Share

3 | Teman Baru

        Aku segera menangkis dengan tendanganku sebelum pisau lancip itu terhunus ke arahku. Si Gembul itu berusaha terus menancapkan pisaunya itu di mana saja yang ia bisa. Belum lagi Si Kurus-Keriting tadi sudah bangkit kembali dan mengambil balok kayu di dekat tempat sampah Bu Asih dan balok itu berhasil dipukulkan padaku. 

        Aku terus melawan pukulan mereka yang datang dari segala arah. Secepat mungkin aku ayunkan tendanganku ke tubuh bagian dalam dan akhirnya bisa menyasar ke rusuk mereka masing-masing dan kini mereka meringkuk kesakitan di atas tanah.

        "Mas awas, belakangmu!" teriak pria bertubuh kecil yang aku tolong tadi. 

        Benar saja karena kurang mawas, kepalaku kena pukulan dari belakang oleh pria bertubuh besar di belakangku yang membawa tang di tangannya. Kurang ajar! Ini rasanya sakit luar biasa. Dengan sekuat tenaga aku melompat dan mengarahkan kedua kakiku menuju ke perut Narko. Dan akupun terjatuh di atas tanah setelah menumbuknya.

       Narko kesakitan memegangi bagian tengah perutnya. Tapi terlihat kelegaan di wajahnya saat aku melihat darah mengucur ke telapak tangaku setelah aku meraba kepala belakangku. Parahnya tahu aku kesakitan pria itu berusaha menyerangku lagi, dengan sisa tenaga yang aku punya, aku menjegalkan kakiku sekuat tenaga hingga ia terjungkal ke belakang. Untung saja masih bisa menggagalkan serangan kedua itu tadi. Ini saja kepalaku sudah terasa sangat sakit, brengsek!

        "Ada apa ini!! Kalian apakan Andy?" pekik Bu Asih saat keluar dari dalam rumah, lalu bersama Satriyo anaknya mereka duduk mengerumuni aku. "Kalian main keroyokan aku laporkan ke polisi dekat sini!" tunjuk Bu Asih ke arah Narko.

        "Salah dia sendiri cari masalah dengan anak buahku!" seru Narko yang menyambar tangnya yang berada di atas tanah.

        Bu Asih membantuku untuk duduk dan melihat luka berdarah di kepalaku. Pria kecil kurus tadi pun berlari ke arahku ikut melihat keadaanku.

        "Bohong, aku lihat sendiri mereka yang lebih dulu cari gara-gara!" kata pria kecil yang aku tolong itu. Rupanya ia benar-benar mengikuti aku sedari tadi. Dia bahkan melihat semuanya.

        "Pergi kalian dari sini! Bisanya cari gara-gara saja! Aku teriak ini ya! Biar semua orang lihat apa yang sudah kalian lakukan di sini!" Bu Asih membela aku di hadapan Narko yang bersungut-sungut ingin membalas keberanian Bu Asih itu.

        Semua orang yang lewat saat itu mulai mengerumuni kami tertarik untuk melihat keributan yang terjadi, Narko melihat sekelilingnya sudah tidak aman baginya dan anak buahnya, "Cabut semua! Kita pergi dari sini!" akhirnya Narko menyerah, dan memerintahkan Si Gembul dan Si Kurus anak buahnya untuk meninggalkan kami.

        "Kita ke Puskesmas, ya Mas! Saya antar!" seru pria bertubuh kecil yang aku tolong itu. Aku tergolek lemas, tenagaku habis untuk merasakan sakitnya luka menganga di kepalaku yang terus meneteskan darah ini.

        Aku melemparkan senyuman terima kasihku padanya. Paling tidak karena teriakannya tadi aku tidak sampai kena pukul lebih parah lagi.

**

         Tiga jam berlalu sejak kejadian itu, kami masih di puskesmas terdekat. Untung saja perawat dan dokter yang sedang bertugas hari ini belum pulang, jadi aku masih bisa mendapatkan perawatan gratis di Puskesmas ini.

        "Lima jahitan! Lumayan lebar juga ternyata!" seruku sambil kembali menyesap lidahku menahan sakitnya lukaku.

        "Tapi mas hebat tadi masih bisa membalas Si Narko itu dengan sekali tendangan! Huh Huh! Tergeleparlah dia!" Si Pria bertubuh kecil kurus ini mempraktekkan aksiku yang ia amati tadi.

        "Reflek saja! Makasih ya, sudah menolongku tadi! Aku Andy, kamu?" aku menyodorkan telapak tanganku padanya.

