Seperti janji Mami, hari ini Mbak Susi datang untuk membantu mengurus rumah. Mbak Susi itu sudah lama ikut sama Mami, jadi sudah tidak diragukan lagi pekerjaannya. Dia sama seperti Sari. Rajin dan tidak banyak tingkah. Hanya saja Mbak Susi berusia lebih tua dari Mas Erlangga, jadi tidak akan ada lagi drama seperti ketika ada Sari di sini. Lagian Mbak Susi sudah mempunyai anak juga suami, tidak seperti Sari yang masih muda dan belum menikah pula.
"Mbak. Saya mau ke apotek dulu. Nebus obat buat Mas Erlang!" pamitku kepada Mbak Susi seraya mengikat rambut lalu memakai sweater.Danisa sengaja aku ajak supaya dia tidak terlalu kerepotan. Aku juga berniat ke pasar untuk mencari jajanan pasar, karena si jabang bayi sedang ingin menyantap makanan tradisional."Iya, Cik. Hati-hati di jalan. Nggak usah ngebut-ngebut bawa mobilnya. Soalnya Cici Vani lagi hamil!" ucapnya membuatku tertawa.Sepertinya dia merasa trauma karena dulu pernah ikut denganku dan dia***"Kenapa kamu bawa Sari kembali ke rumah, Vani?" tanya Bang Damian ketika kami sedang duduk berdua di teras belakang."Karena aku kasian sama Sari. Dia sedang mengandung dan aku nggak akan membiarkan dia terlunta-lunta sendiri, karena aku sama-sama wanita. Aku juga seorang ibu yang memiliki perasaan. Mana tega aku liat wanita hamil berkeliaran di luar sana tanpa penjagaan serta perlindungan!" jawabku seraya menyesap teh hangat buatan Bang Damian."Apa kamu tidak takut kalau ternyata malah Erlang yang menghamilinya?""Sepertinya tidak. Karen menurut penuturan Sari, pria yang menghamilinya itu mempunyai tatto di paha, sedangkan Mas Erlangga tidak mempunyai tato di tubuhnya!"Bang Damian tersedak teh yang sedang ia minum hingga terbatuk dan wajahnya memerah."Kenapa? Apa jangan-jangan...""Nggak usah berpikir macam-macam lagi kamu sama Abang. Biar kata Abang kamu b*jin*an, tetapi Abang tidak mungkin berani berbuat sekeji
Menekan sebelas digit angka, menghubungi Bang Damian ingin menanyakan keberadaannya sekarang. Tersambung, tetapi tidak ada jawaban dari pria itu.[Abang lagi di mana, sama siapa? Dan apa yang sudah Abang lakukan hari ini?]Segera mengirimkan pesan kepada Abang, karena aku sangat mencurigai kalau memang dialah pelaku tabrak lari yang dialami mertua.[Papa kecelakaan. Dia jadi korban tabrak lari dan aku curiga kalau Abang yang melakukannya.]Centang dua abu-abu, menandakan kalau pesanku belum dibaca. Mungkin Bang Damian sedang sibuk jadi tidak segera membaca pesan dariku. Sebab, biasanya dia paling cepat membaca pesan apa pun yang aku kirim. Tapi, entah mengapa kali ini pesan dariku malah dia abaikan. Bikin tambah curiga saja.Pukul tujuh malam, seperti biasa aku menutup toko dan berniat segera pulang. Besok saja lah, jenguk papa mertuanya, karena badan sudah terasa lelah setelah seharian bekerja. Perut juga sudah terasa begitu lapar, dan anak-anak pasti sudah menungguku di rumah."Bu
"Aku udah kenyang!" ucapku jengkel."Kenyang? Kenyang makan cinta?!" "Bang Dem itu kenapa sih?""Kamu yang kenapa?""Aku udahan makannya, soalnya sudah tidak berselera lagi!" Mendorong piring menjauh, akan tetapi sang pemilik rahang tegas malah menariknya lalu menyuapiku."Aak! Buka mulut!" Dia menyodorkan sesendok nasi di depan mulutku.Aku menggeleng menolak."Buka mulut, Rivani. Kamu harus makan!!" bentaknya seraya menggebrak meja dengan sekuat tenaga. "Makan! Jangan egois. Ingat bayi kamu!" Mata elang milik Bang Damian terus menatap tajam."Aku udah keny...""Makan. Kamu seharian bekerja dan malah menolak untuk makan. Jangan menye-menye jadi perempuan. Hanya karena laki-laki tidak berguna seperti Erlangga saja kamu langsung ngambek, dan tidak mau makan. Liat badan kamu sudah seperti tengkorak hidup. Apa kamu nggak kasihan sama diri kamu sendiri, Vani. Di dunia ini hampir tidak ada orang y
"Kenapa liatinnya begitu, Bang?" tanyaku seraya membalas tatapan pria itu."Kamu cantik, dan Abang suka menatap kamu.""Tapi aku nggak suka diliatin seperti itu, Bang. Abang sadar nggak, sih? Perlakuan Abang sama aku itu terlalu berlebihan dan kadang membuat aku sedikit takut!" ungkapku jujur, siapa tahu setelah ini Bang Damian bisa mengubah sikapnya yang berlebihan itu."Kamu takut sama Abang?" "Iya. Karena Abang itu kaya orang punya kelainan. Abang selalu bilang cinta sama aku. Bahkan sering mencuri-curi kesempatan untuk nyium aku kalau lagi berdua. Inget, Bang. Aku udah besar. Udah dewasa. Kalau dicium sama Abang itu merasa risih sendiri, apalagi tatapan mata Abang menyiratkan cinta yang begitu dalam, dan aku tau itu bukan cinta seorang kakak kepada adiknya. Tapi cinta orang dewasa kepada lawan jenisnya!" cerocosku sambil mengeluarkan sosis dari dalam kulkas, mengupas kulit plastik pembungkusnya dan memotongnya.Lelaki denga
