Mba Sri sedikit terkejut dengan sikap Bu Dian, tapi ia berusaha tetap menjaga emosinya, "Maaf Bu, kalau kedatangan Saya menganggu, Saya cuma berniat untuk silaturahmi, saya ga mau masalah yang sebenarnya saya juga belum tau apa, menjadi berlarut-larut. Makanya saya datang ke sini, karena saya telepon, Bu Dian juga tidak ada tanggapan." Mba Sri menjeda kalimatnya, "Jadi tolong, Saya mohon jelaskan, ada masalah apa sebenarnya? Kenapa tiba-tiba sikap Bu Dian berubah sama Saya?""Bukannya Mba Sri sendiri juga sudah tau dari Kasman?" Bu Dian melirik Kasman yang duduk di sebelah kirinya. "Jadi benar, Bu Dian marah sama Saya, karena kerjasama baru perusahaan kami dengan klien, yang ternyata sebelumnya adalah klien perusahaannya Bu Dian?"Bu Dian hanya diam, tidak mengiyakan, tapi tidak juga membantah. "Begini ya Bu, soal kerjasama itu, jujur Saya ga tau menau, karena itu adalah urusan suami. Saya juga baru tau dari Kasman kalau ternyata perusahaan kami tidak sengaja telah mengambil klien
"Keluar dari rumah saya, sekarang!" usir Bu Dian masih sambil menangis. "Ga, Bu. Saya ga akan pergi dari rumah ini sebelum urusan kita selesai!" ucap Mba Sri tegas. "Sekarang, Bu Dian bangun, kita bicara baik-baik. Saya yakin, Ibu bisa berpikir jernih dan bisa menilai masalah ini dari berbagai sisi. Ibu harus mendengar juga keterangan dari Saya.""Saya sudah tidak mau berurusan dengan Mba Sri lagi, ga ada yang perlu kita bicarakan! Sekarang Mba Sri pergi dari rumah saya!" Bu Dian tetap dengan keputusannya, ia terlihat masih sangat emosi. Sepertinya Mba Sri datang di saat yang kurang tepat. "Saya lebih percaya dengan apa yang anak saya ceritakan, dan semuanya sudah jelas.""Mas, maaf siapa nama kamu?" tanya Mba Sri kepada sosok pemuda yang sedari tadi hanya berdiri diam di pojok ruangan, ia hanya melihat Ibunya tanpa ada pergerakan untuk membantu. "Gusti, Bu.""Jadi, perusahaannya Gusti yang menurut Bu Dian sudah kami rugikan?" Pemuda itu mengangguk pelan. "Bisa saya lihat laporan k
Pak Bagyo semakin naik darah. "Pak Rifai dan Bu Sri itu ga salah, mereka hanya mencoba menawarkan produk baru dari perusahaannya secara online di market terbuka, dan kebetulan klien kita tertarik, karena merasa produk yang kita kirimkan semakin lama semakin jelek kualitasnya. Tadinya aku malah mau minta bantuan, kok, ke mereka. Eh ini ... Ibu malah ngedarin edaran yang enggak bener tentang mereka." Pak Bagyo yang memang baru saja pulang ke rumah setelah beberapa minggu berada di luar negri merasa kaget setelah mendengar tentang semua hal yang terjadi, termasuk apa yang sudah Bu Dian lakukan. "Sekarang, gimana aku punya muka mau minta bantuan ke mereka? Hah, Ibu ini, udah bikin Bapak malu!" "Maafin Ibu, Pak. Ibu hanya berusaha untuk membantu. Jadi ketika Bapak pulang, Bapak sudah bisa bernapas lega. Ibu berpikir ini adalah salah satu tindakan yang tepat untuk memberi pelajaran ke mereka.""Tapi, pelajaran apa yang ingin Ibu berikan sama mereka? Kan, mereka ga salah, Bu. Masa pedagang
"Gusti!! Bicara yang benar, Kamu!" hardik Pak Bagyo marah. Gusti bukannya menjawab, malah terus menunduk, ia semakin ketakutan setelah dibentak keras oleh bapaknya. "Sudah, Pak. Ayo kita keluar, temui mereka." Bu Dian menarik tangan suaminya. Suasana di luar rumah Bu Dian sudah sangat ramai, para petani sayuran sudah berkumpul sambil membawa bertruk-truk sayuran hasil panen kebun mereka. Mereka menuntut Bu Dian untuk segera membelinya sesuai dengan apa yang pernah Bu Dian janjikan. Mereka juga membawa satu dirigen besar minyak tanah yang akan dipergunakan untuk membakar hasil panen mereka di depan rumah Bu Dian jika Bu Dian tidak segera menepati janji. "Sabar, Bapak-bapak. Saya akan berusaha menepati janji, Saya." ucap Bu Dian setenang mungkin, berkebalikan dengan suasanan hatinya yang juga sangat merasa ketakutan. Pak Bagyo suaminya, juga hanya diam, dan cenderung tak peduli dengan permasalahan yang disebabkan oleh istri dan anaknya. "Jangan janji-janji terus, Bu. Ini sudah ketig