        "Ah, itu memang Mas aja yang bisa menghindar! Aku Romi, Mas! Aku kerja jadi tukang jahit sol sepatu keliling tapi kalau siang aku mangkal di pasar! Lumayan banyak pelanggan di sana!" ternyata namanya Romi.

        "Kok bisa tadi berurusan sama Narko?" tanyaku sembari mengeluarkan rokok basahku dari kantong bajuku.

        "Ya aku kalau mau mangkal di pasar harus bayar tiga puluh ribu tiap hari, Mas! Tadinya aku sudah bayar ke anak buahnya! Tapi rupanya nggak sampai ke Narko, diembat sendiri! Ya jadinya Narko nagih lagi ke aku!"

        "Hmm! Makanya aku nggak pernah lewat pasar! Males urusan sama mereka! Tapi kalau kamu ramainya pelanggan di sana ya, mau gimana lagi?" timpalku.

        "Mas, rumahnya mana? Saya antar, yuk!" Romi menawarkan bantuan saat aku beranjak berdiri.

        "Dekat dari sini, tinggal jalan satu kilo lagi!" jawabku.

        "Nggak masalah! Sekalian biar saya tahu rumah, Mas! Supaya gampang kalau mau main," balas Romi menggaruki kepalanya, "Saya jarang punya kenalan orang baik di kota besar begini!"

        "Dari mana kamu tahu aku orang baik?" aku menggelakkan tawa geli akan kepolosannya.

        "Dari sikap maslah!" pungkas Romi lalu membantu membawakan ukulele ku yang ia tenteng bersama ransel kucelnya.

        Di tengah perjalanan kami pun, gerimis turun rintik-rintik. Kami pun kuyub tapi tubuh kami hangat karena pembicaraan yang terus kami lakukan sembari berjalan menuju ke kontrakanku. Romi menceritakan ibunya yang tinggal berdua saja bersama adik perempuannya yang masih bersekolah di Madrasah Aliyah dan ia membantu mencari nafkah untuk mereka berdua.

        Tapi tidak denganku, tidak ada yang bisa aku ceritakan tentang keluargaku. Memangnya apa yang bisa aku ceritakan tentang keluargaku? Tidak ada satu pun, selain Papaku yang merupakan seorang miliarder yang menikah lagi dengan wanita lain bahkan semenjak Mamaku masih hidup. Lalu saat dewasa istri Papaku itu menghasut Papa hingga aku tidak dipercayai sama sekali olehnya. Parahnya, dialah pria yang selama ini selalu aku rindukan.

        "Inilah tempat tinggalku Rom!" jelasku saat kami tiba di kontrakanku yang berukuran mini dan memiliki atap sangat pendek. Saat aku memasukinya, kepalaku pun sering terantuk kusen pintunya saking rendahnya ukurannya.

        "Masuk dulu Rom, kita ngopi sama-sama!" ajakku menawarkan kepada Romi.

        "Mas Andy tinggal sendirian?"

        "Iya lah Rom! Rumah seukuran itu, mana ada yang mau tinggal bersamaku? Lagipula teman sesama pengamen pada tinggal bersama orang tuanya kalau nggak, ya sudah berkeluarga!"

        "Ooo...!"

        "Ayo masuk!" aku menawarkan lagi.

        "Lain kali aja ya, Mas aku pasti mampir! Yang penting aku sudah tahu rumah Mas Andy. Sekarang aku harus pulang. Bajuku basah pingin ganti baju juga di rumah!"

        "Baiklah!" aku mengijinkannya pergi dan ia mulai memutar arah sepedanya kayuhnya.

        "Eh iya, Mas Andy biasa mangkal di mana?" tanya Romi sebelum pergi.

        "Di lampu merah selatan Pasar Besar, Rom! Kenapa?"

        "Ah, enggak! Kalau begitu besok aku cari Mas Andy di sana, ya?"

        "Iya boleh aja! Tapi kalau aku sudah nggak ada, berarti aku ngamen dari rumah ke rumah!"

        Romi pun pergi. Tapi firasatku sedari tadi tidak baik. Aku merasa dari perjalanan pulang bersama Romi tadi, ada beberapa orang mengikuti kami dari belakang. Aku pun bergegas masuk ke dalam rumah, lalu mengintip lewat jendela. Benar saja, Narko dan anak buahnya mengikuti kemana kami berjalan secara diam-diam. Mereka melihat ke arah Romi lalu mengamati ke arah kontrakanku juga. Rupanya mereka belum puas padaku.

        Aku paling malas dengan keadaan seperti ini. Buang-buang waktuku saja dengan hal tidak berfaedah berurusan dengan mereka semacam ini. Dan hidupku mulai sekarang harus selalu waspada terhadap mereka yang akan mengincarku mungkin untuk beberapa hari ke depan. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status