangat. Sepertinya kali ini dia sungguh-sungguh ingin menjadikanku musuhnya. Aku lelah membujuk, berdamai padanya sedang dia seperti tak mau lagi mengenalku, hingga tangispun sering menjadi teman sunyiku.Benar katanya, kami tidak baik terpisah. Tapi aku tak bisa memilihnya, sekalipun aku ingin memilihnya. Karena bagiku, tak ada restu orang tua itu seperti menjalani hidup dalam sekap bayang-bayang hitam. Selain memicu sesak nafas dan rasa takut, itu juga memberi beban ketidak tenangan jiwa."Maaf, aku tak bisa memilihmu, sekalipun aku ingin. Aku hanya tidak bisa..."Pedih itu hadir kembali, mengusik hati yang masih gamang. Dan disaat seperti inilah aku berlari pada Tasya. Berharap dia bisa menghibur gulan
"... I love you, itu perasaan bukan bualan ..."~ Ara ~.."Makan sendiri tidak terlalu enak, Aru!""Makan denganmu lebih tidak enak lagi. Maksudku, makan dengan MANTAN lebih tak enak lagi rasanya tauk!"Aku menatap lelah. Malas mendengar hal semacam itu keluar lagi jadi sinis yang mengusik telinga."Harusnya, jawab saja agar kita punya tenaga lagi untuk bertengkar. Itu lebih mudah diterima daripada alasan apapun juga, saat ini. Bagiku""TERSERAHLAH!"Kutarik satu mangkok dengan dorongan kesal. Menyantap laksa dengan banyak air mata, menikmati kebersamaan yang kini terasa MEMUDAR di depan mata.Satu seruputan lagi, air mataku meleleh terbawa arus perasaan yang kian campur aduk jadi satu kesatuan, antara takut kehilangannya tapi juga harus merelakan. Antara rindu tapi juga lelah dengan sikap dinginnya yang tak mereda. Sedangkan waktu kami makin singkat dan terbatas.Aku sungguh merindukan sosok Aru yang biasanya hangat, ramah, penuh cinta.'Cinta?' Bukankah aku baru saja memutusnya.
"... Sejak kau tumbuhkan cinta lain dihati, dimensi cintamu berubah ..." ~ Aru ~ . . Remang hadir lagi dalam pandangan Ara, setelah aku meluruskan apa yang kurasa telah bengkok dalam pandangannya. "Kau lupa, Ra?!" "Kau lupa jika itu bagian dari perasaanku! Itukah kenapa kau tak membalasku? Atau kau tak membalasnya sebab itu bukan lagi perasaanmu padaku?" "Buk− " "It's okay. It's okay! Aku memang tak seharusnya menuntutmu mengatakan hal yang sama. Jika− Jika kau memang tak lagi merasakan hal yang sama padaku. Aku paham. Aku tak harusnya egois meminta hal yang sama padamu..." 'Apa karena aku terlalu menuntut? Karena itu kau memilih untuk memilihnya?' "Bisa kita pulang sekarang?" Aku kehabisan keberanian dan nyali. "Dan ini, bisa kau urus pembayarannya dulu? Aku yang akan traktir kali ini, tapi... pinjam uangmu dulu ya! Aku
"... Akan ada waktu baik saat berusaha ..." ~ Ara ~ . . Aku terus menghitung waktu hampaku. Enam belas hariku mulai di-isi sesal dalam tangis dan renungan. Aru tak pernah muncul lagi kemari, meski aku telah meminta Zein mengijinkannya. Tujuh belas hariku berjalan suram. Dia masih menyenyapkan diri. Aku tahu, mungkin itu karena dia masih marah dan terluka. Jadi aku memberi jeda untuk tak kesana, berharap dengan begitu dia punya ruang untuk merindukanku. Tapi 