Selamat membaca!*****"Aku tidak bisa menyimpulkannya, Mbak Ratna." Arini menunduk dalam, membuatku geram setengah mati."Katakan saja yang sebenarnya!" tuntutku tak sabar, rasanya darah sudah mendidih hingga ke ubun-ubun, Ratna menyentuh tanganku, dia menatapku seakan lewat sorot matanya dia meminta aku tetap tenang.Aku menghela napas berat, bangkit memijit tengkorak yang terasa mau pecah, aku sangat dendam dengan Raya dan siapa saja yang terlibat di dalam rencananya menjahati istriku, itu bertambah parah saat dia dengan tega mengkhianati maafku dan seluruh warga desa."Bicaralah, Arini, katakan yang sanggup kau katakan, Insha Allah kami siap mendengar dan menerimanya." Aku mendengar suara Ratna, lalu berbalik kembali duduk di samping istriku itu.Kemudian, Arini mulai menceritakan semuanya."Malam itu, keluargaku dilanda musibah, ibuku adalah seorang penderita kanker stadium lanjut, operasinya membutuhkan biaya besar, aku bingung dimana akan mendapatkan uang itu karena kami tergol
Selamat membaca!*****"Sekarang katakan! Ke mana kamu mengajak kami?""Sa—saya ... tolong ikut saya, menemui Raya, di—dia sekarat."Kami begitu terkejut mendengar pernyataan perempuan itu. Setelah sekian lama menghilang ... Raya? Kenapa dia tiba-tiba saja membiarkan kami mengetahui keberadaannya?Perempuan itu bangkit berdiri, menatap kami dengan cucuran air mata."Kamu siapa?" tanya Ratna yang sejak tadi diam."Saya temannya," sahut dia sembari mengusap pelan air mata."Di mana Raya sekarang?" Ratna bertanya lagi."Di rumahku.""Baiklah, kami mau ikut, tapi tak akan lama," ucapku setelah mendapat persetujuan pak lurah dan Ratna, kami menunda perjalanan, akan naik bus untuk keberangkatan selanjutnya.———Bertiga kami mengikuti mobil perempuan itu, kami dibawa ke sebuah rumah yang cukup terpencil dan jauh dari keramaian, begitu tiba kami mendapati dua orang lelaki berbadan sangar berjaga di depan.Baru hendak mengurungkan niat, perempuan itu langsung menjelaskan bahwa dua lelaki itu a
Selamat membaca!*****Tempat baru, suasana baru, aku dan Ratna tiba di rumah yang sudah dicarikan Yanto, kompleks perumahan kalangan menengah.Cukup mewah bagi kami, di sini juga banyak tetangga yang ramah-ramah sejak kami datang, kali ini aku yakin istriku betah.Jarak tempuh dari rumah ini ke tempat kerja hanya lima belas menit saja, aku akan berangkat kerja pakai motor. Sedangkan Ratna sudah aku belikan motor second yang masih bagus, dia bisa jalan-jalan kalau bosan, atau membeli keperluan menggunakan motor itu.Mengenai Arini, warga desa sudah mencabut tuntutan pada gadis itu, dia berterima kasih pada kami, juga meminta maaf sebesarnya. Kita berdua memaafkannya, dan ini lah hasil dari pemaafan kami, aku dan Ratna dianugerahi ketenangan luar biasa.Pengalaman pahit yang dulu akan tetap teringat, kami hanya akan menengok ke belakang sesekali, untuk mengambil pelajaran, selain itu kami akan terus membangun hidup baru di sini.Semoga Allah meridhai dan menjauhkan dari segala mara b
"Astagfirullah!" Aku terjungkal ke belakang, tubuh ini nyaris jatuh dari tempat tidur, h*srat yang tadinya menggebu pun hilang seketika, kejadian dua bulan sebelumnya terulang kembali."Kenapa, Bang?" tanya istriku. Masih gementar aku merangkak kembali mendekati, menyibak selimut yang kini menutupi tubuh polosnya, dan lagi, aku dikejutkan dengan hewan melata yang melongok dari liang surga istriku.Musibah apa ini ya Allah? Aku tidak salah lihat, itu benar-benar ular! Istriku Ratna bangkit, ia menatap heran padaku. Wajar, saat itu aku tidak memberi tahunya. Bukan tanpa sebab, aku takut perasaannya terluka, hingga akhirnya berbohong bahwa aku harus tidur cepat malam itu dengan alasan akan terlambat berangkat kerja."Abang kenapa?" tanyanya dengan wajah bingung."It—u, Dek. Ular—""Aaargh!" teriaknya seraya melompat turun dari ranjang."Mana, Bang? Mana ularnya!" dia memekik ketakutan seraya berjingkat-jingkat, aku memperhatikan sekitar, tidak ada hewan itu di mana pun, bahkan di k*m*lu
