“Atau jangan-jangan Mas Gala ikut-ikutan zodiak aku lagi!” cibir Lara.“Hey hey, yang lahir duluan Mas atau kamu sih?” Tanya Mas Gala.“Ya emang duluan Mas Gala.” Jawab Lara, “Tapi bisa aja zodiak Mas bukan Taurus, karena tahu aku Taurus jadi ikut-ikutan buat ngerjain aku kan?” Lanjutnya.Lara terus menuding hal yang sama sekali tidak pernah Mas Gala lakukan. Hal ini dilakukan Lara bukan tanpa alasan. Gadis itu cukup banyak dikerjain oleh Mas Gala sebelumnya, jadi jika ada hal-hal yang tidak bisa masuk di akalnya Lara tak akan mempercayai Mas Gala. Lara lupa bahwa saat ini Mas Gala adalah kekasih dan dia sudah mulai mengurangi keusilannya karena hal ini.“Yee Mas mana tahu sebelumnya kalau zodiak kamu Taurus sebelum kamu nyerocos sendiri nuduh Mas yang nggak nggak.” Sanggah Mas Gala.“Dari Kak Liza, mungkin.” Tuding Lara yang masih tak menyerah.“Ngapain nanyain zodiak orang lain dari Liza, zodiak Liza aja mas nggak tahu.” Ujar Mas Gala.Lara terdiam sejenak, dia mulai berpiki
Lara membuang pandangannya ke jendela bus, gerimis mulai berjatuhan ingin menimpanya tetapi terhalang oleh kaca. Rintik demi rintik memenuhi kaca bus itu. Kata-kata dari Mas Gala mulai terputar kembali di kepala Lara, bagaimana mungkin dia bisa menjelajah nusantara dalam keadaan yang seperti ini? Lockdown! Keluar dari rumah saja akan dilarang. Rasa kecewa mulai menggelayuti Lara. Bayangan pertemuannya dengan Mas Gala yang terangkai begitu indah di dalam kepala seketika runtuh setelah berita mengabarkan segerombolan virus berbahaya dengan penyebaran yang sangat cepat sudah masuk ke negaranya dan membuat semua orang harus terkurung jika ingin selamat.Entah mengapa seolah kebahagiaan yang dirasa sangat hebat itu hanya bertahan sebentar saja. Semuanya berganti menjadi kekecewaan yang memuncak. Lara ingin marah, tangannya mengepal, matanya berembun. Entah dia harus marah kepada siapa, kepada waktukah? Kepada takdirkah? Atau kepada jarak? Tapi yang pasti Lara tidak mungkin marah kepada Ma
“Pengecut!” Gertak seseorang dan setelah itu Lara tidak jadi mendapatkan hantaman dari payung milik Gaga itu.Lara sangat mengenal suara itu, suara milik seorang pemuda yang memilki kepribadian selembut suaranya. Pemuda yang bertahun-tahun naksir dirinya. Pemuda yang pernah dia tolak mentah-mentah cintanya.“Bentara …” Gumam Lara, nyaris berbisik karena memang dia sedang berbicara pada dirinya sendiri.Bentara dan Gaga kini saling menghajar satu sama lain dan Lara tidak tahu apa yang harus dilakukan selain berteriak seraya melerai mereka berdua. Orang-orang mulai berdatangan untuk membantu Lara memisahkan dua pemuda yang saling membalas hantaman itu. Gaga segera pergi meninggalkan tempat itu setelah dua orang pria menhan tubuhnya.“Urusan kita belum selesai, ya!” kecamnya, lalu berjalan meninggalkan kerumunan.“B*nci lo. Makanya jangan berani sama perempuan.” Timpal Bentara tak terlihat ada ketakutan sama sekali di wajahnya yang dipenuhi lebam-lebam itu.Satu persatu orang-oran
Lara tetap terdiam di dalam kos itu, dia memasang pendengarannya dengan baik agar tidak terlewat pembicaraan antara Anggi, Aria dan Bentara di luar.“Berantem sama siapa, Ben?” Tanya Aria, masih dengan acting tidak tahunya.“Nggak tau sama siapa tadi. Begal kali, soalnya dia tadi mau pukul cewek gitu.” Jawab Bentara.Anggi mulai membersihkan luka-luka di wajah dan siku Bentara dengan air hangat, lalu mengopres lebamnya dan membaluri semua luka itu dengan obat merah. Gadis itu terlihat sangat berhati-hati, meski sesekali Bentara masih mengaduh kesakitan, terlihat jelas bahwa Anggi begitu tulis menyayangi teman laki-lakinya itu.“Siapa ceweknya?” Tanya Aria.Lara mendengus kesal mendengar pertanyaan Aria yang berusaha memancing Bentara untuk bercerita yang sebenarnya. Sudah bagus Bentara tak mau melibatkannya, tetapi Aria justru bertanya seperti itu.“Ada, mahasiswi di kampus.” Jawab Bentara, “Nggak kenal.” Lanjutnya.Lara menghela napas lega karena Bentara tidak ingin menyangkut p