"Minggu depan, Salsa mau pulang ke Indonesia, lho, Mas," ucap Mba Sri saat sedang menikmati makan malam bersama Mas Pai. "Oh, ya? Apa kuliahnya lagi libur? Kok tumben pulang?""Mas, ini, gimana, si. Anak sendiri pulang bukannya seneng, malah dibilang tumben. Kan Aku kangen, Mas, sama Salsa. Udah hampir setahun, ga, ketemu.""Bukannya gitu, Ma. Salsa, kan, emang paling males pulang, kalau ga beneran penting. Udah kerasan jadi bule, kayaknya dia," sahut Mas Pai sambil tertawa. Ia memang paling senang menggoda Mba Sri dengan menggunakan putri bungsu mereka, soalnya Salsa yang justru paling mirip Mba Sri, tapi malah yang paling tidak dekat dengan ibunya. Mba Sri lebih dekat dengan kedua putranya yang lain, sedangkan Salsa lebih dekat dengan ayahnya."Katanya, ia, sedang mengambil tugas akhir dan ia mengambil tema thesisnya tentang sayuran organik, ya udah dia pulang, sekalian ambil data.""Wah, bagus, tu, Ma. Cepetan deh, Salsa lulus, biar kita bisa cepetan istirahat. Nanti Dika yang men
Selamat membaca, jangan lupa subscribe, rate, love dan komennya, ya. Biar aku semangat. Makasi ya, udah mampir. semoga suka.**Setelah pulang dari London, Salsa langsung diminta untuk terjun ke perusahaan sayur organik milik orang tuanya, sembari ia mengumpulkan data yang diperlukan guna keperluan tugas akhirnya. Sedangkan Gusti, setelah masalah yang ia sebabkan di perusahaan orang tuanya kemarin dulu, Pak Bagyo khusus meminta Mba Sri, agar bersedia untuk melatih Gusti dalam hal membuat efisiensi laporan keuangan, sehingga tidak ada lagi pengeluaran tidak penting yang justru menyerap banyak anggaran, agar kejadian yang lalu tidak terulang. "Salsa, ini Gusti, anaknya Bu Dian. Sementara ini ia akan belajar tentang manajemen operasional di perusahaan kita. Karena Mas Dika masih di luar negeri, jadi sementara kamu dulu yang mendampingi Gusti selama di sini, ya," ucap Mba Sri kepada Salsa seraya mengenalkan Gusti. "Baik, Ma. Hai, Mas Gusti! Selamat datang di gudang kami. Silakan aja ka
"Mana?" Kasman melirik arah yang ditunjuk Coki dengan dagunya. "Oh, yang lagi sama Non Salsa?""Iya, Om. Siapa si? Kok kelihatannya mereka akrab banget.""Itu, Mas Gusti, anaknya Bu Dian. Tetangga komplek sini juga.""Oh, Bu Dian yang rumahnya di blok E paling pojok itu? Trus, dia lagi ngapain, Om? Dia kerja di sini juga? Kok, Coki baru lihat.""Dia lagi belajar sama Non Salsa. Udah dulu meratiin Non Salsanya." Kasman memutar balik badan Coki menghadap ke arah lain. "Gimana udah beres semua yang mau kamu kirim? Jangan sampai salah, lho. Kalau sampai ada pelanggan kamu yang komplain, Om, jewer nanti.""Beres, Om. Udah siap, kok. Tinggal berangkat."***"Tante perhatiin, belakangan ini penampilan kamu jadi makin rapi, Cok. Rambut disisir, pake pomade segala lagi, trus wangi banget, gini." Bu Rani memperhatikan penampilan Coki dari atas ke bawah sebelum kemenakannya iti berangkat berkerja."Coki, kan, emang selalu rapi, Tan. Tante aja yang baru merhatiin.""Alah, anak kecil mau bohongin
"Astaghfirullah! Kalian berdua ini apa-apaan! " Kasman tiba-tiba datang di tengah Coki dan Gusti yang sedang bersiteru. Untung saja Kasman datang di saat yang tepat, karena terlambat sedikit saja, Kepalan tangan Gusti sudah mendarat di pipi Coki. "Coki, Gusti, sekarang jelaskan ke Om, kenapa kalian sampai bertengkar?! Bukannya kalian baru saja berkenalan? kalian, kan, bertetangga juga. Bukannya rukun, malah mau berkelahi macam anak kecil!""Dia, tuh, Om. Ngatain Coki kurir!""Lo, tuh, bilang Gue anak mami!"Jawab Coki dan Gusti bersamaan"Lha, Coki kamu, kan, memang kurir, lalu di mana salahnya? Lalu, Gusti, kamu kalau bukan anak mami lalu anak siapa?"Pertanyaan Kasman membuat Gusti semakin meledek Coki. Gantian, kali ini ia yang meletakkan posisi ibu jarinya ke bawah, tapi langsung memasang raut wajah masam setelah Kasman mengajukan pertanyaan yang sama kepadanya. "Memang iya, si. Tapi gara-gara itu, dia jadi merasa lebih berhak buat deketin Salsa, Om! " adu Coki lagi. "Salsa? A