"... Aku ingin egois mencintaimu ... "
~ Aru ~
"Kau bahagia bila menikah dengannya?" rasanya hatiku memar mengatakan itu.
Ara menaikkan bahunya. Menatap dengan tidak pasti dan tak terarah. Tapi aku mengembalikan fokusnya padaku.
"Tentu aku ingin kau bahagia. Aku ingin melihatmu mengenakan gaun pengantin yang indah juga, dan menjalani hidup bahagia setelah pernikahan. Tapi− "
"Tapi?? Bukan dengan Arnold?!"
"Entah. I'm not saying it, Ra. Aku hanya ingin kita bahagia. KEBAHAGIAANMU yang paling utama bagiku"
Dia mengerti.
"Begini saja Ra, pastikan kau bisa hidup bahagia dengannya. Katakan jika HIDUP mu akan LEBIH BAHAGIA dengannya, jauh MELEBIHI saat kau bersamaku. Maka detik ini juga aku akan merelakan mu menikah dengannya. Jadi katakan!"
Dia menatapku bimbang.
"Kau bisa memastikan itu untukku?"
"I can't Aru. I
"... Bukan hanya cinta yang memberi luka, tapi juga rasa kecewa ..."~ ARU ~"Ma− "'Aku jatuh cinta, Ma. Aku jatuh hati pada seorang wanita terpandang, anggun, dan bertatakrama. Dia wanita yang punya hati lembut seperti Mami, sensitif dan juga ke-ibuan. Kami saling mencintai. Tapi masalahnya, dia tak seiman dengan kita. Bolehkah aku menikahinya, Ma?'Aku ingin jujur dan mengatakan itu pada ibuku, tapi aku tak sampai hati untuk menambah beban pikirannya dan aku tak punya nyali mengatakannya. Aku takut ini terlalu melukai hatinya. Aku takut itu beresiko pada jantungnya. Aku tidak siap kehilangan siapapun saat ini. Tidak Ara, tidak juga keluargaku.Aku makin terpuruk dalam tangis memeluknya, hingga kepalaku pening."Ma, bagaimana kabar Mami saat ini?" akhirnya, hanya itu saja yang berani kulepas keluar dari mulutku."Mami baik sayang, sanga
"... Kau ragu dengan apa yang ku lakukan di kantor ..."~ Ara ~Aku merasa Aru sedang mengawasiku dari tempat duduknya. Dia jadi berbeda sejak pergi begitu saja kemarin. Aku merasa dia lebih pendiam dan cuek dari biasanya, tapi aku tak mengambil pusing atas semua aksinya itu. Aku hanya terus bersikap normal, tak seperti ada yang salah. Aku juga bicara seperlunya.Mungkin Aru sedang protes padaku tentang sesatu yang tak ku tahu pasti tentang apanya. Aku malas ribut, jadi aku hanya bersikap biasa. Tak bertanya kenapa atau ada apa dengannya.Kami duduk dalam satu ruang, tapi tak satupun dari kami yang membuka suara untuk mengajak ngobrol. Aru sibuk dengan game-nya, dan aku sibuk dengan akun-akun sosmed ku dan pekerjaan."Hufff" Aru bangun dan meghentakkan nafas lelahnya.Aku sebatas meliriknya tanpa tanya."Something wrong with us, right?""N
"... Baginya aku hanya pengkhianat, tapi bagiku aku hanya realistis ..."~ Ara ~Raut Aru berubah tegas, shock, juga terluka menerima kalimat duriku."Ahh maksudku..., kau tak perlu cemas, apalagi cemburu dengan kegiatan kami selama di kantor. We never do anything bad. Kau paham maksudku, kan?""Ara, aku tidak menuduhmu apa-apa! Kau dan Bosmu dan apapun yang kalian lakukan di kantor. I'm not jealous that you may have relationship with your bos. Aku juga tidak ingin berpikir begitu!""Tapi kau berpikir begitu! Karena aku berkhianat sebelumnya. Dan itu bisa saja terjadi lagi, bukan?""OH GOD! Can you hear me first at least? Aku tidak cemburu karena itu, okay?! Aku cemburu karena akhir-akhir ini kau lebih sering menghabiskan waktu mu dengan bosmu ketimbang denganku!" katanya mengeluarkan statmen."Aku kesal karna itu, Ra. Buka
