Biara yang baru saja tertimpa musibah karena serangan Katya tersebut masih tersegel dengan garis polisi. Coque menggunakan koneksinya untuk memasuki wilayah yang tertutup untuk umum, terutama wartawan tersebut.
Roth memasuki ruang demi ruang sembari meneliti dengan seksama.
“Kenapa wajahmu, Roth?” tanya Coque dengan heran.
Roth menggelengkan kepala dan terus berjalan di depan.
“Jangan katakan kau bergidik melihat ini. Sebagai mantan iblis, tentunya sudah cukup biasa bagimu melihat semua ini!” sindir Coque dengan santai.
“Sebutan mantan itu artinya tidak lagi melakukan, Coq! Apakah kau pikir Averin sebagai mantan pembunuh bayaran, tidak berat untuk membunuh lagi?” timpal Roth kesal.
Coque terkekeh. Roth mulai kembali ke sifat aslinya yang tidak sabar.
“Selamat datang kembali, Sobat!” tepuk Coque pada pundaknya.
Roth diam-diam menyimpan geli. Coque hanya menggodanya dan ia merasa kesal. Rasa manusiawinya kian menguat dan
Langit di lembah Norwegia mulai menurunkan salju ringan. Coque baru menyadari jika terakhir kali ke tempat tersebut adalah saat mencari jejak untuk menghapus pengaruh Belial. Kini beberapa tahun berlalu dan situasi tempat tersebut tidak lagi sama. Asmund menyambut mereka dengan keheranan. Ketika menyampaikan mengenai Nina yang pergi, entah kemana, dan kondisi dunia yang begitu dicekam ketakutan oleh terror Katya, Asmund justru mengajak mereka menuju ke belakang bukit. Telunjuk Asmund mengacung dengan lurus ke atas. “Lihat langit di sana.” Baik Coque maupun Roth tertegun dan melihat gejala langit yang mirip dengan kejadian ketika Abigail dan Drew diculik. Namun jika kali ini mereka telah pergi selama bertahun-tahun, apa lagi yang akan terjadi nanti? Apakah ini pertanda kejayaan Katya? Atau tanda kebangkitan kekuatan gelap yang telah siap untuk menggempur bumi? “Bukan hanya hari ini langit semakin terlihat mengerikan. Tapi kondisi danau juga san
Puncak gunung Sinai dinaungi oleh awan yang membuat teduh. Sejak Nina memutuskan bertapa dan menempati salah satu batu besar tersebut, awan itu muncul dan berada di sana seperti memayungi Nina dari panasnya matahari.Sudah beberapa waktu lamanya Nina menjauh dari dunia dan menyendiri untuk mendapatkan petunjuk yang jelas dalam hidupnya. Setelah mencoba bergerak mengikuti insting selama ini, Nina justru terperosok ke dalam dunia yang membuatnya tidak lagi mampu melihat dengan kecerdasan berpikir.Dia terperangkap dalam duka dan kehilangan satu persatu sahabat dan teman seperjuangannya membuat Nina rapuh juga putus asa.‘Seandainya saja Karmuzu masih hidup,’ batinnya dengan hati penuh kerinduan.Nina memeras matanya dan kenangannya menarik pikirannya untuk membayangkan beberapa tahun yang lampau.Besar dalam kondisi yang sulit dan ditempa menjadi pembunuh bayaran membuat Nina tidak mengenal istilah berhenti membunuh. Ketika nuraninya menu
SATU JAM SEBELUM KEBANGKITAN ABIGAILBelial menapakkan kaki di labirin gua, dimensi transisi. Bulgur memerintahkan semua iblis budak dan pengikutnya untuk berbaris serta bersiap. Masa hibernasi Abigail akan segera berakhir dan Belial siap membangunkan sang putri Lucifer.Rencana terakhir Belial dalam memberontak dan berusaha merebut bumi untuk menjadi daerah kekuasaannya, akan segera ia laksanakan. Walau bahunya sempat terluka karena tombak Nina, Belial ternyata masih cukup kuat saat ini. Matanya berkilat penuh kegembiraan sekaligus cemas.“Kita akan menuai jiwa di bumi dan menjadi penguasa tunggal!” dendang Bulgur dengan suara yang menjengkelkan. Serak dan fals.Belial mulai mengumpulkan kekuatannya dan membangkitkan Abigail secara perlahan.Putri Lucifer yang akan menuntaskan keinginan serakahnya, mulai mengeliat. Pekik senang dan gegap gempita terlontar memenuhi labirin. Suara para iblis terdengar begitu mengerikan mengaungkan kalima
Kerikil-kerikil kecil itu berlari turun di lereng gunung Sinai. Nina berjalan dengan tempo langkah yang sedang, menuju markas Karmuzu yang tidak jauh dari kaki gunung Sinai. Setelah beberapa waktu meditasi dan mengolah tenaga dalamnya, tanpa Nina sadari, kemampuannya bertambah. Mungkin langkah Nina terlihat biasa saja, tapi ketika kakinya menapak, menuruni lereng, tanah tersebut turut bergetar dengan sendirinya.Nina Averin tidak lagi seorang pemburu iblis yang sama sebelum menaiki puncak Sinai untuk menenangkan diri. Kekuatan dalam dirinya berkembang pesat serta mencapai titik puncak kejayaannya sebagai, mungkin, manusia terkuat.Nina membutuhkan bekal yang lebih dari cukup untuk menjadi lawan tangguh bagi Abigail dan pasukannya nanti. Akan tetapi, walau kini energi dalam dirinya meningkat secara drastis, kekuatan itu bukan untuk merengkuh kemenangan. Nina memiliki rencana lain yang lebih baik, menurut pandangannya pribadi. Hanya Coque yang mengetahui semuanya.
