“Sudah ditunggu mas Safir di meja makan, Mbak.”Intan sempat bengong untuk beberapa saat, guna memproses perkataan Imar yang berada di depan kamarnya. Wanita paruh baya itu baru saja mengetuk kamar, dan langsung menyampaikan hal tersebut ketika Intan membuka pintu.“Mau ngapain?” Jika Safir memang ingin bicara dengan Intan, mengapa pria itu tidak datang saja langsung ke kamar? Mengapa harus menyuruh Imar menghampiri Intan seperti sekarang.“Makan sore katanya, Mbak.”“Makan sore?” Sikap Safir semakin terasa aneh saja. “Siapa yang mau makan sore, Bu?”Imar menggaruk kepala bagian belakangnya. Memang terasa aneh, karena Safir tidak pernah bersikap seperti ini. Bila pria itu mau makan, Safir akan makan dengan mengambil semuanya seorang diri. Hanya jika ada Imar di dapur, barulah Safir minta untuk di siapkan segala sesuatunya. Namun, tidak demikian dengan sore ini. “Mas Safir sama Mbak Intan.”“Orang itu salah makan, apa, ya?” Intan keluar dan menutup pintu kamarnya. Ia berjalan bersama I
“Gimana kandungan Intan, Fir?” Setelah bertanya, Retno menyuapkan makanan ke mulutnya dan mengunyah dengan perlahan. Karena acara kunjungan dengan Ario selesai lebih awal, maka mereka memutuskan untuk mengajak kedua putranya makan siang di restoran yang berada tidak jauh dari kantor.“Nanti malam mau periksa lagi.” Setiap memikirkan Intan, atau membicarakan gadis itu, Safir selalu saja menjadi gusar. Sampai detik ini, Safir juga tidak bisa memberi jawaban pasti, mengenai hubungan mereka sebenarnya.Safir masih terlampau kesal pada Intan, karena telah bersikap ceroboh. Safir yang belum siap memiliki anak, akhirnya harus terjebak dalam pernikahan yang juga tidak diinginkannya. Mungkin, jika wanita yang ceroboh dan hamil itu adalah Biya, sikap Safir pastinya tidak akan seperti ini karena wanita itu berasal dari status sosial yang sama.Sementara Intan? Selain fisiknya yang tidak bisa terelakkan, di luar itu Intan bukanlah gadis impian Safir sama sekali.Kali ini, Safir benar-benar kena b
Berdamai? Intan skeptis jika harus memikirkan hal tersebut. Bukan Intan yang tidak mau berdamai, tetapi, Safir masih saja bersikap tidak menyenangkan, meskipun pria itu sempat memberi perhatian kepadanya. Perasaan Intan sampai terombang ambing tidak jelas, karena tidak bisa menentukan sikap. “Kenapa belum tidur?” Bak ketahuan sedang melakukan kesalahan, Intan segera meletakkan ponselnya begitu saja di tempat tidur. Safir yang masuk kamar tanpa mengetuk, jelas membuat jantung Intan sontak berdetak tidak karuan. “Ketok pintu dulu, Mas.” “Buat apa?” Safir mematikan lampu kamar, lalu berbaring di samping Intan. Karena titah dari Retno, akhirnya Safir malam ini kembali tidur satu kamar dengan Intan. “Rumah ini, rumahku. Jadi terserah aku.” Intan yang masih duduk bersandar pada kepala ranjang, dengan cepat meletakkan guling di tengah tempat tidur. Selama Safir tidak memberinya kejelasan apa pun, Intan akan tetap memasang pembatas di antara mereka. “Buruan tidur,” titah Safir melihat In
Seperti mimpi. Intan tidak pernah menduga, jika ia akan kembali menyatukan bibirnya dengan Safir. Begitu manis dan penuh kelembutan. Sama seperti dahulu kala, ketika badai belum menghampiri hubungan mereka berdua.Tidak hanya bibir, tetapi tangan Safir mulai menyentuh kulit Intan dengan perlahan dan pasti.“Mas …” Sejenak, Intan tidak membalas ciuman Safir yang terasa semakin panas. Napasnya memburu, dengan debaran jantung yang berdegup kencang. Sekali lagi, ini semua seperti mimpi. “I-ini, ruang tamu.”Mendengar hal tersebut, Safir langsung tersadar dan mengumpat. Semuanya sudah begitu pas dan mendukung, tetapi ucapan Intan langsung membuyarkan semuanya. Namun, kepala Safir sudah terlanjur pening, dan ada sesuatu yang juga sudah bergejolak di bawah sana. Di saat seperti ini, mana mungkin Safir bisa menghentikan kegiatan mereka yang semakin memanas itu?“Kita pindah.” Safir beranjak dari sofa terlebih dahulu, sejurus itu ia segera mengangkat tubuh Intan tanpa membutuhkan effort yang b