"... Jika kau bertanya hatiku, ia tak ingin kau menikah dengannya ... " ~ Aru ~ Hari-hari yang kulalui semakin hari semakin berat. Kecewa semakin lekat, amarah kian mendebat hebat, dan patah hati kian hari memberat. Aku hampir tidak lagi kuat berada di gelanggang panas yang membuatku terus-menerus gerah dan gersang ini. Aku terbakar tiap harinya, entah itu karena tingkah hening Ara, fokus ke pekerjaannya meningkat, atau saat fokus matanya hanya tertuju pada ponselnya. Sebab dalam praduga pikiranku, ketika dia memegang ponselnya itu dia tengah menjalin komunikasi dengan Ar-no. Dia terbukti melanggar perjanjian sederhana yang aku minta, untuk tidak membalas pesan Ar-no saat bersamaku dan itu jadi meracuni pikiranku saat dia memegang ponselnya. Aku lantas membalasnya dengan ikut melanggar janjiku untuk bersikap sopan dan baik padanya. Untuk menghadapi situasi
"... Mungkin karena cinta ini jumlahnya tak terhitung, jadi seperti debu ... " ~ Ara ~ Hari Ini, Di Dua Tahun Kemudian. Aku melakukan rutinitasku, bekerja. Tapi ada yang istimewa hari ini. Ini akan jadi dua hari terakhir ku bekerja disini, setelah hampir dua tahun lamanya. Itulah kenapa aku jadi agak sibuk hari ini. Banyak hal yang mesti dibereskan sebelum aku pergi keluar dan menghirup udara segarku dari hetiknya ruang kerja yang menyita banyak perhatianku selama ini. Aku kembali ke ruanganku. Duduk di kursi nyamanku lagi, setelah memberi laporan yang Bos minta. Sejenak aku mengecek ponselku, melihat jam dari sana, tapi aku malah disambut dengan notivikasi dari dua panggilan tak terjawab yang datang beberapa menit lalu dan itu merupakan nomor asing. "Ra, bisa kau bantu aku dengan ini?" minta
"... Kami jadi manusia asing lagi setelah tahunan dingin, beku bagai gunung es ... "~ Ara ~"Hallooo..." aku menerimanya cepat, merasa jika itu panggilan penting.Sekalipun jika itu tidak penting aku akan menerimanya, karena selama ini aku memang membiarkan banyak nomer asing dengan mudah menghubungiku.Berharap dari banyaknya nomer asing itu akan ada satu panggilan yang selalu ku tunggu, menyapaku kembali meski hanya sekedar 'hai' yang bisa diucapkannya."Hallooow...??" sekali lagi aku menyapa dengan ramah siapapun orang diujung sana, yang masih diam tak menyahut."Hei..., dari Mas Bos nih. Spesial katanya" ujar teman kerjaku sambil meletakkan semangkuk bakso favoritku."Makasih""Ohh, makasihnya sampaikan sendiri saja yah. Aku bukan kurir cinta"Aku tersenyum geli mendengarnya."Okay, baiklah""Oh ya, boleh ku pinj
"... Jangan tanya kabarku bagaimana, itu berat untuk dijawab ... " ~ Aru ~ 'Apa itu anakmu??' Kau akhirnya menemukan kebahagiaan mu juga tanpa ku, kan Ra? Aku tahu itu. Aku tahu itu tak akan pernah terlalu sulit bagimu. Tak pernah sulit bagimu, seperti berada diposisi orang-orang dengan hati yang tersakiti sepertiku. "Semacam...??" "Semacam perpisahan ulang!" "Kenapa? Kau masih menghindariku?" "Tidak tahu! Mungkin ..." Aku menarik nafas berat dan menghembusnya cepat. "Mungkin karena, kau membuatku benci dengan kota indah ini" Aku tahu kalimatku memberi efek berat baginya juga. Dia jadi terdiam, mungkin menyesal telah bertanya begitu. Tapi aku berharap dia tidak akan mengucapkan kata maafnya lagi. Semoga ia mengingat dengan baik, dua hal yang kularang untuk diucapkannya padaku. Sayangnya, lirih dia mengucapkan k
"...Maaf adalah kata yang mewakili semua perasaanku padamu... "~ Ara ~"Kau... apa kau ...""Katakan saja, Ru!""Apa.... Kau bahagia?"Itukah yang membuatnya merasa berat? Kebahagiaan ku?! Apa kau merasa harus bertanggung jawab atas kebahagiaanku? Kau merasa terbebani jika aku berlarut dalam kesedihan itu atau bagaimana?Tapi aku tidak ingin kau merasa buruk karena merasa terbebani dengan itu."Mhhh...ya. Ya, aku... aku bahagia. Aku bahagia dengan apa yang kujalani kini""That's great!"Rasa aneh menyelinap. Getar suara Aru tidak terdengar baik. Seperti ada radiasi gemuruh yang hendak menyapa. Hawa ini seperti, hawa tenang sebelum badai."Good for you, Ra. Good for you!"Kalimatnya juga terasa aneh didengar.But, "Thanks"mungkin itu hanya dugaan ku saja, bukan sebuah isyarat.Mungkin