Tidak pernah Pixen sangka jika semua yang pernah Nina ungkapkan padanya akan terjadi begitu cepat. Wanita yang selalu tampil seronok dengan baju seksi tersebut, terlihat terpukul saat menyaksikan para korban yang kebanyakan anak kecil dan kaum wanita.Pixen datang bersama lima puluh pasukan yang menempuh perjalanan melalui portal Roth. Sebelum Roth kembali ke Norwegia, Elba memeluknya dengan erat.Dia telah menceritakan semuanya pada Elba mengenai Coque dan hubungannya dengan Abigail.“Aku juga ingin Abe kembali,” bisik Elba. Roth memegang kepala Elba dengan penuh kasih.“Aku sempat meragukan itu, Mustafa. Ketika Coque menyatakan ramalan Merpola, aku murka. Kini aku sadari bahwa Abigail layak kita selamatkan.” Roth tidak berniat mengusap air matanya yang mulai meleleh perlahan di sudut kelopak.Elba mengangguk dengan tidak ragu lagi.“Dilemanya, kita harus memikirkan Averin,” ucap Roth kemudian. Bibirnya t
Tidak ada satu pun cara ampuh, yang Sky temukan untuk meredam gejolak hati yang makin membara pada Elba. Kian hari, dirinya terjebak dalam pesona pria menawan yang hampir tidak ada cacat di mata Sky. Elba adalah figur dan sosok sempurna, impian semua wanita.Caranya bicara yang lemah lembut dan tertata rapi tidak pernah membosankan. Bahkan saat Elba tertawa, Sky juga memandang dengan penuh kekaguman. Belum pernah ia melihat makhluk, yang Tuhan ciptakan dengan wujud begitu indah dilengkapi karakter menarik.Wibawa Elba saat membawakan arahannya dalam menentukan rencana juga koordinasi bagi tim mereka, menambah daya pikat pria tersebut. Sky ingin menyerahkan diri sepenuhnya pada Elba. Berharap pria Iran tersebut melirik dan melihat dirinya sebagai sosok wanita yang menarik. Bermimpi mendapatkan simpati, walau hanya sekedar keintiman dan kemesraan sementara.Namun Sky tahu itu sia-sia.Elba sepertinya tidak menunjukkan minat padanya sedikit pun. Sky melihat
Pinangan Elba yang terlontar di tengah kekacauan yang saat ini terjadi, cukup menghadirkan suasana hangat dan mengalihkan ketegangan. Saat Nina muncul di hadapan Roth dan Coque, keduanya tertegun dan membeku dengan tubuh kaku.Tanpa mereka duga, Nina kembali pada saat kritis.Roth membiarkan Nina merengkuh tubuhnya dengan erat. Tangannya membalas dekapan itu dengan ragu. Hatinya diliputi kegembiraan karena Nina dalam keadaan yang lebih baik dari sebelumnya.“Kekuatanmu bertambah,” desis Roth yang pertama kali menyadari jika Nina bukan lagi manusia yang sama. Nina mengangguk disertai senyum lebar.“Kemarilah, Coq. Aku paling merindukan dirimu!” Coque mendekat lalu memeluk Nina perlahan. “Jangan pergi lagi,” bisik Coque dengan suara serak.Nina mengeratkan dekapannya. “Aku janji, kali ini bertahan hingga waktu penghabisan,” balas Nina.“Aku ada berita yang perlu disampai
Pertanyaan Nina yang melontarkan tentang para musuh mereka yang tidak bisa menjangkau Nina, mengendap dalam benak Roth. Kini setelah Karmuzu tiada, mereka sering mengalami kebuntuan yang tidak berujung. “Apakah menurutmu Alter Fidelis bisa membantu kita?” tanya Roth sebelum mereka berangkat. Roth menggelengkan kepala. “Dia tidak ada kabar. Bahkan ketika semua pembantaian terjadi, Fidelis seperti raib ditelan bumi,” sahut Roth. Nina termenung. Coque mengangsurkan ponselnya pada Nina. “Info dari vatikan itu sudah kesekian kali. Mereka kehilangan kontak dengan beberapa jaringan gereja dalam setahun terakhir,” terang Coque. Nina melihat grafik yang menggambarkan data penurunan koordinasi selama sepuluh bulan terakhir. “Apakah kita punya cukup waktu, Averin?” tanya Roth sembari memanggul ranselnya. Nina menghela napas dan menjawab tidak tahu. Elba kembali dengan Bergen dan memasuki tenda mereka. “Baga