Aku membalas genggaman tangan Vincent, mungkin ini memang yang terbaik. Kulihat Vincent bahagia dengan kehidupannya yang sekarang.
“Apa kau bahagia dengan hidupmu sekarang?” tanyaku menatap lurus manik milik Vincent.
“Ya, aku bahagia bisa menjalani hidup normal, hatiku menghangat saat pasien pasienku mengucapkan terima kasih untuk pengobatan yang kulakukan” Vincent tersenyum tulus.
“Jenny” ucap seorang wanita yang suaranya sudah sangat kuhapal.
“Veronika?” Vincent memutar badannya.
“Dokter Vincent? Aku dengar kau membatalkan semua jadwal konselingmu dihari ini, apa itu benar?” nada suara Veronika berubah menjadi lembut.
“Ya aku ada urusan mendadak, akan kuatur jadwal konselingmu dihari lain” ucap Vincent.
“Baiklah” ucap Veronika lembut.
“Dia membatalkan seluruh jadwal konselingnya untukku jika kau ingin tahu” ucapku penuh kesombongan.
“Benarkah?” Veronika tidak percaya.
“Ya” jawab Vincent mantap.
Universitas Valley Of Art “Aku merindukanmu” ucapku sambil memeluk Stefany dari belakang. Stefany tersedak coklat yang sedang diminumnya. “Kita hanya tidak bertemu selama tiga hari” sembur Stefany. “Apa kau tidak merindukanku?” aku mencebikkan bibirku. Anastasia terbahak melihat tingkah kami. “Apa kau sudah sehat?” Tanya Anastasia. “Seperti yang kau lihat, aku baik baik saja” jawabku. “Jenny, apa kau sudah belajar? Sekarang kuis kelas Profesor Adrius” Tanya Stefany “Aku tidak perlu belajar untuk mendapat nilai sempurna” sombongku. Melihat Profesor Adrius dan Gerrald memasuki kelas, Anastasia menempelkan jari telunjuk di bibirnya sebagai isyarat agar kami diam. Dadaku bergemuruh saat aku melihat Adrius, apa apaan ini? Aku merasa kesal saat tidak bisa mengontrol detak jantungku. Apa begitu besar pengaruh Adrius didalam hatiku? Aku memegang dada untuk merasakan detak jantungku yang tidak normal.
Kantin kampus Valler of Art Saat ini aku tengah mendengarkan Stefany yang bercerita tentang kencannya dengan Brian tadi malam, dulu aku sangat muak mendengar cerita picisan seperti ini, namun sekarang aku fokus mendengarkan Stefany bercerita, betapa senangnya tumbuh menjadi gadis biasa, kencan tidak pernah ada dalam kamusku, saat menjadi Jenny pun aku tidak pernah merasakan pengalaman berkencan dengan orang yang kusuka. Adrius, Brian, Gerrald dan Varro menghampiri kami yang tengah makan siang, Stefany langsung menghentikan cerintanya. “Kenapa kalian tiba tiba berhenti berbicara saat kami datang?” tanya Gerrald. “Stefany sedang menceritakan kencannya dengan Profesor Brian tadi malam” ceplosku. “Jenny!” sembur Stefany. “Apa yang Stefany ceritakan?” tanya Brian dengan senyum indahnya. “Kisah roman picisan” ucapku. Semua orang tertawa mendengar jawabanku, sementara Stefany tertunduk malu, kulihat Brian mengacak rambut Stefa
Aku membantu Anastasia mendesain sepatu dan tas, namun sia sia. Beberapa kali aku merobek kertas hasil desainku. Adrius terlihat gelagapan saat aku menangkap basah dia sedang memperhatikanku. Dia sangat menggemaskan. Aku menghampiri Adrius dan duduk disampingnya, dia terlihat salah tingkat. “Profesor, kudengar ayahku membatalkan kerja samanya untuk menguak jaringan Odsen” bisikku sambil mencondongkan badanku. “Kita bicarakan setelah aku selesai memeriksa kuis” Adrius menggeser badannya menjauhiku. Aku mencebikkan bibirku. “Adrius, Presiden mencarimu, dia tidak bisa menghubungimu beliau titip pesan agar kau mengecek email” Ucap Brian mengecek ponselnya. “Ponselmu rusak, Profesor?” godaku. Gerrald dan Varro tidak dapat menyembunyikan tawa mereka, Adrius menghujani mereka dengan tatapan tajam. Adrius bangkit menuju mejanya dan segera mengecek email di laptopnya. “Presiden mengundangku makan malam, tumben sekali” Adrius men
“Kau bosan hidup?” bisikku. Vincent langsung melepaskan pelukannya. “Jenny, siapa dia?” tanya Stefany. “Dia temanku” jawabku. “Hai, namaku Vincent, aku temannya – siapa namamu?” tanya Vincent padaku. “Jenny” ucapku dingin. “Aku temannya Jenny” Vincent menjabat tangan semua orang, saat dia berjabat tangan dengan Adrius, Adrius mengeratkan jabatan tangannya, Vincent tersenyum dan membalas jabat tangan Adrius dengan kuat. Melihat mereka saling adu kekuatan saat berjabat tangan aku menampar pergelangan tangan Vincent. “Cukup!” ucapku. Lalu mereka melepaskan jabatan erat tangan mereka. “Bersenang senang lah saat makan malam” ucapku pada Stefany dan yang lainnya. “Jenny, kau ada janji dengan Vincent malam ini?” tanya Anastasia penuh selidik. Aku menganggukkan kepala. “Tenang saja Nona, aku ini pria baik baik” ucap Vincent. “Dengan penampilanmu seperti ini, siapa yang akan
