“Sebenarnya Mas punya rencana, walaupun belum pasti tapi akan Mas usahakan dengan keras.” Ujar Mas Gala.“Rencana apa, Mas?” Tanya Lara.“Kamu inget nggak tentang rencana menjelajah nusantara?” Tanya Mas Gala.“Ingat dong.” Jawab Lara, “Pembicaraan itu kan sampai buat kita berantem, masa Lara lupa.” Lanjutnya lalu berdehem.“Iya juga dan Mas udah putuskan buat bawa ponsel kalau jadi pergi.” Ujar Mas Gala, “Karena sudah ada kamu.” Lanjutnya.“Tapi nanti Mas Gala nggak mendapatkan apa yang Mas cari.” Ucap Lara.“Memangnya apa yang Mas cari?” Tanya Mas Gala.“Ketenangan kan, katamu.” Jawab Lara.“Justru Mas nggak akan tenang kalau pergi tanpa mendapatkan kabar dari kamu.” Ucap Mas Gala.“Makasih, ya, Mas.” Ujar Lara. “Lara juga nggak mungkin akan tenang kalau kamu nggak bisa dihubungi. Tapi kalau misalnya kamu memang nggak bisa bawa ponsel Lara nggak apa-apa kok kalau nggak dikabarin, walaupun Lara nggak tenang tapi nggak apa-apa, kok, beneran.” Lanjutnya.“Ra, udah, ya. mas ng
Semburat sinar matahari menyusup melalui celah-celah yang terdapat di atas jendela kamar Mas Gala. Cahaya itu merasuk lalu menusuk mata dan menggangu tidurnya, pria itu menggeliat di atas kasur, tangannya meraba-raba ke sisi kasur di sebelahnya namun tak ada siapa-siapa di sana kecuali udara. Perlahan Mas Gala membuka perlahan matanya sembari mencari-cari di mana Lara.“Ra …” Gumamnya, kemudian bangkit dengan nyawa yang masih terkumbul setengah.“Lara!” Mas Gala mulai berteriak memanggil nama kekasihnya itu.Dia kemudian menyadari bahwa dirinya tidak sedang berada di penginapan melainkan berada di kamarnya sendiri. Mas Gala masih tidak percaya, kejadian menakjubkan yang dialaminya semalam ternyata hanya mimpi. Dia berusaha menolak kenyataan itu, namun segera terbungkam saat mendapati sesuatu membasahi bagian bawah tubuhnya.“Oh sh*t!” Gumamnya.***Pagi itu bis yang di tumbangi Lara ke kampus terjebak kemacetan kota dan hal itu yang menyababkan Lara berlarian berkejaran dengan
“Halo, Mas.” Ucap Lara setelah teleponnya di terima oleh Mas Gala.“Halo, sayang.” Jawab Mas Gala, “Mas udah ada di kantor.” Lanjutnya.“Iya, Mas.” Ucap Lara, “Kenapa tadi nelpon?” Lanjutnya bertanya.“Nggak apa-apa sayang, cuma kangen aja.” Jawab Mas Gala, “Tadi pas bangun tidur rasanya kangen kamu, kangen yang banget banget.” Lanjutnya.“Bisa aja.” Gumam Lara disertai dengan deraian tawa karena mengira yang diucapkan Mas Gala hanya gombalan konyol semata.“Eh, kok ketawa.” Protes Mas Gala. “Mas serius loh ini.” Lanjutnya.“Iya, iya, Mas. Lara percaya kok.” Ujar Lara, sisa tawanya masih ada.“Mas serius, Ra.” Ucap Mas Gala terjeda. “Rasanya kangen banget dan ingin ketemu kamu saat itu juga. Mungkin karena habis mimpiin kamu.” Lanjutnya.“Mimpiin aku?” Tanya Lara.“Iya.”“Mimpi apa, Mas?”“Lara nggak usah tahu, ya.” Ujar Mas Gala.“Loh kok nggak usah tahu.”“Soalnya Mas juga bingung mimpi itu, antara indah atau memalukan.” Ujar Mas Gala, ragu-ragu.Jiwa penasaran dalam diri La
Lara dan Aria terlihat serius dengan obrolan mereka dan sesekali mengunyah makanan yang ada di hadapannya tanpa menghentikan mulutnya berbicara. Karena mulut mereka dipaksa melakukan dua pekerjaan sekaligus; mengunyah dan berbicara, Aria tersedak beberapa kali dan anehnya, Lara tak pernah tersedak meski melakukan hal yang sama. Ekor mata Lara mengikuti gerakan tangan Aria yang hendak mencomot bakwan di keranjang gorengan, setelah sadar pergerakannya diperhatikan oleh Lara, Aria mengurungkan niatnya dan meletakkan kembali bakwan yang sudah dipegangnya.“Ih, jorok banget sih udah dipegang nggak jadi diambil.” Gerutu Lara, “Kasihan tahu orang yang makan bekas tanganmu yang penuh bakteri itu.” Lanjutnya.“Habisnya kamu ngeliatin.” Ucap Aria.“Memangnya kenapa kalau aku ngeliatin?” Tanya Lara, “Kamu mau ngambil terus nggak bayar lagi kayak kemarin?” Tuduhnya.Aria menyeringai sebagai jawaban atas tuduhan Lara. Lara menggeleng-gelengkan kepala karena sudah terlalu lelah dengan sikap buruk s
