Share

104. KEPALA BATU

"... Akan ada waktu baik saat berusaha ..."

~ Ara ~

.

.

Aku terus menghitung waktu hampaku.

Enam belas hariku mulai di-isi sesal dalam tangis dan renungan. Aru tak pernah muncul lagi kemari, meski aku telah meminta Zein mengijinkannya.

Tujuh belas hariku berjalan suram. Dia masih menyenyapkan diri. Aku tahu, mungkin itu karena dia masih marah dan terluka. Jadi aku memberi jeda untuk tak kesana, berharap dengan begitu dia punya ruang untuk merindukanku.

Tapi 18 hariku terkurung dalam pesimis membuatku tak nyaman lagi hanya diam. Akupun jadi mudah menangis, teringat dia. Sementara seisi rumah ini terisi penuh dengan bayangannya.

Tapi Aru tetap sedingin es beku, tetap memblokirku. Tetap tak lagi peduli aku.

"Bagaimana harus kujalani hariku tanpa mu besok?"

Percakapan waktu itu muncul lagi dari keheningan.

"Itu tak akan terlalu sulit bagimu, Ra. Kau akan memulai cinta baru dengannya. Mudah bagimu  melupakanku. Tapi... bagaimana denganku?"

Ya, bagaimana denganmu? Kau hanya selalu punya aku di hatimu?

"Bagaimana denganmu?"

"Entah. Mungkin aku hanya harus mulai dengan menghapusmu"

"Kenapa harus menghapusku?"

"Agar aku kuat!"

"Kau kuat tanpa harus menghapusku!"

"Tidurlah. Aku pergi setelah kau tidur"

Aku tak mau.

Aku mengapit wajahnya. Menatapnya dengan berat. Dengan hati terluka. Dengan banyak permohonan dalam diri. Tapi tiap kali menatapnya begini aku jadi hilang konsetrasi. Aku lupa akan apa yang ingin kusampaikan.

"I'm sorry"

Entah kenapa hanya kata itu yang selalu menyisa keluar. Mungkin sebab rasa tak enak hati. Mungkin karena aku takut melukainya dan lalu kehilangannya. 

"Tak perlu meminta maaf, Ra. Aku selalu lebih dulu memberinya"

"Semuanya?"

"Semuanya"

Aku tahu itu. Dia memang pemaaf. Tapi aku takut maafnya habis karena aku terus melukainya bahkan saat tanpa sengaja.

"Then stay in my side, please!"

Matanya berbinar senang, tapi siratan berikutnya memperlihatkan ketegaran yang dia antisipasi.

"Aku tidak ingin kita berakhir buruk. Jadi tetaplah didekatku, kumohon! Kita bisa berteman baik kan?"

"Kau selalu membuat ini jadi rumit"

"Tidak Aru! Aku membuat ini lebih mudah bagi kita. Selama ini, semua menjadi lebih mudah karena kita tetap bersama-sama. Selama kita bersama, aku yakin kita bisa melewati semuannya. Serumit apapun itu"

"Apa itu artinya kau akan meninggalkan dia untuk tetap bersamaku?"

Aku pucat tak bisa mengeluarkan jawab.

"Tidak? Tentu saja tidak!" dia kecewa.

"AKU TAK MAU JADI TEMANMU!" dia jadi marah, "Bahkan sampai KIAMATPUN AKU TAK MAU!"

"ARUUU KENAPA DENGANMU??" aku tak menyangka dia akan sekeras ini, "APA AKU SUNGGUH SEBURUK ITU??"

"Aku akan membesarkan hati menerima pilihanmu. Tapi kau harus membesarkan hati juga untuk tidak lagi mencariku"

"Maksudmu?"

"Jangan menghubungiku. Jangan juga bertanya kabarku. Jangan pernah lagi meminta maaf padaku. AKU MUAK!!"

Aku menggeleng-geleng tidak sanggup. Tapi lidahku terbungkam kaku dalam tangis beku.

"Ah, JANGAN SEBUT NAMAKU,  JANGAN PULA MENYAPA... bahkan jika kita tak sengaja bertemu dimanapun itu! ANGGAP KITA TAK SALING MENGENAL!"

"Hapus kontakku. INILAH PILIHANKU RA. SUKA TAK SUKA, TERIMALAH JUGA. INI ENDING KITA!"

Hatiku terasa nanar dan memar.

