“Halo, Mas.” Ucap Lara setelah teleponnya di terima oleh Mas Gala.“Halo, sayang.” Jawab Mas Gala, “Mas udah ada di kantor.” Lanjutnya.“Iya, Mas.” Ucap Lara, “Kenapa tadi nelpon?” Lanjutnya bertanya.“Nggak apa-apa sayang, cuma kangen aja.” Jawab Mas Gala, “Tadi pas bangun tidur rasanya kangen kamu, kangen yang banget banget.” Lanjutnya.“Bisa aja.” Gumam Lara disertai dengan deraian tawa karena mengira yang diucapkan Mas Gala hanya gombalan konyol semata.“Eh, kok ketawa.” Protes Mas Gala. “Mas serius loh ini.” Lanjutnya.“Iya, iya, Mas. Lara percaya kok.” Ujar Lara, sisa tawanya masih ada.“Mas serius, Ra.” Ucap Mas Gala terjeda. “Rasanya kangen banget dan ingin ketemu kamu saat itu juga. Mungkin karena habis mimpiin kamu.” Lanjutnya.“Mimpiin aku?” Tanya Lara.“Iya.”“Mimpi apa, Mas?”“Lara nggak usah tahu, ya.” Ujar Mas Gala.“Loh kok nggak usah tahu.”“Soalnya Mas juga bingung mimpi itu, antara indah atau memalukan.” Ujar Mas Gala, ragu-ragu.Jiwa penasaran dalam diri La
Lara dan Aria terlihat serius dengan obrolan mereka dan sesekali mengunyah makanan yang ada di hadapannya tanpa menghentikan mulutnya berbicara. Karena mulut mereka dipaksa melakukan dua pekerjaan sekaligus; mengunyah dan berbicara, Aria tersedak beberapa kali dan anehnya, Lara tak pernah tersedak meski melakukan hal yang sama. Ekor mata Lara mengikuti gerakan tangan Aria yang hendak mencomot bakwan di keranjang gorengan, setelah sadar pergerakannya diperhatikan oleh Lara, Aria mengurungkan niatnya dan meletakkan kembali bakwan yang sudah dipegangnya.“Ih, jorok banget sih udah dipegang nggak jadi diambil.” Gerutu Lara, “Kasihan tahu orang yang makan bekas tanganmu yang penuh bakteri itu.” Lanjutnya.“Habisnya kamu ngeliatin.” Ucap Aria.“Memangnya kenapa kalau aku ngeliatin?” Tanya Lara, “Kamu mau ngambil terus nggak bayar lagi kayak kemarin?” Tuduhnya.Aria menyeringai sebagai jawaban atas tuduhan Lara. Lara menggeleng-gelengkan kepala karena sudah terlalu lelah dengan sikap buruk s
“Mas mimpi kita bertemu, terus …” Ucap Mas Gala, terjeda.“Apa?” desak Lara.“Kita bercinta.” Jawab Mas Gala dengan menyingkirkan semua keraguan yang ada di dalam benaknya.“Astaga.” Ujar Lara, kemudian menutup mulutnya karena berusaha menahan tawa.“Maaf, Ra. Mas sama sekali nggak bermaksud kurang ajar sama kamu.” Pinta Mas Gala dengan suara memelas.Lara tak kuasa lagi menahan, tawanya meledak-ledak. Entah mengapa membayangkan Mas Gala meminta maaf seakan-akan telah melakukan kesalahan besar, hanya karena sebuah mimpi, itu sangat menggelitik bagi Lara dan membuatnya tertawa terbahak-bahak.“Kok malah ketawa.” Protes Mas Gala yang telah bermenit-menit hanya mendengarkan gelak tawa Lara dari seberang telepon.“Sorry, sorry.” Ucap Lara yang susah payah menghentikan tawanya. “Gimana aku nggak tertawa kalau kamu lucu banget.” Lanjutnya, saat ini tawanya mulai reda.“Ra, are you serious? Lucunya di mana?” Mas Gala masih tidak menemukan letak kelucuan dari sikapnya.“Kamu minta maaf seakan
“Tapi kan sebelum bareng Lara, Mas udah menjalin hubungan sama perempuan lain.” Ujar Lara, “Maksudnya, kalau Mas nggak ngerasa kesepian pas nggak mimpi itu karena ada pasangan harusnya dulu juga Mas nggak ngerasa kesepian.” Lanjutnya.“Iya sih harusnya gitu. Tapi pas Mas sama perempuan itu sama aja. Mas nggak pernah nggak mimpi dan kalau telat sebentar aja Mas udah ngerasa kangen dan sepi.” Jelas Mas Gala.“Unik, ya.” Gumam Lara lalu tertawa kecil.“Iya, padahal bukannya Mas nggak sayang sama perempuan itu dulu. Tapi rasanya nggak ada yang spesial aja dari dia.” Ucap Mas Gala.Lara tak berani mengambil kesimpulan sepihak. Meskipun puzzle itu semakin nampak jelas jika disusunannya diarahkan kepada dirinya, antara mimpi itu dan Lara ada hubungannya. Tetapi Mas Gala tidak mengeluarkan pendapatnya mengenai kaitan antara Lara dan mimpinya yang berulang. Lara pun mengurung niatnya untuk mengutarakan sesuatu.“Ra?” Ucap Mas Gala setelah menyadari Lara sedari tadi hanya terdiam.“Iya, M
