Pria bergaya rambut boul cut itu, memberikanku makanan yang sangat banyak. Meja makan di penuhi dengan berbagai macam hidangan: sup ayam kampung, ikan gurame panggang, tumis kangkung darat, dan aneka kue kering."Sesuatu yang berlebihan itu nggak baik, Degree." Aku mengambil tisu, lalu membersihkan sisa makanan yang menempel di bibir. "Bagikan aja sisanya sama orang-orang, yang kelaparan di luar sana.""Gak boleh. Kalo niat kasih sama orang, ya, jangan makanan sisa dong!" Degree mengerucutkan bibirnya."Kamu salah paham terus. Coba dipahami baik-baik perkataanku barusan," kataku seraya mengambil centong nasi."Iya, aku paham kok," timpal Degree dengan senyum, yang seperti dipaksakan.Setiap melihat pria di sampingku itu, aku seakan-akan sedang bercermin. Hanya gaya rambut, warna mata, dan style pakaian, yang membedakan kami. Ternyata begitu rasanya, ketika memiliki saudara kembar."Coba tebak, aku adikmu atau kakakmu?" Degree bertanya tanpa menoleh ke arahku."Nggak tahu," jawabku sin
"Apakah Anda adalah Nyonya Lily?" Aku berusaha untuk mengejar wanita, yang memakai maid dress itu. Di depan sana, ia terlihat memasuki sebuah vila besar.Sedikit rasa takut mulai menyerang. Sungguh, aku benar-benar merasa tidak nyaman. Karena ingin memastikan wanita itu Nyonya Lily atau bukan, aku terpaksa ikut masuk ke dalam vila itu. Awalnya, pintu vila itu sulit untuk dibuka. Aku kehabisan tenaga, untuk mendobraknya. Jalan satu-satunya sepertinya hanya menggunakan magic. Tanpa pikir panjang, aku menggunakan kapak api, agar bisa menerobos masuk."Kenapa wanita tadi begitu mudah membukanya?" Aku bertanya-tanya di dalam hati. Kunaiki anak tangga yang ada di ruang tengah vila itu. Setelah beberapa menit berlalu, aku pun mulai kelelahan, karena anak tangga itu tidak kunjung menemui akhir. Ditambah, aku merasa hanya terus berputar-putar, di sana."Aku di belakangmu, Pangeran," ucap seseorang di bawah sana. Aku pun menoleh, tetapi tidak menemukan siapa sumber suara itu. Di sana, hanya a
"Kamu terhubung dengan Sean, kan?" Degree tiba-tiba bertanya di sela-sela makan pagi. Hal itu hampir membuatku tersedak."Ke kenapa kamu tanya soal Sean? Kamu, kan, bisa lihat sendiri dengan magicmu, Re." Aku menatapnya dengan wajah kesal.Menurutku, pertanyaannya selalu terdengar aneh. Terkadang hal itulah, yang membuatku sedikit malas untuk menjawabnya."Sean adalah Pangeran Werewolf dengan magic terkuat, yang mati bunuh diri hanya untuk menyelamatkan keseimbangan alam. Ketenarannya bahkan lebih populer, daripada Dewa Naga berkepala tujuh. Aku sangat kagum pada sosok pemberani sepertinya." Degree bercerita panjang lebar."Terus?" Aku mengangkat alis kananku."Sekarang aku tanya, kenapa kamu melakukan hal senaif itu?""Aku nggak bisa biarin bangsa werewolf, dan bangsa vampir terus berperang. Di lain sisi, aku nggak bisa berpikir jernih, saat keadaan genting." Aku mengambil buah apel di keranjang, lalu memotongnya dengan pisau kecil."Kestabilan alam hanya bisa di capai, ketika semua
Aku duduk termenung. Beberapa kali kutiup gelas yang berisi teh hangat, digenggaman. Aku sedikit khawatir tentang keadaan Degree, tetapi Tuan Farren bilang, semuanya akan baik-baik saja. Jadi, aku berusaha berpikir positif, saat itu—yang bisa kulakukan hanya berharap dan terus berharap."Tuan, jangan pernah berpikir hal buruk akan terjadi! Terkadang, hidup itu harus dijalani dengan santai." Tuan Farren duduk di sampingku. "Semuanya akan berjalan sesuai, dengan apa yang Anda inginkan. Hanya saja, tetaplah optimis terhadap keadaan.""Seingatku, Degree tadi ada di belakangku. Kami berenang bersama menuju permukaan." Aku meletakkan gelas di atas meja, lalu menyandarkan tubuh di sofa. "Tapi, bagaimana bisa kami tiba-tiba terpisah? Bahkan, aku tidak menyadarinya sama sekali. Bukankah itu hal yang aneh, Tuan Farren?""Anda jangan memanggilku dengan sebutan 'tuan', Yang Mulia. Panggil saja penyihir atau sebutan nama." Tuan Farren tersenyum padaku."Baiklah, Penyihir." "Jika Anda mengingat de
