***Keesokan harinya***Ada perubahan dengan mas Ikhsan, mas Ikhsan mulai sering diam."Mas... Kamu gak kekantor?" Tanyaku"Gak Ra... Mas mau ke makam orang tua mas." Jawabnya.Aku terkejut mendengar hal itu karena seingat ku kata Mbok Minah, mas Ikhsan tidak pernah peduli dengan orang tuanya setelah menikah dengan mbak Laras bahkan disaat orang tuanya meninggal pun mas Ikhsan lebih memilih tidak datang."Mas bener mau ke makam orang tua mas?" Tanyaku lagi"Iya Ra... Mas sudah banyak salah sama orang tua mas. Mas ingin meminta ampunan kepada mereka." Ucapnya dengan mata berkaca-kaca."Mau aku temani mas?" Tanyaku"Tidak usah Ra... Mas sendiri saja, kamu tolong urus Laras. Dia belum keluar kamar semenjak kemarin." Ucapnya."Mbak Laras baik-baik saja kok mas... Rina yang ngurusnya." Jawabku"Apakah kamu masih menyimpan dendam kepada Laras? Sehingga kamu tidak mau mengurusnya?" Tanyanya"Mas... Mbak Laras tidak mau melihat ku. Mbak Laras hanya mau di urus sama Rina." Jawabku. Memang mbak L
Aku tak pernah lagi memikirkan mas Ikhsan. Aku mulai menikmati kehidupan baru yang aku jalani sekarang. Aku bukanlah Airin yang seperti dulu. Saat ini orang mengenalku sebagai seorang pengusaha dan tidak ada satupun yang mengetahui latar belakangku. Waktu berjalan begitu cepat, tidak terasa sudah tiga tahun berlalu. Aku mulai menyibukkan diri dengan pabrik dan beberapa usahaku yang lainnya. Aku menjadi wanita super sibuk. Hingga pada suatu hari tanpa sengaja aku bertemu dengan seorang laki-laki yang menurutku sangat baik. Dia yang menolongku ketika aku akan dihakimi warga karena tanpa sengaja menabrak seseorang. "Tolong maafkan saya, saya benar-benar tidak sengaja,"ucapku memohon kepada para warga yang hendak memukuliku"Makanya jangan mentang-mentang kaya jadi dengan seenaknya mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi!"jawab salah satu warga "Saya tidak mengemudi dengan kecepatan tinggi, hanya saja bapak itu yang tiba-tiba menyeberang, saya panik dan tidak sempat lagi mengere
Setelah sampai pabrik. Ahmad langsung memarkirkan mobil ditempat biasa. Ahmad akan menunggu di pabrik dan tidak akan pergi kemana-mana. Biasanya Ahmad akan ngobrol dengan satpam. Setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan di pabrik. Aku akan pergi ketoko bajuku. Karena sudah lama aku tidak pernah kesana. Karena ada orang kepercayaanku yang mengelolanya. Jadi aku tidak perlu setiap hari mengontrol kesana. Namun begitu aku sampai di parkiran. Aku sangat terkejut karena mobilku sudah tidak ada. Aku lalu bertanya ke pada satpam. Dan kata satpam Ahmad pergi dengan terburu-buru. Aku lalu menghubungi nomor Ahmad. "Hallo...""Maaf, Bu... Saya pergi tanpa ijin ibu, Saya sekarang di rumah sakit anak saya kondisinya drop."Aku sangat terkejut mendengar penuturan Ahmad, aku yang awalnya akan memarahinya jadi merasa iba. "Ya sudah kamu urus anakmu dulu. Nanti mobil kamu bawa saja.""Ba-baik, Bu."Setelah itu panggilan aku akhiri. Setelah selesai menghubungi Ahmad. Aku lalu memesa
Aku dan karyawan pabrik mendatangi rumah Ahmad setelah pabrik tutup.Ketika sampai disana ternyata anaknya sudah dimakamkan. Ahmad terlihat sudah mulai sedikit tegar, tidak seperti waktu di rumah sakit tadi siang.Sedangkan istrinya dan anak pertamanya masih terlihat sangat terpukul. Setelah selesai mengucapkan berbela sungkawa dan menitipkan sedikit rejeki. Aku dan beberapa karyawan pamit pulang, tapi ada sebagian karyawan yang masih ingin tinggal karena mereka ingin memberi dukungan kepada Ahmad. Setelah sampai rumah, aku lalu memberitahu mbok Inah jika anaknya Ahmad meninggal. "Mbok... Anaknya Ahmad meninggal tadi siang."Mbok Inah sangat terkejut hingga piring yang sedang di pegangnya terjatuh dan pecah. "Mbok...""E-e iya Non... Maaf mbok gak sengaja.""Aku itu gak marah karena piring pecah. Ya sudah mbok bersihkan ya awas hati-hati takutnya nanti kena pecahan kaca tangannya.""Non... Apakah mbok boleh setelah ini kerumah nak Ahmad?""Mbok... Besok saja ya... Ini suda