“Mas mimpi kita bertemu, terus …” Ucap Mas Gala, terjeda.“Apa?” desak Lara.“Kita bercinta.” Jawab Mas Gala dengan menyingkirkan semua keraguan yang ada di dalam benaknya.“Astaga.” Ujar Lara, kemudian menutup mulutnya karena berusaha menahan tawa.“Maaf, Ra. Mas sama sekali nggak bermaksud kurang ajar sama kamu.” Pinta Mas Gala dengan suara memelas.Lara tak kuasa lagi menahan, tawanya meledak-ledak. Entah mengapa membayangkan Mas Gala meminta maaf seakan-akan telah melakukan kesalahan besar, hanya karena sebuah mimpi, itu sangat menggelitik bagi Lara dan membuatnya tertawa terbahak-bahak.“Kok malah ketawa.” Protes Mas Gala yang telah bermenit-menit hanya mendengarkan gelak tawa Lara dari seberang telepon.“Sorry, sorry.” Ucap Lara yang susah payah menghentikan tawanya. “Gimana aku nggak tertawa kalau kamu lucu banget.” Lanjutnya, saat ini tawanya mulai reda.“Ra, are you serious? Lucunya di mana?” Mas Gala masih tidak menemukan letak kelucuan dari sikapnya.“Kamu minta maaf seakan
“Tapi kan sebelum bareng Lara, Mas udah menjalin hubungan sama perempuan lain.” Ujar Lara, “Maksudnya, kalau Mas nggak ngerasa kesepian pas nggak mimpi itu karena ada pasangan harusnya dulu juga Mas nggak ngerasa kesepian.” Lanjutnya.“Iya sih harusnya gitu. Tapi pas Mas sama perempuan itu sama aja. Mas nggak pernah nggak mimpi dan kalau telat sebentar aja Mas udah ngerasa kangen dan sepi.” Jelas Mas Gala.“Unik, ya.” Gumam Lara lalu tertawa kecil.“Iya, padahal bukannya Mas nggak sayang sama perempuan itu dulu. Tapi rasanya nggak ada yang spesial aja dari dia.” Ucap Mas Gala.Lara tak berani mengambil kesimpulan sepihak. Meskipun puzzle itu semakin nampak jelas jika disusunannya diarahkan kepada dirinya, antara mimpi itu dan Lara ada hubungannya. Tetapi Mas Gala tidak mengeluarkan pendapatnya mengenai kaitan antara Lara dan mimpinya yang berulang. Lara pun mengurung niatnya untuk mengutarakan sesuatu.“Ra?” Ucap Mas Gala setelah menyadari Lara sedari tadi hanya terdiam.“Iya, M
“Kebanyakan orang pinter emang gitu sih.” Ucap Lara, “Mereka nggak sadar kalau merekaa itu pinter, jadi ngerasa biasa aja. Mereka menganggap kepintaran mereka itu sama seperti yang kebanyakan orang miliki.” Lanjutnya.“Emang iya?” Tanya Mas Gala.“Iya lah.” Jawab Lara, “Beda sama orang yang harus usaha keras dulu buat jadi pinter.” Lanjutnya.“Tapi semua orang pinter, Ra. Sesuai kemampuan masing-masing, ada yang pinter olahraga, ada yang pinter matematika, ada yang jago bahasa dan sebagainya.” Ujar Mas Gala.“Iya, bener. Tapi kamu jangan lupa gimana sistem pendidikan di sekolah negara kita, Mas.” Ucap Lara.Mas Gala menyunggingkan senyuman di bibirnya. Ucapan sederhana Lara mengenai ukuran kepintaran di negara ini membuatnya kagum pada gadis itu. Mas Gala memang mengenal Lara sebagai pribadi yang memilki kepekaan sosial tinggi terutama pada anak-anak dan pendidikan. Mas Gala mengingat salah satu percakapan mereka, jauh saat mereka tidak memilki pikiran untuk saling jatuh cinta s
“Atau jangan-jangan Mas Gala ikut-ikutan zodiak aku lagi!” cibir Lara.“Hey hey, yang lahir duluan Mas atau kamu sih?” Tanya Mas Gala.“Ya emang duluan Mas Gala.” Jawab Lara, “Tapi bisa aja zodiak Mas bukan Taurus, karena tahu aku Taurus jadi ikut-ikutan buat ngerjain aku kan?” Lanjutnya.Lara terus menuding hal yang sama sekali tidak pernah Mas Gala lakukan. Hal ini dilakukan Lara bukan tanpa alasan. Gadis itu cukup banyak dikerjain oleh Mas Gala sebelumnya, jadi jika ada hal-hal yang tidak bisa masuk di akalnya Lara tak akan mempercayai Mas Gala. Lara lupa bahwa saat ini Mas Gala adalah kekasih dan dia sudah mulai mengurangi keusilannya karena hal ini.“Yee Mas mana tahu sebelumnya kalau zodiak kamu Taurus sebelum kamu nyerocos sendiri nuduh Mas yang nggak nggak.” Sanggah Mas Gala.“Dari Kak Liza, mungkin.” Tuding Lara yang masih tak menyerah.“Ngapain nanyain zodiak orang lain dari Liza, zodiak Liza aja mas nggak tahu.” Ujar Mas Gala.Lara terdiam sejenak, dia mulai berpiki