“Serius, mereka sudah begitu-begitu?” Lintang memburu Raga, setelah meletakkan Mana di karpet busa yang berada di lantai kamar mereka. Ia tidak perlu khawatir Mana akan jatuh, karena berguling-guling ke sana kemari. “Begitu-begitu gimana?” Raga mentertawakan istilah yang diucapkan sang istri. Sambil melepas dasi dan duduk di sudut tempat tidur, Raga memperhatikan Mana yang semakin hari semakin tidak bisa dilarang. Jangan-jangan, sifat keras kepala Lintang menurun pada putra keduanya itu. “Yang jelas kalau ngomong, Ma.” “Jangan pura-pura nggak tahu.” Lintang berdiri tepat di hadapan Raga, lalu menyingkirkan tangan sang suami yang tengah membuka dasi. Ia mengambil alih pekerjaan tersebut, dan kembali mengungkapkan rasa penasarannya. “Jadi, jawab pertanyaanku tadi. Mereka udah baikan, kan?” “Sudah.” Raga meraih pinggul Lintang, lalu menjatuhkan kecupan pada perut yang mulai membesar itu. Setelah itu, Raga mengusap-usapnya dengan perlahan dan penuh kasih sayang. “Aku sudah nggak sabar m
Bangun dan tidak melihat Intan di sisinya, Safir segera beranjak menuju kamar mandi. Tidak menemukan Intan di sana, Safir lantas melihat jam dinding dan jarum jam masih menunjukkan pukul lima pagi. Namun, mengapa sepagi ini Intan sudah beranjak dari tempat tidur?“Tan,” panggil Safir setelah membuka pintu kamar, dan beranjak keluar mencari sang istri. “Intan.”“Dapur, Mas.” Baru mendengar suaranya saja, jantung Intan kembali jumpalitan. Bagaimana bia Safir berdiri di sampingnya? Intan pasti akan kembali gugup, menghadapi Safir yang manis, tetapi masih bertahan dengan gengsi dan egonya itu.“Ngapain?” Melihat Intan berdiri di depan kompor dan seperti sedang mengaduk sesuatu, Safir lantas menghampiri dengan cepat. “Nasi goreng? Kamu masak nasi goreng?”Intan mengangguk, sembari menarik napas panjang agar kegugupannya tidak terlihat. “Kan, bu Imar pulang dari semalam, terus ada sisa nasi. Makanya aku goreng aja.”“Aku sudah minta bu Idha masak di rumah.” Safir lupa mengatakan hal ini pad
“Duduk sini.” Safir melirik pada sisi kosong di sampingnya, sembari mengeluarkan ponsel. Selagi menunggu Intan menghampiri, ia membuka sebuah marketplace dan mencari sesuatu. Setelah mendapatkan yang dicarinya, Safir bersandar lalu memberikan ponselnya pada Intan yang baru saja duduk di ujung sofa. Gadis itu tidak duduk tepat di samping Safir, seperti yang ia perintahkan. “Pilih yang kamu suka.” Begitu ponsel Safir ada di tangan. Intan ternganga dan debaran jantungnya kembali bertalu. Bagaimana tidak, bila foto yang dilihatnya saat ini adalah, foto lingerie dan pakaian dalam dengan berbagai macam model. “I-ini.” Intan menelan ludah. Tidak bisa membayangkan, bila tubuhnya yang tengah hamil mengenakan pakaian seperti itu. Ada rasa tidak percaya diri, jika harus menunjukkan tubuhnya dengan kondisi seperti sekarang di depan Safir. “Ma-Mas Safir, mau aku … pake ini?” “Iyalah.” Safir menghabiskan jarak dengan Intan. “Kamu nggak pernah punya, kan? Dan nggak pernah make juga di depanku, kan
“Harusnya, kalian itu lebih sering jalan-jalan begini.” Lintang memberi senyum lebarnya pada Raga, setelah mendengar perkataan Retno. Ia mengangguk setuju 100 persen akan hal tersebut, karena liburan di luar rumah bisa membuat otak Lintang lebih segar. Sebagai ibu rumah tangga, sekaligus mompreneur yang hanya berkutat di rumah, Lintang pasti membutuhkan adanya refreshing setiap akhir pekan. Ya, seperti sekarang ini. “Rencananya memang begitu, Bu.” Bahagia rasanya melihat Retno ada untuk mendukungnya. “Minggu depan kami ada rencana mau jalan-jalan lagi.” “Ngidamnya anak kedua begitu, itu, Ma,” sambar Raga menyudahi sarapan paginya. “Coba bayangin kalau anakku nanti perempuan, terus …” Detik selanjutnya, Raga mengibas tangannya untuk mengenyahkan sebersit bayangan di kepala. “Dahlah, aku nggak mau nebak-nebak.” Retno dan Ario kompak tertawa kecil, setelah mendengar pemikiran Raga yang sudah membayangkan tentang masa depannya. “Nggak usah terlalu dipikirin,” sahut Retno sembari meman