Share

004 - Berlian Sintetis Yang Cacat

Victor menarik napas dalam-dalam. Lehernya terlihat membengkak menahan amarah dengan frustasi yang memuncak.

  

“Tuntutanmu tidak masuk akal. Kamulah yang harus mengembalikan mahar yang kuberikan padamu sebelum kita menikah. Karena kamulah yang meminta cerai, kamu wajib mengembalikannya kepadaku. Tapi kamu malah tidak memasukkannya ke dalam dokumen-dokumen ini,” bantah Victor.

  

“Kamu ingin bercerai dan berniat mengeruk hartaku? Oke saja! Aku akan segera membawa masalah ini ke pengadilan!”

  

Victor langsung menuju kamarnya. Dia hanya mencuci muka, lalu menelepon untuk memesan taksi.

  

Dia keluar dari kamar, masih dengan amarah memenuhi hatinya. Langkahnya begitu tegap dan kaku dengan kepalan tangan terkepal. Jika Emma laki-laki, dia pasti akan menghajar wajahnya. Tapi dia masih mampu menahan amarahnya dan masih bisa berbicara dengan tenang dengannya.

  

“Aku sudah memesan taksi! Kita akan menyelesaikan masalah ini secepatnya.”

  

Namun Emma masih berdiri di sana dengan tangan disilangkan di depan dada. Victor sedikit bingung dan penasaran, karena seharusnya ini adalah kemauan Emma untuk menyelesaikan perceraian itu. Tanpa sepengetahuan Victor, saat ini Emma sedang menunggu kedatangan seorang pria yang akan menjemputnya.

  

Begitu Victor membuka pintu, ternyata pria itu sudah ada di hadapannya, terlihat hendak mengetuk pintu. Pria itu langsung nyengir bruk dengan wajah mengejek begitu mereka bertatap muka.

  

Victor terkejut karena ini bukan pertama kalinya dia melihat wajah pria itu. Dia masih mengingat wajah arogan dengan rambut cokelat klimis bergaya pompadour itu dengan jelas. Begitu juga dengan pria itu, mengenali wajah Victor dengan baik.

  

“Oh, hai! Bukankah kau si pengantar pizza itu? Apa yang kau lakukan di sini?" pria itu menyapanya.

  

Dia adalah Lucas Atkinson, pria yang sama yang ditemui Victor sebelumnya di perusahaan farmasi kemarin siang. Tentu saja Victor tidak melupakan wajah pria yang baru saja mengusirnya saat mengantarkan pizza, dan juga menghinanya sebelum pergi.

  

“Seharusnya aku yang bertanya di sini. Apa yang kau lakukan di rumahku?” balas Victor.

  

“Oh sayang! Apakah itu kamu?” Emma menyelonong, dan mulai bertingkah seperti perempuan jalang yang baru saja menemukan pelanggannya.

  

Dia mengusap dada pria itu begitu hangat di depan Victor. Padahal, statusnya saat ini masih istri sah Victor karena belum selesai mengurus perceraiannya.

  

Victor tak menyangka wanita yang selama ini begitu berharga dan cantik di matanya ternyata bertingkah serendah pelacur. Emma dulunya adalah sebuah permata terbaik yang dia temukan dalam hidupnya. Tapi sekarang, wanita itu hanya terlihat seperti berlian sintetis hasil lab yang cacat di matanya.

  

Pria bernama Lucas itu bahkan tidak menahan diri di depan Victor. Dia melingkarkan lengannya di pinggang Emma dan mendekatkan hidungnya ke telinganya.

  

“Apakah dia suamimu?” tanya pria itu sambil senyum yang terkesan memancing perkara dengan Victor. “Aku tidak percaya wanita secantik dirimu mau menikah dengan pecundang menyedihkan sepertinya. Apakah kamu sudah menceraikannya?”

  

“Kamu datang pada waktu yang tepat. Kami akan menyelesaikan perceraian ini sekarang juga. Kita tidak bisa tinggal lama di sini. Ayo pergi!”

  

Emma meraih tangan Lucas dan membawanya ke mobil BMW mewah milik pria itu. Victor hanya bisa menatap penuh kebencian. Dia bahkan tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun karena betapa marahnya dia.

  

Setelah mengantar Emma masuk ke mobilnya, pria itu melirik ke arah Victor dengan wajah terkesan mengejek, terlihat puas seakan dia telah memenangkan sesuatu dari Victor.

  

“Apa kau ingin ikut denganku? Atau haruskah aku membayarkan taksi untukmu?”

  

Dia kemudian terus berjalan ke sisi lain mobil, mengetahui bahwa Victor tidak akan pernah menerima tawarannya. Ia bahkan membelai bodi mobil mulus itu sambil berjalan, sembari terus menatap Victor dengan seringai buruknya.