“Kebanyakan orang pinter emang gitu sih.” Ucap Lara, “Mereka nggak sadar kalau merekaa itu pinter, jadi ngerasa biasa aja. Mereka menganggap kepintaran mereka itu sama seperti yang kebanyakan orang miliki.” Lanjutnya.“Emang iya?” Tanya Mas Gala.“Iya lah.” Jawab Lara, “Beda sama orang yang harus usaha keras dulu buat jadi pinter.” Lanjutnya.“Tapi semua orang pinter, Ra. Sesuai kemampuan masing-masing, ada yang pinter olahraga, ada yang pinter matematika, ada yang jago bahasa dan sebagainya.” Ujar Mas Gala.“Iya, bener. Tapi kamu jangan lupa gimana sistem pendidikan di sekolah negara kita, Mas.” Ucap Lara.Mas Gala menyunggingkan senyuman di bibirnya. Ucapan sederhana Lara mengenai ukuran kepintaran di negara ini membuatnya kagum pada gadis itu. Mas Gala memang mengenal Lara sebagai pribadi yang memilki kepekaan sosial tinggi terutama pada anak-anak dan pendidikan. Mas Gala mengingat salah satu percakapan mereka, jauh saat mereka tidak memilki pikiran untuk saling jatuh cinta s
“Atau jangan-jangan Mas Gala ikut-ikutan zodiak aku lagi!” cibir Lara.“Hey hey, yang lahir duluan Mas atau kamu sih?” Tanya Mas Gala.“Ya emang duluan Mas Gala.” Jawab Lara, “Tapi bisa aja zodiak Mas bukan Taurus, karena tahu aku Taurus jadi ikut-ikutan buat ngerjain aku kan?” Lanjutnya.Lara terus menuding hal yang sama sekali tidak pernah Mas Gala lakukan. Hal ini dilakukan Lara bukan tanpa alasan. Gadis itu cukup banyak dikerjain oleh Mas Gala sebelumnya, jadi jika ada hal-hal yang tidak bisa masuk di akalnya Lara tak akan mempercayai Mas Gala. Lara lupa bahwa saat ini Mas Gala adalah kekasih dan dia sudah mulai mengurangi keusilannya karena hal ini.“Yee Mas mana tahu sebelumnya kalau zodiak kamu Taurus sebelum kamu nyerocos sendiri nuduh Mas yang nggak nggak.” Sanggah Mas Gala.“Dari Kak Liza, mungkin.” Tuding Lara yang masih tak menyerah.“Ngapain nanyain zodiak orang lain dari Liza, zodiak Liza aja mas nggak tahu.” Ujar Mas Gala.Lara terdiam sejenak, dia mulai berpiki
Lara membuang pandangannya ke jendela bus, gerimis mulai berjatuhan ingin menimpanya tetapi terhalang oleh kaca. Rintik demi rintik memenuhi kaca bus itu. Kata-kata dari Mas Gala mulai terputar kembali di kepala Lara, bagaimana mungkin dia bisa menjelajah nusantara dalam keadaan yang seperti ini? Lockdown! Keluar dari rumah saja akan dilarang. Rasa kecewa mulai menggelayuti Lara. Bayangan pertemuannya dengan Mas Gala yang terangkai begitu indah di dalam kepala seketika runtuh setelah berita mengabarkan segerombolan virus berbahaya dengan penyebaran yang sangat cepat sudah masuk ke negaranya dan membuat semua orang harus terkurung jika ingin selamat.Entah mengapa seolah kebahagiaan yang dirasa sangat hebat itu hanya bertahan sebentar saja. Semuanya berganti menjadi kekecewaan yang memuncak. Lara ingin marah, tangannya mengepal, matanya berembun. Entah dia harus marah kepada siapa, kepada waktukah? Kepada takdirkah? Atau kepada jarak? Tapi yang pasti Lara tidak mungkin marah kepada Ma
“Pengecut!” Gertak seseorang dan setelah itu Lara tidak jadi mendapatkan hantaman dari payung milik Gaga itu.Lara sangat mengenal suara itu, suara milik seorang pemuda yang memilki kepribadian selembut suaranya. Pemuda yang bertahun-tahun naksir dirinya. Pemuda yang pernah dia tolak mentah-mentah cintanya.“Bentara …” Gumam Lara, nyaris berbisik karena memang dia sedang berbicara pada dirinya sendiri.Bentara dan Gaga kini saling menghajar satu sama lain dan Lara tidak tahu apa yang harus dilakukan selain berteriak seraya melerai mereka berdua. Orang-orang mulai berdatangan untuk membantu Lara memisahkan dua pemuda yang saling membalas hantaman itu. Gaga segera pergi meninggalkan tempat itu setelah dua orang pria menhan tubuhnya.“Urusan kita belum selesai, ya!” kecamnya, lalu berjalan meninggalkan kerumunan.“B*nci lo. Makanya jangan berani sama perempuan.” Timpal Bentara tak terlihat ada ketakutan sama sekali di wajahnya yang dipenuhi lebam-lebam itu.Satu persatu orang-oran