#117
Dua hari kemudian, setelah kondisinya sudah dinyatakan stabil oleh dokter. Tasya sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Mau tak mau dirinya harus mulai menerima takdirnya.Tasya tak dapat bersembunyi, maupun menyembunyikan segala aib yang telah diciptakan akibat kebodohannya sendiri. Ia tak menyalahkan siapa pun. Dan hanya menyalahkan dirinya sendiri.Tak diduga saat Tasya serta ibu dan kakaknya sedang berjalan di lorong rumah sakit. Ada suara yang memanggil mereka dari arah belakang."Sya! Tasya, tunggu!"Mereka bertiga pun menoleh ke arah sumber suara, dan terkejut saat melihat dua orang gadis muda yang memanggilnya itu sedang berjalan ke arah mereka."Mona? Rere?" lirih Tasya tak menyangka jika mereka dapat bertemu di sini."Sya, kamu gimana kabarnya?" tanya Rere begitu keduanya sudah berada di dekat rombongan Bu Intan."#118Di sebuah kamar berukuran besar dengan dilengkapi beberapa perabotan mewah. Seorang pemuda tampak sedang kesal dan uring-uringan. Langkahnya mondar-mandir tak karuan. Ia kesal sebab orang tuanya telah mengurungnya selama hampir tiga hari, layaknya burung yang dikurung di dalam sangkar."Sialan! Kalau gini caranya, gue nggak bisa leluasa mengawasi gerak-gerik mereka. Mana ponsel gue disita lagi! Sial!" geramnya sambil mengepalkan tangan, dan memukulkannya ke dinding. Rasanya seolah mati. Ia tak merasakan kesakitan apa pun meskipun tangannya berdarah setelah memukul dinding itu."Ini semua gara-gara Tasya! Kalau saja dia nggak lapor polisi, mungkin gue masih bisa bebas di luaran sana! Nggak kayak sekarang, dikurung kayak tahanan aja! Sumpah, gue mau cekek dia sampai mati dengan tangan gue sendiri," geramnya dengan mata berkilat marah. Ia geram saat mengingat momen di mana dirinya dan kawan-kawannya digerebek atas laporan d
#119"Benar, Angga. Kamu masih hutang banyak penjelasan sama ibu. Sebenarnya apa masalahnya sampai kamu ngusir Aluna, Ga?" Bu Intan segera menimpali pertanyaan Tasya dengan pertanyaan yang sama juga."Hah? Aluna pergi, Bu? Tapi, kenapa? Apa masalahnya, Bang?" tanya Tasya setengah terkejut mendengar pengakuan Bu Intan. Ia menatap Angga penuh rasa penasaran. Ia pikir, baru beberapa hari saja ia tidak di rumah tapi keadaan sudah banyak yang berubah."Iya, waktu kamu menginap di rumah sakit, besoknya ibu tahu dari tetangga sini kalau Aluna pergi dari rumah bawa koper," sahut Bu Intan membenarkan pertanyaan Tasya.'Apa Bang Angga sudah tau ya tentang perselingkuhan Aluna sama papanya Arvin?' duga Tasya dalam hatinya. Namun, ia masih merasa jika itu tidak mungkin. Sebab, hanya dia yang tahu tentang itu."Iya, itu benar, Sya. Tapi, mari kita bahas tentang Aluna nanti, Bu, Sya. Aku masih lelah," u
#120"Ya, tujuan saya kesini awalnya untuk membuat rumah tangga Aluna hancur berantakan, sama seperti apa yang dia lakukan pada rumah tangga orang tuaku."Kedua orang di hadapannya itu tersentak demi mendengar pengakuan mengejutkan dari Syahna. Tiba-tiba saja terbit rasa khawatir di hati mereka. Keduanya takut kalau-kalau Syahna juga memiliki niat jahat kepada mereka."Ka–kamu jangan bercanda!" Bu Intan berkata setengah berteriak."Saya tidak sedang bercanda, Bu. Itu adalah kenyataannya. Tapi … kalian jangan khawatir, kalian tidak masuk dalam rencana balas dendamku," ungkap Syahna. Suaranya yang dingin itu tiba-tiba mulai melunak."Terus? Mau kamu apa sekarang, hah! Apa kamu puas sudah menghancurkan rumah tangga Angga! Dan apa lelaki yang di hotel waktu itu adalah suruhanmu?" Tasya menebak sebuah hal yang sama sekali tak dilakukan oleh Syahna.Syahna menggeleng cepat. "K
'Akhirnya selesai juga,' gumam Laras dalam hatinya. Ia memandang bangga hasil karyanya merangkai bunga-bunga segar untuk dipajang di ruang tamu.Wanita itu meraih ponselnya dari balik saku apron bermotif bunga babybreath yang masih dikenakannya. Mengambil beberapa potret bunga itu dari berbagai sudut. Ada kebanggaan dan kesenangan tersendiri di hati Laras saat melakukan kegiatan menyenangkan itu. Hanya cara itulah yang dapat membantunya mengusir rasa sepi karena belum dikaruniai buah hati meski sudah lima tahun menikah dengan suaminya.Terdengar pintu di depan rumahnya diketuk dari luar. Laras yang mendengarnya segera menyudahi aktivitasnya memandangi rangkaian bunga di dalam vas yang terbuat dari kaca itu. Ia beranjak menuju ke pintu untuk membukakan pintu."Laras! Buka pintunya!" Terdengar sebuah suara yang sangat Laras kenal dari arah luar. Ia sudah dapat menebak jika suara itu adalah ibu mertuanya.Pintu pun terbuka, dan benar saja dugaannya. Bu Intan, ibu mertuanya sudah berdiri