"Sari. Kamu tidak apa-apa 'kan?" tanyaku seraya menghampiri perempuan itu, mengulurkan tangan membantu dia untuk berdiri.Wajah Sari masih terlihat pucat dengan peluh terus saja menyembul dari balik pori-pori.Aku segera merogoh tas dalam-dalam, mengambil botol air mineral yang aku bawa lalu menyodorkannya kepada Sari. "Minum dulu, Sar!" ucapku seraya mengangsurkan botol air tersebut, dan segera diambil oleh asisten rumah tanggaku dengan gemetar."Terima kasih, Bu." Sari Berujar pelan, hampir tidak terdengar."Sar, kenapa kamu takut liat papanya Mas Erlang. Ada apa?" Mengambil tangan Sari, menggengam jemarinya mencoba memberi ketenangan serta kenyamanan. Dari dulu aku memang sudah menganggap dia seperti adikku sendiri."Nggak tau, Bu. Paostur tubuh Pak Ilman, bekas luka di dadanya mengingat saya sama laki-laki yang menodai saya. Dan ketika liat Bapak tiba-tiba bayangan itu berkelebat dalam angan. Saya mendadak takut, Bu. Maaf. Bukannya tidak sopan dan menuduh mertuanya Ibu," katanya
"Kamu kenapa, Van? Kok wajahnya langsung pucet begitu?" Mbak Wiena menatapku dengan mimik bingung."E--enggak, Mbak!" Menelan ludah dengan susah payah. Syok sekaligus tidak percaya kalau ternyata pelaku pelecehan terhadap asisten rumah tanggaku justru malah mertuaku sendiri.Padahal tadinya aku sudah suuzon kepada kakak dan suamiku sendiri. Ternyata malah pelakunya yang tidak disangka-sangka.Aku melungguh lemas di kursi sebelah ranjang. Kutatap wajah lelaki yang tengah tertidur itu, dan rasa benci seketika menelusup dalam hati. 'Kamu sudah mencuri uang toko, dan ternyata kamu juga yang sudah menghamili Sari. Dasar laki-laki laknat. Buaya darat!' umpatku dalam hati, ingin rasanya menarik bantal yang sedang ia pakai untuk alas kepala, membekap mulutnya hingga kehabisan napas dan terbang ke Neraka.Astaghfirullahaladzim...Beristighfar berkali-kali, mengelus dada mencoba untuk sabar menghad
"Kalau masalah jam tangan saya tidak tau, Bu. Bapak itu orang baik. Dia tidak pernah macam-macam kepada saya, dan Bapak juga selalu menjaga jarak jika kami hanya berdua saja di dalam rumah. Insya Allah Bapak suami yang setia, Bu. Bapak itu kan cinta banget sama Ibu!" Aku menghela napas lega mendengar jawaban dari Sari. Sekarang aku semakin yakin kalau Mas Erlangga memang tidak terlibat, dan fiks, penjahatnya adalah papa mertua."Kalau soal lingerie..." Sari melanjutkan kalimatnya, dan aku mendengarkan dengan seksama. " Itu saya beli sendiri karena rencananya saya memang mau menikah. Saya menyimpannya di dalam lemari dan tidak saya bawa ketika saya pergi, sebab saya pikir untuk apa membawa baju seperti itu. Karena pakaian seperti itu kan hanya pantas dipakai di dalam kamar saja!" Aku mengulas senyum lalu mengusap lembut rambut wanita itu."Maaf karena saya sudah berprasangka buruk sama kamu, juga membuat kamu harus pergi dari rumah ini. Waktu itu
Lamat-lamat terdengar suara sang Muadzin mengumandangkan azan subuh. Aku membuka mata perlahan, mengerjap-ngerjap sambil mengumpulkan informasi yang aku bawa dari alam mimpi.Menggeser tangan ke sebelah kanan, Senyum penuh cinta terkembang ketika melihat Mas Erlangga masih terlelap di balik selimut tebal."Mas, bangun. Udah subuh!" Mengusap lembut bahunya, mendaratkan kecupan singkat ketika dia membuka mata sambil menatap dengan rasa bahagia."Kepala Mas pusing, Dek!" ucapnya seraya memijat pelipis."Pusing?" Seketika rasa bersalah menelusup dalam hati, karena sudah terlalu memaksakan diri dan terbilang nekat melakukan semuanya kepada suami."Iya. Sepertinya karena kebanyakan tidur. Tubuh Mas juga berasa capek banget. Lemes!""Ya sudah. Sebaiknya kamu mandi dulu, solat subuh, abis itu bobok lagi. Aku siapkan air hangat ya, Mas!" Mengambil daster yang tergeletak sembarangan, mengenakannya, namun, saat hendak turun dari tempat tidu