Entah mengapa aku merasa jika Ahmad sedang menahan amarah. Apakah karena aku memberikan apa yang sedang Sekar minta? Tapi... Bukankah Ahmad yang menyuruh Sekar?Sudahlah. Aku tidak mau terlalu fokus memikirkan permasalahan mereka. Yang ada nanti aku yang malah terperosok kedalam rasa cinta yang mendalam.Aku harus bisa mengikis rasa yang salah ini. Aku tidak mau menjadi duri dalam pernikahan Ahmad maupun orang lain. Aku lebih baik melanjutkan pekerjaanku dan sepertinya aku harus memindahkan Ahmad menjadi supir gudang. Agar aku bisa menjaga jarak dan tidak setiap hari melihatnya. Mungkin dengan cara seperti itu aku bisa mengikis rasa cinta ini.Aku lalu mengambil ponselku, aku lalu menghubungi Mia dan meminta Mia untuk mencarikan aku supir pribadi perempuan. Aku lalu menekan nomor Mia."Mia... Tolong carikan Ibu seorang supir tapi kalau bisa yang perempuan ya.""Lho... Mas Ahmad kenapa Bu?""Ahmad akan saya pindahkan ke pergudangan. Jadi dia yang bagian mengantar barang untuk ar
Maman bekerja sangat rajin. Aku mulai akrab dengannya.Seperti biasa setelah pulang dari pabrik, aku langsung membersihkan tubuhku dan setelah itu beristirahat sebentar sebelum makan malam.Ketika sedang beristirahat ponselku bebunyi.Aku langsung mengangkatnya karena tahu siapa yang menelepon."Hallo... Mbak Sekar.""Malam Bu... Maaf malam-malam begini mengganggu.""Iya gak apa-apa. Ada apa ya? Kok tumben mbak menelepon saya?""Begini, Bu... Saya butuh uang untuk beli beras, mau minta uang sama mas Ahmad, tapi sekarang lagi keluar kota. Jadi saya dengan sangat terpaksa ingin meminta tolong sama ibu.""Oh... Untuk beli beras?""Iya, bu... karena mas Ahmad tidak meninggalkan uang ketika berangkat kemarin sore.""Ya sudah mbak kirim saja nomor rekeningnya.""Maaf lho Bu... Jadi gak enak saya selalu ngerepotin ibu.""Tidak apa-apa, mbak... selagi saya bisa pasti saya bantu.""Sekali lagi terima kasih ya Bu Airin.""Sama-sama... Ya sudah mbak matikan teleponnya dan kirim nomor
Aku sangat prihatin dengan kondisi keluarga Sekar. Karena aku dulu pernah ada di posisi mereka. Tapi jika aku menyuruh mereka tinggal di rumahku apa tidak akan menyinggung perasaan Ahmad? Ah sebaiknya aku nanti rundingkan dengan Maman saja siapa tahu dia punya solusi. "Mbak? Apakah tidak masalah jika saya memberikan uang ini langsung kepada Mbak tanpa menghubungi Ahmad terlebih dahulu?""Tidak masalah Bu, karena tadi saya sudah memberitahu suami saya jika saya meminjam uang kepada Ibu,""Oh, baiklah kalau seperti itu, jadi saya tidak perlu khawatir lagi,""Apa yang membuat Ibu khawatir?""Saya takut jika Ahmad salah faham dan saya telah melukai harga dirinya, karena selama ini Ahmad tidak pernah berucap meminjam uang kepada saya,""Sebenarnya saya juga begitu Bu, tapi, mau bagaimana lagi, kami tidak punya pilihan lain, jadi dengan sangat terpaksa harus meminjam kepada Ibu,""Ya sudah lah, Mbak, yang terpenting kalian tidak sampai terusir dulu dari kontrakan, nanti kita cari solusi
Aku tidak melihat ada ketulusan dari sorot mata mbak Sekar. Entah apa yang membuat mbak Sekar seolah terpaksa untuk merawat suaminya. Apa mbak Sekar memang tidak memiliki rasa cinta untuk suaminya? Ah! Sudahlah biar itu menjadi urusan mereka. Yang terpenting aku sudah bertanggung jawab sebagai atasan selebihnya itu bukan menjadi tanggung jawabku. Setelah itu aku pamit pulang karena Maman sudah datang menjemputku. Aku langsung masuk kedalam mobil. "Man... Darimana kamu tahu kalau saya disini?""Tadi saya ke pabrik dan kata satpam ibu pergi kerumah pak Ahmad jadi saya langsung meluncur kesini.""Apa semuanya sudah selesai?""Sudah, Bu... Kata mbok tidak semua barang dibawa jadi tadi saya pinjam mobil pick up teman saya untuk mengangkat barang.""O... Pantas saja cepat. Man kita langsung pulang karena saya menunggu kabar dari pak Arif.""Siap, Bu..."Mobil langsung melaju menuju rumah baru ku. Setelah sampai. Aku langsung menata baju-baju dan beberapa barangku di lemari. Aku m