  

Victor belum pernah merasa begitu terhina seperti ini seumur hidupnya. Dihina oleh Emma, orang yang dicintainya, begitu melukai perasaannya. Namun kini ia harus menerima bahwa pria yang sangat dibencinya adalah orang yang mencuri Emma darinya.

  

“Aku tak akan membiarkanmu menang. Aku tidak akan membiarkanmu mendapatkan satu sen pun dari perceraian ini,” gumamnya dalam hati, penuh amarah.

  

Mobil BMW itu masih di sana, belum juga berangkat, karena Victor sendiri masih berdiri di depan rumahnya. Ketika Victor sudah melihat taksi yang dipesannya, barulah ia mengunci pintu dan meninggalkan rumah.

  

Saat Victor baru saja masuk ke dalam taksi, si sopir taksi tersenyum padanya. Bukan senyuman ramah, tapi lebih seperti mengejeknya sambil tertawa kecil.

  

Victor memang keluar dari rumahnya dalam keadaan berantakan. Dan sepertinya supir taksi tersebut cukup familiar juga dengan wajahnya. Meski begitu, Victor berusaha mengabaikannya dan memintanya untuk mengemudikan saja taksi itu.

  

Setelah taksi itu pergi, barulah Lucas mengemudikan mobilnya, mengikuti taksi tersebut dari belakang.

  

Dan sama seperti supir taksi lainnya di kota, kini lelaki tua berkumis putih ini pun mulai mengajak Victor berbincang ringan.

  

“Baru akan berangkat bekerja pada jam segini? Apakah kamu tidak takut pria Italia itu akan kembali memarahimu lagi?” dia bertanya.

  

“Hah?” Victor merespons dengan sedikit penasaran.

  

Dia sedikit bingung, bagaimana sopir taksi itu bisa tahu tentang dirinya. Seingatnya, dia biasanya tidak naik taksi untuk berangkat kerja selama ini.

  

Namun kenyataannya, selama ini Victor telah keliling kota selama bertahun-tahun mengantarkan pizza. Entah berapa banyak supir taksi yang mengenal wajahnya karena selalu melihatnya di jalanan. Sama seperti sopir taksi tua ini, dia bahkan tahu di mana Victor bekerja.

  

Victor semakin kesal karena lelaki tua itu terus berbicara dengannya dengan nada mengejek. Bahkan seorang sopir taksi yang kerap ramah terhadap penumpang, kini juga meremehkannya.

  

Dengan sedikit helaan nafas, Victor pun membuang muka, menoleh ke pinggir jalan. “Aku sudah tidak bekerja dengan orang Italia itu. Jadi berhentilah menggangguku. Kemudikan saja mobilnya.”

  

Sopir taksi itu melirik ke arah Victor melalui kaca spion. Dia kemudian tertawa dengan sedikit terbatuk.

  

“Apa kamu mendapat pekerjaan baru di tempat lain? Melihat penampilanmu, aku meragukannya.”

  

“Hey, orang tua! Jika kau bisa menutup mulut sampai kita tiba di tempat tujuanku, aku akan membayarmu dua kali lipat,” jawab Victor dingin.

  

“Ya, ya! Tentu! Seperti dugaanku. Anak-anak zaman sekarang memang terlalu tak sabaran. Kau bahkan membuang-buang uang hanya karena rasa kesal itu.”

  

Victor menoleh ke kaca spion, menatap dingin ke arah mata pengemudi tua itu yang kebetulan juga sedang meliriknya melalui cermin yang sama. Namun lelaki tua itu tidak peduli betapa kesalnya Victor saat ini, dan terus terkekeh menggelengkan kepala.

  

“Aku harap ini bukan uang terakhir yang akan kamu berikan padaku. Ups, aku terus saja berbicara. Maafkeun, maafkeun!” kata si supir taksi, menutupi ucapannya dengan tawa acuh tak acuh.

  

Tiba-tiba Victor mendapatkan telepon lagi dari Viona, wanita yang sama yang menelponnya sebelum ia memutuskan untuk berhenti bekerja dengan pria Italia itu.

  

[Di mana kamu saat ini?]

  

“Aku sedang dalam perjalanan menuju ‘John Brown Law Firm’ untuk mengurus perceraianku. Ada apa?”

  

[Perceraian? Hei, Victor! Aku tidak peduli soal masalahmu dengan penyihir jelek itu. Kami akan mengadakan rapat dengan para manajer lainnya di sini. Orang-orang sudah menunggumu sedari tadi. Bukankah sudah aku katakan untuk datang ke kantor pusat Counterbrand pukul 8 pagi ini?]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status