"Aru jangan se..seperti ini. Aku..., aku tak bisa! Jangan...!! Jangan menghukumku se...sebanyak ini..." kataku terbata.

"TETAP KITA AKAN MENJALANI INI PERSIS SEPERTI ITU! Karena apa? Karena bagiku menjadi MUSUHMU saat ini JAUH LEBIH MUDAH daripada jadi TEMANMU. Jadi jaga jarakmu setidaknya satu meter dariku agar kita terhindar dari saling menyakiti begini!"

"KENAPA KAU JADI BEGINI JAHAT?!!"

"KAU YANG MEMULAI INI LEBIH DULU!"

"Tapi AKU TAK bermaksud MELUKAIMU!"

"BUT YOU DID IT TO ME TOO WELL!"

"I'M SORRY"

"SIMPAN MAAF PALSUMU ITU! SUDAH KUBILANG AKU TAK MAU DENGAR!! KENAPA KAU TAK PERNAH BISA PAHAM BAHASAKU SIH?!"

"Kau tak boleh mengambil keputusan sepihak tanpa persetujuanku! Tanpa mempertimbangkan perasaanku juga!!"

"PERASAAN? KAU SADAR UCAPANMU?" ejeknya.

"Kau mempertimbangkan perasaanku saat bersama pria lain? Apa kau juga mempertimbangkan perasaanku saat MENERIMA LAMARANNYA?"

"KAULAH YANG SELALU MENGAMBIL SEMUA KEPUTUSAN ITU SENDIRI TANPA PERSETUJUANKU, BAHKAN TANPA SEPENGETAHUANKU! KENAPA KINI AKU TAK BOLEH BERTINDAK SEPERTIMU?! KENAPA??"

"ARU, AKU TAK INGIN KITA BERAKHIR DENGAN KEBENCIAN. KITA SALING MENYAYANGI. BAGaem− "

"NO!! TIDAK LAGI. Sekarag kita MUSUH!"

"Aku kira dengan merahasiakan itu darimu kau akan terhindar dari luka, Aru. Tapi kurasa salah. I'm... so...so... sorry..!"

"Sungguh aku mulai muak dengan kata maafmu itu. You never mean it!"

"Harusnya jika kau punya kesempatan, gunakan itu untuk mengakhiriku, bukan malah MENDUAKANKU DAN KINI TERUS MENAHANKU! AKU LELAH ARA. LELAH!"

"KAU PIKIR MEMBESARKAN HATI ITU TIDAK LELAH? CAPEK TAHU RA!"

"I'm sorry"

"Kau tak pernah paham sepertinya! Aku lelah karena kau selalu mempermainkanku dengan kata maafmu, tapi selalu hanya dibiir saja. Tanpa kesungguhan. Karena itu aku AMAT BENCI KATA MAAFMU!"

Aku terbungkam dalam makiannya. Hanya menanis semakin sesak, semakin pening di kepala. 

Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Tahu betul dimana letak salah-salahku. Dimana letak kekacauan ini.

Benar, aku hanya membuat ini jadi rumit baginya. Aku terlalu banyak melukainya, sekalipun apa yang kulakukan juga bertujuan agar tak melukainya.

Aku hanya begitu buruk di pandangannya.

Isyak tangisku keluar dengan suara keras, tak bisa kusembunyikan lagi. 

Saat itulah Aru mencengkeram pundakku dengan begitu kuat, sekuat kata yang keluar berikutnya.

"BE STRONG, RA. BE STRONG! Kau lihat siapa yang lemah disini?!" ejeknya. Lalu dia mendekatkan wajah ke telingaku.

"I'M THE STRONGER. Kaulah yang lemah!" bisiknya, "Bye STRANGER!"

"Kita belum selesai Ru. Kenapa kau selalu ingin MENJAUH DAN MENJAUH DARIKU? Kau TAK HARUSNYA bersikap EGOIS BEGINI!!" tahanku.

"AKU EGOIS??" dia kembali mendekat, "LALU KAU APA?" dia menunjukku sengit.

"GOD! I HATE TO SAY THIS!"

"Klo aku EGOIS, KAU SERAKAH!"

'Serakah?'

Itu terasa amat buruk didengar telinga.

"KAU TAK bisa MEMILIHKU. Tak juga mau MELEPASKU. TAK BISA MENGAKHIRI KISAH INI. SERAKAH! APA MENURUTMU KAU TAK EGOIS? KAULAH YANG PALING EGOIS ARA! KAU!!"