18 hariku terkurung dalam pesimis membuatku tak nyaman lagi hanya diam. Akupun jadi mudah menangis, teringat dia. Sementara seisi rumah ini terisi penuh dengan bayangannya. Tapi Aru tetap sedingin es beku, tetap memblokirku. Tetap tak lagi peduli aku. "Bagaimana harus kujalani hariku tanpa mu besok?" Percakapan waktu itu muncul lagi dari keheningan. "Itu tak akan terlalu sulit bagimu, Ra. Kau akan memulai cinta baru dengannya. Mudah bagimu melupakanku. Tapi... bagaimana denganku?" Ya, bagaimana denganmu? Kau hanya selal
"... Kau menukar kesetiaannya dengan patah hati ..." ~ Ara ~ . . Dua jam berselang dari pesan-pesan yang ku kirim. Tasya akhirnya menghubungiku. "Hey, everything still be okay without Aru, okay! Kau akan baik-baik saja!" katanya bahkan sebelum sapa halloku terucap. But I'm not okay. Aku buruk. Dan merasa bersalah. "Aku merasa tak lagi bisa menghadapi ini tanpanya. Aku total kesepian. Sekaligus rindu parah. Tapi aku takut menemuinya. Aku hilang pegangan tanpanya, Sya" "Ara aku tahu, rindu adalah bagian paling berat yang harus dihadapi saat ini. Tapi kau juga harus ingat jika ini juga hanya bagian dari proses. Kau semakin dekat dengan keberhasilan mu" "Mmm" "Ara, kau hanya perlu membiasakan diri tanpanya. Bukan berarti tanpanya kau tak bisa" Aku mengangguk, lega mendenarnya. "Paham?" Bodoh. Kenapa aku menga
"... Pisah adalah sekat untuk menahan diri dari kedekatan lagi ..."~ Masih Ara ~..Aku hancur dalam kalimat jujur Tasya."Ara, kau menyiapkan kuda-kuda untuk mundur dari cinta Aru. Tapi tak pernah cukup berani mengatakannya sendiri. Kau hanya selalu mununggu waktu dan waktu. Apa kau pikir itu adil untuknya? APA KAU PIKIR ITU TIDAK SAKIT BAGINYA?""Cukup Sya!""Aru hanya mencintaimu, tapi ganjaran dari rasa cintanya padamu hanya rasa sakit. SUNNGGUH IRONIS. PAHAM? KAU PAHAM KENAPA DIA TAK INGIN JADI TEMANMU? Itu karena cintanya berubah jadi derita MENYAKITKAN!""CUKUP SYA!"Aku masuk kejurang perasaan tersakitku.Benar, selama ini hanya aku yang terus egois memaksakan kehendak diri. Aku egois karena ingin semua ini berakhir baik-baik saja tanpa merelakan apa-apa hilang dariku. Aku ingin semuanya tetap dekat denganku. Tapi itu tak mungkin."You mess with the wron
"... Apa aku menyukaimu sebab kau pria idealku, atau serupa dirinya ..." ~ Masih Ara ~ . . "Klo begitu tersenyumlah!" Aku tersenyum menurutinya. "JELEK!" dia selalu tak menghargaiku. "Lakukan lebih natural lagi nanti. Jangan sampai ibuku tahu KAULAH orang yang menghancurkan hati anak tersayangnya!" Huhf, sabar Ara. Sabar! "Kakak ayooo, aku lap... " adik lelakinya menyela kami. "Ohh, Mbak Ara... yeh" dia mendekat, dan memelukku. Beginilah kehangatan di keluarganya. Pastas saja dia suka sekali memelukku. Baru setelah itu si kecil menyalamiku. Aku tersenyum senang menyambutnya. "Mbak Ara bawa oleh-oleh tidak?" "Amhh? Tidak" "Yah!" dia kecewa. "Hei bocah, sopan!" "Katakan apa yang kau suka?" "Es krim! Semua orang suka es krim!" "Kenapa kau suka es krim?" "Karna manis, lembut