"Kenapa kamu membunuh ayah, Achilio?" Degree menarik lenganku, lalu menghadapkan wajahku ke arahnya. "Di mana hati nuranimu!? Apa yang membuatmu sampai segila ini!?"Suaranya terdengar menggema, hingga memenuhi sudut ruangan itu. Aku menatapnya dengan sorot mata berkaca-kaca, lalu tersenyum smirk."Jika aku bisa memilih, aku nggak pengen terlahir di dunia ini, Re!" Aku melepaskan cengkeramannya. "Aku hanya bahagia di dalam imajinasiku sendiri. Sedangkan, kamu sama sekali tidak pernah merasakan pedihnya realita.""Ada apa denganmu, Achilio? Apa kamu sudah tidak waras?" Dada Degree tampak naik turun—napasnya mungkin berpacu tak stabil. "Aku masih punya akal, Re.""Jika kamu masih punya akal, kamu harusnya tahu, membunuh adalah hal yang tidak bisa dimaafkan.""Perkataan yang sangat miris!" Aku mengeluarkan api biru dari telapak tanganku. Emosi sepertinya mulai mempengaruhi tindakanku. "Ternyata, kamu sama saja dengan yang lainnya. Membela orang yang jelas-jelas memicu kematiannya sendir
"Bagaimana menurutmu? Tiga hari yang lalu, aku dan Calvin telah menyiapkan segalanya untukmu." Sera menggandeng tanganku. Kami menemui seorang pria yang berdiri, di sana—ujung tebing yang telah dihias dengan berbagai lampu neon."Maafkan aku, Achilio." Calvin mengenakan toxedo yang sangat rapi, hari itu—tidak seperti biasanya. "Calvin ...." Aku menatap nanar pada sahabatku itu. Air mata tidak bisa kubendung lagi."Jangan menangis, Achilio! Kami berdua nggak pengen liat kamu kayak gini. Semangat dong!" Sera mengajakku duduk di sebuah kursi taman."Kalian membuat ini selama berhari-hari? A aku sangat bahagia memiliki orang-orang yang masih menyayangiku." Aku menyeka genangan air mata yang jatuh. "Terima kasih, Orang baik.""Jadi, gue dimaafin apa gak nih? Maksa banget nih gue!" Bibir Calvin nampak mengerucut. "Gue masih ngerasa sakit sama ucapan lo, Vin." Aku merangkul pria itu. "Tapi, bukan berarti gue nggak maafin lo."Calvin berhak mendapatkan kesempatan kedua. Aku berharap, dia ti
Aku seringkali merasa bertindak gegabah dalam memutuskan suatu hal. Entah mengapa, ketika emosi mulai mengendalikan diri, aku cenderung tidak mampu berbuat apa-apa. "Tuan Farren tidak kunjung sadarkan diri. Efek dari seranganmu sepertinya berhasil membuatnya koma, Lio." Degree memijat pelipisnya. "Ya ampun, kekuatan magic-mu mengalami peningkatan yang sangat besar. Ini kabar baik, dan sekaligus kabar buruknya." Calvin memperlihatkan layar yang berisi diagram batang. Lima puluh persen data terakhir melambung drastis—lebih tinggi daripada yang lainnya."Kalo sudah begini ya, harus terima aja." Sera duduk di sampingku, lalu memberikan segelas jus jeruk. "Wajar aja, karena Achilio masih labil, dan sering bertindak mengikuti amarah.""Di malam pembunuhan itu, aku nggak ingat semuanya dengan jelas." Aku mengambil jus yang diberikan Sera. "Saat itu, emosiku meningkat karena ayah terus menyiksaku."Pembicaraan terhenti sejenak, saat sinar matahari mulai menerangi balkon; cahayanya sedikit m
"Kenapa kamu selalu memaafkan semua kesalahanku, Vin?" Aku berkata tanpa menoleh ke arah pria itu. "Aku telah membunuh Reizo, orang yang paling kamu sayang, kan?"Dia hanya bergeming tanpa mengucapkan sepatah kata pun."Aku bahkan telah merebut Sera darimu. Apakah kamu benar-benar memaafkanku, di hari itu?" Aku menatapnya dengan air mata yang berlinang."Kamu adalah seorang guardian. Aku percaya kamu akan membawa kita pada kebahagiaan." Calvin mengembangkan senyum khasnya. "Aku akan tetap melakukannya. Meski, aku harus mengorbankan seluruh kebahagiaanku untukmu, Achilio."Deg! Deg! Deg!Jantungku berdetak kencang. Apa yang telah Calvin bicarakan? Apakah aku tidak salah dengar? Kenapa dia mau berjuang keras, untuk mewujudkan mimpiku?"Itu bukan kesalahan siapa pun. Andai Reizo tidak memihak Paman Ergar, mungkin dia tidak akan terbunuh di hari itu." Senyum Calvin tampak memudar, lalu menghilang sepenuhnya. "Bagaimana jika aku nggak bisa menepati janji sebagai seorang guardian?" Aku men