"Bangun lo, bangsat! Otak lo di mana hah? Bisa-bisa nya lo tidur-tiduran sama bini orang!!"
BUGH! BUGH! PRANGGG!
Bintang terbangun karena kaget. Apalagi saat tubuhnya ditarik paksa dan disandarkan pada tiang meja gambar. Nyawanya yang belum terkumpul semua karena baru saja terbangun, seketika panik saat mendapati Tian ada di depan matanya dan terus saja memukuli Bumi seperti orang gila. Bumi yang sejenak tampak kebingungan karena sepertinya juga baru terjaga dari tidurnya, akhirnya juga mulai membalas tak kalah beringas.
Bintang kehilangan kata-kata saat melihat meja gambar studio tiga patah karena tendangan Tian. Belum lagi maket besar yang teamnya kerjakan dengan susah payah kemarin, hancur terkena kepalan tangan Tian. Kappa board, dupleks, artcarton, segala jenis pensil, cat pewarna, krayon, cat air, cat minyak, drawing pen sampai styrfoam dan bubuk gypsum, semua ber
"Astaghfirullahaladzim! Itu muka kamu kenapa, Nak? Kok jadi mirip buah semangka jatuh dari atas balkon. Hancur semua!"Bintang melihat ibu mertuanya berseru kaget saat melihat wajah Tian yang penuh lebam dan juga memar-memar. Di tangan kanan ibu mertuanya ada beberapa wadah makanan yang tersusun rapi. Sepertinya mertuanya ini berkunjung khusus hanya untuk mengantarkan makanan kepada mereka berdua. Hanya waktunya saja yang tidak tepat. Wajah anak laki-lakinya sedang bengep-bengep seperti habis di keroyok massa."Itu lho Bun, Kak Tian beran--""Tian tadi nolongin orang yang lagi kecopetan Bun, di jalan. Terus ya itu, Tian terpaksa berantem sama pencopetnya juga. Tapi Tian nggak apa-apa kok, Bun. Cuma lecet-lecet begini doang. Anak laki-laki kan biasa begini. Bunda jangan khawatir ya?" Bintang diam saja saat Tian
"Selamat sore suster, pasien atas nama Bintang Diwangkara Junior ada di ruangan apa ya?" Tian dengan nafas tersengal-sengal menghampiri nurse station. Semenjak Altan memberitahukan kalau istrinya pingsan dan telah dibawa ke rumah sakit ini, Tian sudah berlari seperti orang gila. Ia meninggalkan kantor polisi begitu saja tanpa sempat berpamitan pada Badai yang sedang menerima tamu penting di ruangannya. Perasaannya begitu tidak tenang sebelum melihat sendiri keadaan istrinya. Tadi sebelum ia tinggalkan di apartemen, keadaan istrinya itu masih dalam keadaan baik-baik saja. Bagaimana mungkin sekarang tiba-tiba pingsan? Tian benar-benar merasa sangat khawatir."Maaf, menutut keterangan data-data pasien yang sedang menjalani rawat inap di sini, pasien atas nama Bintang Diwangkara Junior itu tidak ada, Pak. Yang ada hanya pasien yang bernama Bintang Wijaya Kesuma. Bapak yakin namanya tidak salah?" Suster manis bername tag Rina Mariana itu menatap Tian d
"Itu semua tidak benar Yah, Bunda. Tian tidak pernah berbuat yang berlebihan pada Clara selama kami berpacaran. Jadi mana mungkin kalau Clara itu hamil anak Tian? Clara sudah hamil sebelumnya, Yah. Kalau ayah tidak percaya, Ayah bisa mengkonfirmasinya pada Akbar. Akbar pernah ketemu dengan Clara di dokter kandungannya Michellia, adik Akbar. Apa perlu nih sekarang Tian telepon Akbar kesini? Biar semuanya clear?" Tian meremas rambutnya gemas. Istri pulang dari rumah sakit belum juga ada sejam, tapi apartemennya sudah kedatangan rombongan keluarganya dan juga keluarga Clara. Lengkap dengan akting sempurna Clara yang sedang menangis tersedu-sedu dengan raut wajah tertekan dan penuh beban."Itu memang benar, gue memang ketemu sama Akbar di rumah sakit bersalin waktu gue check kandungan. Tapi ini anak lo, Yan. Kita melakukannya tiga bulan lalu di Manhattan New York City, apartemen lo sendiri. Kenapa lo nggak mau ngaku sih, Yan? Ini ana
"Untuk sementara kita tinggal di sini dulu ya, Bi? Maaf uang simpanan Kakak hanya cukup untuk mengontrak rumah sederhana ini. Sekarang kamu istirahat saja dulu di atas koran ini ya? Jadikan saja paha Kakak sebagai bantal kamu. Nanti agak sorean baru kita beli kasur lipat dan kebutuhan-kebutuhan kita yang penting-penting dulu ya?" Tian terlihat agak malu saat mengucapkan kata-katanya tadi. Sedikit banyak pasti kata-kata ayahnya tadi mengusiknya. Ia telah membawanya hidup susah. "Maafkan Kakak yang sudah membawa kamu hidup susah seperti ini ya, sayang?" Tian mengelus sayang pipi mulus Bintang.Tian sebenarnya mempunyai banyak dollar maupun rupiah selama ia menjalankan perusahaan ayahnya di New York City. Hanya saja ia tetap menganggap itu semua adalah fasilitas seorang Diwangkara yang telah di lepaskannya. Makanya ia hanya menggunakan uang pada saat ia masih magang pada perusahan Om Dexter Diwangkara, pamannya, yang tidak seberapa. Ia memang tidak p