"Maaf, aku tak mau lagi menjadi objek keegoisanmu. Sorry, but not sorry!"

Begitulah dia pergi malam itu, dengan serta menabrakkan bahunya pada bahuku sebagai salam kesal. Sebagai perpisahan.

...

Lantas tepat di hari ke-19, aku kembali kesana, tapi itu justru berakhir dengan perkelahian sebab ia sudah terlalu benci.

"PULANGLAH! AKU SIBUK!"

"Aru, kau tak punya pekerjaan bagaimana bisa sibuk?!" Aku mendorong pintu sekuat tenaga, hingga berhasil masuk.

"Bukan berarti kau bisa menggangguku!"

"I won't. Aru wait!" ku tarik pundaknya.

"DON'T TOUCH ME! JAGA JARAKMU!"

Aku mengatur jarak, "Kau sudah makan?"

"PERGILAH!"

Dia jadi seperti Zein.

"Nanti aku akan pulang sendiri. Tak perlu mengusirku begitu!"

"Aru tebak, aku bawakan apa untukmu! Something that you like"

"NO. Aku tak lapar! PULANGLAH!"

Bodo amat! Aku tak mendengarnya, malah ikut duduk didekatnya.

"No welcome drink? Aku ambil sendiri ya?"

"KELUAR. BELI SENDIRI SANA!"

"Tidak bisakah kau menghargai usaha dan niat baikku kesini?"

"Bisa kau melihat usaha dan niat baikku? Aku tak memintamu datang kesini!"

Aku bangkit dan akan ke dapur. Tapi Aru masih terus ingin mengusirku.

"PERGILAH Ara, sebelum kugunakan kekerasan untuk mengeluarkanmu!"

"Kau terlalu lama tinggal disini, jadi kasar mirip Zein!" kesalku, "Tapi tak apa. Aku tahu kau tak akan melakukannya. Karena kau bukan Zein!" aku menenangkan diri.

Lalu duduk lagi.

"Kau menantangku?"

Aku tak menjawab.

"AKU TIDAK MAIN-MAIN INI. PERGI!"

"TIDAK MAU!" aku menjawab manja.

"Please! Kau tahu klo aku marah akan jadi seperti apa. Aku tidak ingin marah. Jadi pergi dari sini, SEKARANG!" 

Aku mengelak.

Aru menyeret tanganku, aku berpegangan erat pada sofa.

"Aru... Aru... sakit... sakit...!"

"GO AWAY!" dia melepasku.

Aku mendorongnya, lalu melarikan diri cepat, tapi dia juga cepat menangkapku.

"Bebal banget sih! Mau kutampar biar nurut, heh?!"

"Lakukan!" aku menantang takutku.

"Lakukan apapun yang bisa membuatmu nyaman menerimaku lagi. Asal jangan mengusirku, plis!"

"Kau sendiri yang memintanya!"

PLAAKK!

Aku tak percaya ini!  Dia benar-benar tega menamparku. Tamparannya memang tak terlalu kuat, tapi cukup panas dan cukup untuk membungkamku dalam kecewa.

"Kenapa menatapku begitu? SAKIT?! Sudah kuperingatkan, kan? Aku tidak main-main. Sekarang pergilah!"

"NO! Kita perlu bicara!"

"Tak ada lagi yang perlu kita dibicarakan. Karna sudah tak lagi ada kita antara kita! Jadi pergilah! Aku telah menuruti maumu dan kita juga sudah bicara dari tadi!"

"Bukan bicara seperti ini Aru!" protesku.

"Dan kenapa KAU TERUS MENGUSIRKU?"

"KARENA TIAP KALI MELIHATMU SEMUA PERASAANKU JADI SAKIT! Jadi jangan menguras sabarku. Pergilah. Selagi aku memintamu dengan baik"

Aku tak bergerak kemanapun. Hanya menatapnya kesal. Memikirkan cara lain.

"Apa? Satu tak cukup menghentikanmu? Mau lagi? Apa itu tak sakit?"

'Tentu saja sakit!'

"Baiklah diam artinya iya"

Dia meninju lenganku berkali-kali karena aku diam saja. Aku bisa menahannya, tapi aku tak tahu kenapa air mataku tidak.

"SAKIT?!"

Aku menggeleg.

"Oh, kau belum ingin menyerah?"

Dia menendang bokongku dengan keras, hingga aku berteriak, refleks tak bisa menahan sakitnya.

"Kenapa menangis? SAKIT?!"