“Eh, Nggi.” Ucap Bentara, dia menoleh ke arah gadis yang memanggilnya itu, “Mau balik.” Lanjutnya menjawab pertanyaan Anggi, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke Lara, namun Lara tak lagi terlihat.“Tunggu dulu.” Tahan Anggi.“Kenapa?” Tanya Bentara.“Aku khawatir kalau kamu harus pulang sendirian, Ben.” Jawab Anggi. “Kamu pulang sama Sen atau Ferdy, ya. biar aku telepon mereka.” Lanjutnya.“Ih, jangan. Ngapain.” Ucap Bentara.“Ya, aku takut, Ben. Aku takut kalau-kalau di jalan nanti kamu ketemu orang itu lagi.” Jelas Anggi.“Nggak apa-apa, Nggi.” Ujar Bentara, “Nggak usah terlalu khawatirin aku, aku cowok. Aku bisa jaga diri aku sendiri.” Lanjutnya.“Kamu babak belur gitu, itu yang namanya bisa jaga diri?” timpal Anggi.“Nggi, please stop.” Gumam Bentara, “Aku capek, mau balik sekarang juga. Nggak usah nyiptain ketakutan berlebihan di kepala kamu sendiri.” Lanjutnya.Setelah itu Bentara melangkah pergi. Anggi hanya memandangnya tanpa mampu berkata-kata lagi. Lagi pula, apa lagi y
Lara hanya dapat tersenyum. Meski ucapan Mas Gala terdengar bagai gombalan yang sangat klise, tetapi itu tetap berhasil membuat wajahnya memerah. Lara berusaha mencari topic pembicaraan lain agar dia bisa menyamarkan kesalahtingkahannya. Perlahan-lahan Lara mengangkat wajahnya dan menatap layar ponsel, Lara langsung disuguhkan oleh dua pasang mata cokelat yang sangat membuatnya terpesona.“Mas Gala?” Lontarnya.“Ya, sayang cantiknya Mas?” Ujar Mas Gala.Lara tergelak mendengar ucapan bucin yang kembali keluar dari mulut Mas Gala.“Kenapa mata Mas Gala cokelat?” Tanya Lara.“Semua mata orang di negara ini kan cokelat, Ra.” Jawab Mas Gala.“Masa sih, mataku enggak.” Ucap Lara.“Coba kamu litany dibawah sinar yang terang.”“Tapi mata Mas Gala walaupun nggak di bawah sinar yang terang, tetap cokelat. Cokelat jelas banget.” Ujar Lara.“Berarti mata Mas Gala cuma lebih terang aja dari yang lain. Keturunan kali, karena mata Ibu juga kayak gini warnanya.” Jelas Mas Gala.“Oh, ya?”“Iya.”“Kat
Setelah sistem lockdown di terapkan oleh pemerintah, semua warga (harusnya) menjalankan aktivitasnya di rumah. Tetapi sangat banyak masyarakat yang berontang mengecam sistem kerangkeng itu. Sangat banyak pekerjaan yang tidak mungkin bisa dijalankan jika hanya di rumah saja. Mungkin para pegawai tidak akan terlalu mempermasalahkan, karena pekerjaan mereka bisa dikerjakan di mana saja, asalkan terhubung dengan jaringan internet. Namun bagaimana dengan para pedagang kaki lima pinggir jalan? Mereka masih berusaha keras mencuri-curi kesempatan untuk berjualan dan semakin kerap dikejar-kejar petugas. Para buruh pabrik terkena PHK besar-besaran, sedangkan mereka harus memberikan ponsel pada anak-anaknya untuk belajar online. Masih banyak lagi profesi yang terancam dihilangkan sementara, entah sampai kapan pandemi ini berakhir. Masih banyak nyawa yang terancam, tingkat bunuh diri menjadi tertinggi pada enam bulan terakhir, semenjak sistem lockdown diberlakukan.Pemerintah seakan terjebak disi
“Lara harus mau juga Mas kasih sesuatu.” Ucap Mas Gala.Terdengar dari seberang telepon Lara tertawa kecil.“Okay, deal.” Balas Lara.“Udah larut malam, Ra. Tidur, ya?” Ucap Mas Gala, “walaupun besok nggak kemana-mana tapi kan tetap banyak yang harus dikerjakan.” Lanjutnya.“Iya, baik, Mas.” Jawab Lara, “Mas Gala juga tidur, ya.” Lanjutnya.“Mas nanti sayang.”“Nanti kapan?”“Nggak tahu kapan, sengantuknya aja.”“Mas Gala selalu gitu.” Dengus Lara yang kesal.“Gitu gimana, Ra?” Tanya Mas Gala.“Nggak pernah peduliin kesehatan.” Jawab Lara.Mas Gala tertawa kecil di seberang telepon.“Iya deh, sayang.” Ucapnya, “Mas coba tidur, ya.” Lanjutnya.“Gitu dong sekali-kali dengerin Lara.” Lontar Lara.“Iya, iya bawel. Jangan marah lagi, ya?”“Iya, Mas.”“Kiss me.” Ucap Mas Gala.“Hah? Apa?” Lara tidak percaya dengan apa yang didengarnya.“Good night, Ra.” Jawab Mas Gala dengan jawaban yang tak sebenarnya.“Oh, good night, Mas Gala.” Ujar Lara yang tak ingin memperdebatkannya.Telepon terputu