"Lho Kak Bumi. Kok Kakak bisa ada di sini?" Bintang kebingungan saat melihat Bumi berdiri tepat diambang pintu rumahnya."Kakak mengikuti kalian semalam." Bumi menjawab singkat seraya memandangi jemuran di depan rumahnya yang membeludak. Bintang was was. Ia takut kalau Bumi menduga kebenaran yang coba ia sembunyikan rapat-rapat."Untuk apa Kakak mengikuti Bintang? Bukankah sandiwara satu babak Kakak telah sukses mendepak Kak Tian? Kalian menginginkan kehancuran seperti apa lagi yang menimpa kehidupan kami?" Bintang menatap Bumi tajam. Ia tidak menyangka, Bumi yang dulu pemikirannya begitu logis dan matematis, bisa termakan racun yang disemburkan oleh Clara. Kalau sudah gelap mata mungkin otak juga bisa jadi mati logika."Itu bukan sandiwara, Bintang. Tapi kenyataan yang berusaha di tutup-tutupi oleh Tian. Kakak melihat dengan mata kepala kakak sendiri kalau laki-laki yang menjadi suami kamu itu, masuk ke dalam hotel berdua
"Bintang mau mencuci piring-piring dulu ya, Kak? Itu masih berantakan tadi habis Kakak makan be--belum dicuci." Bintang berusaha sedaya upaya meloloskan diri dari pembicaraan yang rasa-rasanya suhunya mulai memanas ini."Piring cuma satu. Sendok juga satu. Nggak apa-apa ditinggal dulu, sayang. Sini, duduk dekat Kakak. Kamu ngapain saja seharian ini?" Bintang menarik nafas lega. Syukurlah ternyata suaminya bisa ia alihkan dari pembicaraan yang berbau-bau konten 21+. "Bintang cuma belanja, mencuci pakaian dan membereskan rumah kok, Kak. Nggak ngapa-ngapain lagi. Sekarangkan Bintang nggak perlu setiap hari ke kampus lagi. Paling kalau ada revisi atau menjumpai dosen pembimbing, baru Bintang ke sana. Kakak bagaimana? Udah dapat kerja?" Bintang melihat suaminya menggelengkan kepalanya. Saat itulah Bintang melihat wajah lelah s
"Lo bedua ngapain pagi-pagi udah nongol di mari? Emangnya kagak ada kerjain lain apa yang lebih bermanfaat selain ngeributin gue? Pagi- pagi bukannya olah raga kek, nyapu-nyapu jalan kek. Ini malah nenamu di rumah orang. Ya udah masuk deh lo pada. Gue mau mandi dulu." Mau tidak mau Bintang mempersilahkan duo perusuh itu masuk juga. Kan nggak sopan kalo mereka berdua disenderin di tembok rumah. Bisa di sangka sapu sama serokan sampah pula nanti mereka berdua."Iya mandi yang bersih sono, jangan lupa keramas juga. Eh Bi, ini rumah apa kotak korek api sih? Sempit bener. Engap gue di sini lama-lama. Mana ini rumah kayak lapangan sepak bola lagi saking kagak ada perabotannya. Eh Bi, lo ena ena apa nggak remuk semua tuh tulang-tulang lo karena eksekusinya cuma di kasur tipis begini?"Pasti Altan sudah menginspeksi kamar dan hanya menemukan kasur lipat daruratnya saja. Altan kalau sudah mengom
Sepulang dari makan siang bersama dengan dua sahabat oroknya, Bintang segera menyibukkan diri demi untuk melupakan kesedihan hatinya. Setiap ia mengingat kejadian di mana suaminya bekerja sebagai kuli bangunan bersama dengan puluhan pekerja lainnya, rasanya air matanya ingin tumpah saja. Di saat para pekerja lain mengisi perut dengan berbagai macam lauk yang di beli dari warung-warung sekitar proyek, suaminya hanya makan dengan menu seadanya yaitu omelet telur buatannya sendiri. Yang membuat Bintang makin miris adalah saat melihat Tian berusaha makan menggunakan tangannya, mencoba meniru tukang-tukang yang lainnya. Bintang tahu bahwa Tian ingin agar ia bisa diterima dan dianggap sama dengan teman-teman seperjuangannya. Semakin Bintang merasa sedih, semakin ia berusaha untuk menyemangati diri sendiri agar bisa sekuat Tian dalam menjalani setiap perubahan hidup ini.Hidup tak lepas dari masalah yang kadang membuat kita ingin menyerah. Tapi jika