Aku bungkam dalam ketidak percayaanku menerima perih ini. Tapi sisi hatiku masih terus ingin mengkomprominya.

'Mungkin dia jadi kasar dan kejam begini, itu karena dia perlu melampiakan kesalnya dan kebetulan hanya ada aku disini. Bukan berarti apa-apa Ara. Bukan berarti benci!'

Tapi sisi lain di kepalaku juga menyangkal. 'Mungkin saja dia memang benci padaku!'

"Sekarang kau tahukan rasanya sakit itu bagaimana? Tahukan ketika dipukul bukan hanya kulit dan tulangmu yang merasa sakit, tapi hatimu juga terluka!"

Benar!

Aku membuang nafas sesakku.

Jika dia tahu itu, kenapa memukulku juga!

"Bagian baiknya, aku tak menggunakan seluruh tenagaku untuk menghajarmu Ra. Dan lukamu ini akan menghilang dalam hitungan jam meski bekasnya mungkin butuh beberapa hari untuk hilang..."

Dia menatapku dengan kesal.

"Tapi sangat berbeda degan luka yang kau sebabkan di hatiku Ra. Hati yang kau patahkan ini, perlu ribuan hari untuk recovery. Butuh ratusan minggu, bahkan mungkin butuh puluhan bulan untuk bisa sembuh total tanpa cacat dan kebencian! Bisa dipastikan jika luka hati ini tak akan mudah hilang Ara!"

Aku lumpuh seketika menerimanya.

"Dan perlu kau ingat. Aku tak memukulmu karena kehilangan kontrol diri. Aku ingin kau paham, inilah bagian luka yang kau ciptakan. SAKIT BUKAN?! Tapi sayangnya luka kita tak berbanding seimbang..."

"Punyaku 100x lebih perih dan dalam dari lukamu. Dan kau sudah pasti tak akan sanggup melaluinya barang hanya sehari saja. Jadi sebaiknya kau pahami kenapa aku tak ingin melihatmu didekatku lagi. KARENA SEMUA ITU MENYAKITKAN!"

"PERGILAH!"

Itu kali pertama, aku benar-benar merasa sangat terluka diusirnya. Kalimat kasar Zein biasanya tak ada apa-apanya dengan semua kalimat sakit Aru barusan.

Aku terpuruk berhari-hari menyelaminya. Aku merasa mulai tak enak lagi makan memikirkan semua luka yang kuciptakan di hatinya. Aku murung tiap hari. Bersedih setiap kali mengingatnya. Karena baru ini menyadari jika aku rupanya telah berlaku jahat padanya bahkan tanpa kusadari.

Dan kalimat itu terus saja mengganggu di kepalaku, memberi efek nyilu bagi hatiku. Hingga aku tak lagi berani menunjukkan diri padanya lagi. Kalimatnya memberi rasa takut pada diriku. Memberiku nafas untuk menyerah.

Aku absen menemuinya. Dia membuatku berhenti berusaha. Karena aku tak ingin dia kembali sakit dengan melihat adaku.

Sungguh ini juga tidak mudah bagiku. Tapi baru kali ini pula aku melihat Aru begitu tangguh mengabaikanku. Kurasa, dia memang akan bersungguh-sungguh dalam melupakanku. Dan itu membuatku sungguh merasa frustasi.

Padahal aku terus mengunjunginya untuk tetap menjaganya dekat. Sebab aku tak ingin menukar hangat kami jadi beku dan benci seumur hidup kami.

Dan disinilah aku terdampar hari ini. Termenung sendiri dalam kepala frustasi. Menunggu balas Tasya yang masih belum terlihat. Dan begitulah 25 hariku terlalui dengan berat tanpa siapapun disisiku.

Tapi aku masih punya banyak tanya dalam kesepian ini.

"Mengapa sakit hati bisa merubah karakter baik seseorang? Mengapa cinta bisa berubah jadi benci? Mengapa sisi hangat cinta tak lagi bisa mendamaikan kekeruhan? Mengapa cinta yang luar biasa akhirnya bisa binasa?"

Sekalipun hati kecilku masih tak ingin menyerah menawarkan persahabatan padanya, tapi aku terpaksa harus mundur dan kalah. Sebab aku tak ingin Aru terluka lebih sakit lagi karenaku.

Tapi aku juga percaya, waktu baik selalu ada, saat kita telah sungguh-sungguh berusaha. Tuhan yang akan menciptanya.

.....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status