“Salam kenal pak Presiden, saya Jenny” aku mengulurkan tangan kananku untuk berjabat tangan dengan Presiden, sedangkan tangan kiriku sibuk menutupi dadaku, aku mengutuk dalam hati, mengapa malam ini aku harus berpakaian seperti ini. “Kekasihmu cantik sekali” puji Presiden. “Terima kasih pak Presiden” ucapku. “Bukankah Jenny ini teman kalian? Kau Jenny putri tuan Alex Ambrosio bukan?” tanya Angel. “Ya, dia teman kami” Stefany berkata dengan nada ketus. “Adrius, sepertinya kau harus berjuang lebih keras” kekeh Presiden. “Sedang apa kau di hotel bersama Dokter Vincent?” tanya Angel, kulihat senyuman tercetak dibibir indahnya. “Apa aku perlu menjelaskannya padamu?” tanyaku dengan mempertahankan senyuman dibibirku. “Mohon maaf Jenny, putriku sangat lancang” ucap Presiden. “Maafkan aku” cicit Angel, dia tidak dapat menyembunyikan rasa bahagia dihatinya. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Pintu lift terb
Keesokan harinya Aku terkejut saat akan pergi ke kampus, Adrius menungguku di ruang tamu sambil berbincang dengan orang tuaku. “Profesor?” ucapku saat melihat Adrius. “Pagi Jenny, kau cantik sekali hari ini” ucapnya sambil memberikan bunga baby breath kesukaan Jenny. Pasti ibuku yang memberi tahu Adrius mengenai bunga favorit Jenny, sayangnya Alcie tidak pernah menyukai bunga. Tapi aku cukup senang dengan kejutan kecil di pagi hari untukku. “Ada urusan dengan Dad?” tanyaku pada Adrius. “Tidak, aku hanya ingin mengantarkanmu ke kampus” ucap Adrius. “Tumben sekali” aku menyelidik. “Aku tidak ingin kau ditempeli laki laki tidak jelas” ucap Adrius dingin. “Apa ini berarti sebentar lagi kita akan memiliki menantu?” kekeh Mom. “Tentu saja, apa kau tahu Sayang, semalam pak Presiden menelponku dan dia bilang dia iri padaku memiliki calon menantu seperti Adrius” sombong Dad. “Apa maksudnya?” ucapku dan Mom bersam
Prang! Varro menjatuhkan gelas yang sedang ia pegang, sedangkan yang lainnya membuka mulut mereka dengan lebar, mereka sangat terkejut dengan ucapan Adrius. Gunung es benar benar telah mencair. “Profesor, nanti malam akan kutemani kau berkonsultasi dengan dokter Vincent” ucapku datar. “Sepertinya dia sudah parah, cepat jadwalkan konsultasinya dengan dokter Vincent” tambah Brian. “Profesor Adrius hanya sedang jatuh cinta” kekeh Anastasia. “Sungguh aku tidak terbiasa melihat gombalan Profesor Adrius” Stefany menggelengkan kepalanya. “Benar, aku terbiasa dengan dingin dan misteriusnya Profesor Adrius, dia sama sekali tidak cocok menjadi pria hangat penuh cinta” ucap Gerrald. Adrius menatap Gerrald dengan pandangan membunuh. “Tatapan seperti itu sangat cocok untukmu” sindir Gerrald. “Sudah jangan bertengkar, ayo kita ke auditorium” ajak Brian. Saat kami tiba di auditorium, sudah cukup banyak mahasiswa dan dosen yang
“Ada apa?” tanya Adrius mendengar percakapan kami. “Tidak ada apa apa” ucapku. “Brian, apa kau bisa menganalisa jenis bom apa yang dipasang disetiap pintu keluar?” tanya Adrius. Aku tidak mendengarkan percakapan mereka, aku harus bertindak, semakin lama waktu terbuang, keadaan akan semakin kacau, kulihat para teroris sedang bernegosiasi dengan seorang Jenderal diluar sana. Aku membuka dua kancing kemejaku, lalu mencepol rambutku keatas, hingga mengekspose leherku yang mulus, belahan dadaku terlihat jelas karena aku membuka dua kancing kemejaku, aku menatap pria yang sedang memegang detonator sambil menggigit bibir bawahku, aku berpura pura ketakutan, namun aku yakin dimatanya aku sangat menggoda. Pria itu mendekatiku dengan tatapan laparnya, aku berpura pura menunduk ketakutan. “Jenny, apa yang kau lakukan?” ucap Stefany tertahan. Adrius melihat kearahku, dia sangat kaget melihat aku membuka dua kancing kemejaku dan mence