Malam itu aku tidur dengan pikiran tak menentu, netra ini masih terbuka hingga dini hari, aku menarik Ratna dalam pelukan, merebahkan kepalanya di dadaku, isak kecilnya sesekali tertangkap rungu.Kuelus pelan pucuk kepala istriku, menyalurkan kekuatan agar dia tak merasa sendirian, aku ingin dia tahu kalau suaminya ini masih bersamanya."Tidurlah, Dek! Jangan terlalu dipikirkan, kita akan mencari jalan keluarnya bersama-sama, berdoalah pada Allah, semoga kita selalu dalam lindungan-Nya." Pungkasku malam itu, tak lama kemudian, isak itu berangsur menghilang, Ratnaku terlelap, tetapi tidak denganku.Masih banyak hal yang memaksa kelopak mata ini sukar terpejam, aku harus memikirkan bagaimana langkah selanjutnya dari masalah ini, terutama tentang finansial.Memang uang yang kudapat sudah cukup mendukung jika keputusan berhenti kerja harus diambil, tidak mungkin aku mengabaikan Ratna, melepasnya mencari penawar sendiri, uang tidak ada artinya jika petaka ini terus berlanjut, kita berdua a
Tajam Pak Kusno menatap kami, telunjuknya mengacung di depan wajah Ratna."Kau ... sudah terjamah iblis!" serunya dengan netra melotot pada istriku, semburat serupa benang merah nan bercabang memenuhi mata putihnya. Ratna meraba tanganku, sementara tangan yang lain membekap mulut sendiri, wajahnya pias."Maaf, Pak. Maksud Pak Kusno terjamah iblis bagaimana?" tanyaku mengalihkan tatapan tajam pria paruh baya itu, semata agar Ratna tak terlalu tertekan dan semakin takut."Dalam tubuhnya telah bersemayam iblis berupa ular betina, dia ingin kalian fana!" terangnya dengan netra menyalang, aku menggeleng, menoleh pada istriku yang kini wajahnya basah dengan air mata."Pak, apakah Andini istri Senopati dulu mengalami hal yang sama?" tanyaku menyelidik. Pak Kusno mengangguk cepat, tegas dan tampak begitu yakin."Tapi ... Nak Anggara tak perlu risau, bapak tau sakit istrimu masih baru, iya 'kan?" tanyanya menatap Ratna dan aku bergantian."Sebenarnya, sudah dua bulan, Pak." Aku menunduk, meras
"Temani aku mandi, Bang!" ucapnya mendayu, belum sempat aku berkata, tangannya yang dingin menarikku masuk.Kedua netranya yang biasanya sayu kini berubah tajam, dia begitu agresif meraba wajah dan dadaku, aku seperti tak mengenalinya, entah ke mana perginya istriku yang pemalu, dia tak pernah memulai jika aku tak mengajak duluan."Ratna?" panggilku, dia membeliak, lalu kembali tersenyum lebih lebar."Aku menginginkanmu, pujaanku ...." ucapnya manja, aku terpancing dengan rayunya, tetapi kesadaran langsung memenuhi ruang waras pikiranku. Ratna sedang sakit, kami tidak mungkin melakukannya."Ratna, berhenti! Sadarlah!" seruku saat dia hampir menanggalkan seluruh pakaianku."Argh!" Dia memekik seakan begitu marah aku membentaknya, aku hendak maju membujuknya seperti biasa, aku ingin memberinya pengertian agar ia tak berpikir macam-macam, aku juga menginginkan ini tapi keadaan kami tak mendukung."Ratna ... Sayang—""Bang! Abang di dalam?" Suara bersamaan dengan ketukan pintu membuatku s
Perlahan aku melangkah semakin dekat, kulongokkan kepala dalam bak mandi yang tengah diisi air itu, dan hatiku seakan mengembang, napas terembus lega saat tak mendapati apa pun di dalamnya, hanya ada busa air karena tengah mengalir deras.Ratna masih tampak ketakutan saat aku menoleh padanya, tubuhnya sampai menggigil dengan kuku jemari tangan digigitinya, aku mendekat."Sayang, nggak ada apa-apa," ucapku, Ratna terbeliak keheranan, sejurus kemudian menggeleng cepat, seperti tak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan."Nggak mungkin, Bang! Tadi aku lihat sendiri, bak mandi itu penuh dengan ular!" pekiknya histeris, aku mendekap Ratna sembari mengusap pelan rambutnya."Itu hanya halusinasi kamu saja, Dek. Udah, sana mandi dulu!" titahku meski pun yakin istriku itu tidak sedang berhalusinasi, aku percaya sebab tadi aku juga mengalami hal yang hampir serupa, iblis itu ... sepertinya akan terus meneror kami.Ratna menggeleng, "Enggak, Bang! Aku nggak salah lihat!" serunya, ia tetap e