#2 Calon Adik Madu"Jangan-jangan kamu memang nggak mau hamil dan punya anak, Ras. Mengingat profesimu yang seorang biduan itu!" ketus Bu Intan mendelik tajam ke arah menantunya, Laras.Laras hanya menghembuskan napasnya perlahan. Mencoba lebih bersabar dengan umpatan dan makian yang dilontarkan ibu mertuanya. Mereka sudah kembali pulang ke rumah. Tapi, Bu Intan masih saja mengomeli Laras dengan berbagai macam kata-kata yang tak enak didengar."Pokoknya ibu nggak mau tahu, kamu harus bisa cepat hamil, Laras!" oceh Bu Intan tanpa henti. Mengabaikan perasaan Laras yang pasti akan terluka dengan ucapannya itu. Keduanya kini sudah sampai di depan rumah.Angga memang sengaja membangun rumahnya agar berdampingan dengan rumah ibunya. Sebagai anak sulung dia merasa bertanggung jawab atas kehidupan ibu dan adiknya. Apalagi Tasya yang beranjak dewasa, gadis itu harus mendapat perhatian lebih agar tidak terjerumus pergaula
Angga bergeming, lelaki itu justru membuang pandangannya tanpa berniat membela Laras sedikit pun. Ia memang selalu takut melawan dan membantah ibunya. Hingga ia tak dapat melakukan apa pun saat melihat Laras ditampar oleh ibunya."Aku tetap mau bercerai, Mas!" kata Laras seraya terus mengusap pipi yang ditampar tadi. Sakitnya tak seberapa jika dibanding sakit hatinya karena dikhianati suami dan direndahkan oleh mertuanya.Angga membeku di tempatnya. Ia tak mampu menatap sorot mata penuh luka dari Laras. Hatinya menjadi dilema saat ini. Satu sisi, ia tak mau melepaskan Laras begitu saja. Tapi di sisi lain ia juga ingin memiliki Aluna seutuhnya."Ceraikan saja wanita mandul itu, Ga. Nggak berguna! Biduan murahan!" maki Bu Intan menggebu."AKU TIDAK MANDUL!" sentak Laras cepat. Membuat ketiga orang itu kaget dengan suaranya yang mulai meninggi."Aku akan buktikan kalau aku nggak mandul!" ucap
Laras menyeret langkahnya menuju ke rumah peninggalan orang tuanya. Rumah itu letaknya lumayan dekat dengan rumah yang selama ini ditempatinya bersama Angga. Mereka masih bertetangga. Jarak antara rumah Laras dan Angga sekitar delapan rumah.Ia melangkahkan kakinya menuju ke kamarnya lantas segera merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur. Meskipun rumah ini jarang ditempati olehnya. Akan tetapi, Laras selalu rutin membersihkannya. Setidaknya seminggu sekali karena memang jarak rumah ini dengan tempat tinggalnya hanya berselang delapan rumah. Cukup dekat.Pertengkaran malam ini adalah yang terparah dari sekian kali pertengkarannya dengan Angga, suaminya. Hingga membuat Laras nekat pergi dari rumah Angga. Orang ketiga sudah ikut campur dalam kisruh rumah tangga mereka. Ia merasa sudah tidak ingin melanjutkan pernikahan mereka lagi.*Angga pulang ke rumahnya setelah mengantarkan Aluna pulang ke tempat kosnya.
Satu jam sebelumnya …."Bang, lihat deh kelakuan istrimu," ucap Tasya mulai menjerat kakaknya dengan fitnah saat Angga datang ke rumah ibunya untuk makan malam sepulang bekerja.Bu Intan sudah tahu jika Laras pergi dari rumah sejak pertengkaran mereka seminggu lalu. Ia malah melarang putranya untuk membujuk Laras agar kembali ke rumah. Wanita itu justru menebar fitnah jika Laras sudah berselingkuh dari putranya. Ia juga mengatakan jika Laras pergi dari rumah karena ketahuan berselingkuh."Emang ada apa, sih?" tanya Angga tampak tidak tertarik dengan apa yang hendak ditunjukkan oleh adiknya."Sini deh, Bang. Lihat ini!" Tasya menyodorkan ponselnya ke arah Angga. Bu Intan yang jiwa penasarannya sudah meronta-ronta pun ikut melihatnya."Kurang ajar!" pekik Angga emosi. Ia mengepalkan tangannya dan rahangnya tampak mengeras."Astaga! Benar 'kan dugaan Ibu selama ini, Ga