Bab 15Tepat jam 9 malam, Bang Satro datang ke dapur karyawan saat aku dan Bi Inem sedang makan. "Makan, Bang," tegurku."Udah tadi.""Jadi ke sini ngapain?" tanya Bi Inem."Mau manggil kalian berdua. Disuruh Ndoro agar kita ke ruangannya sekarang." Wajah Bang Satro sedikit gugup. Sementara aku mulai menerka, agenda apa yang akan dibicarakan.Usai makan, kami bertiga bersama menuju vila. Jalanan becek akibat hujan lebat beberapa hari. Kami melangkah hati-hati dan tidak terburu-buru. Kami terpaku, saat melewati danau. Tidak seperti biasa, kali ini energi supranatural meluap di permukaan air. Nampak pintu gerbang menuju laut selatan sedang terbuka. Apa artinya ini? Apa malam ini kami bertiga akan dibawa ke sana? Perasaanku jadi tak tenang. Bisa kurasakan Bang Satro dan Bi Inem pun demikian.Setibanya di ruangan Ndoro Putri, kami mendapati ia tengah bersemedi. Duduk bersila dengan jemari membentuk mudra khusus. Ia membuka mata dan mengode agar kami turut bersemedi dengannya.Kami lan
Bab 16Kedua naga itu sadar bahwa akan diberi makan. Liur kerakusan pun menetes dari rahang kokoh mereka yang membuka lebar. Bau busuk menyeruak dari dalamnya. Bayangkan saja, makanan pokok mereka adalah daging mentah, tapi seumur hidup tak pernah menyikat gigi."Apa mereka kenal siapa yang harus dimangsa? Jangan sampai mereka salah lalu menelan kita semua." Aku bergidik ngeri."Tentu saja naga-naga ini tahu siapa yang ditumbalkan saat ini. Kamu gak perlu ketakutan seperti itu, Arini!" Ndoro Putri menjawab sembari terus menyeret Atika mendekati naga yang berjaga di sebelah kiri gerbang.Kulihat Bang Satro melakukan hal yang sama. Menyeret si Pria ke arah naga yang berjaga di sebelah kanan gerbang. Aku dan Bi Inem hanya berdiri mengamati. Sesekali saling berpadangan gugup kala kedua naga menjulurkan kepala ke bawah. Ke arah tumbal yang mungkin terlihat lezat.Ndoro Putri dan Bang Satro berlari menjauh setelah berhasil menyerahkan Atika dan kekasihnya tepat di kaki kedua naga itu.Pema
Bab 17Aku duduk terpekur di taman vila. Lenganku serasa mau patah saking pegalnya. Membereskan 20 kamar ternyata luar binasa. Apalagi saat menaikkan spring bed ke atas dipan tempat tidur. Tak usah dibayangkan.Untungnya, tugasku sudah kelar dan tinggal menunggu jam pulang saja. Kukeluarkan handphone dari saku, sejenak ingin mencari hiburan. Aku membuka menu daftar kontak, lantas menggeleng kecil sebab belum banyak nomor yang tersimpan. Senyum mengembang kala scroll down berhenti tepat pada satu nama. Hektor Aleksander. Ah, mana mungkin melupakan Pria ini. Tentu saja. Selain menjadi korban keganasan Nyi Roro Kidul, sapu tangannya masih ada padaku.Setiap hari kubawa benda itu saat bekerja. Bahkan detik ini, tersimpan rapi dalam kantong seragamku. Aku menjaga kemungkinan, jangan sampai si Pria tiba-tiba datang demi meminta kembali barang pribadinya.Bukankah ini sapu tangan branded dengan seri limited edition? Kusentuh aplikasi bundar bernama Google. Mencari situs resmi merek fashion
Bab 18Hari menjelang pagi saat aku mengendap menuju dapur mess. Menghidupkan kompor lalu pelan meletakkan panci berisi air ke atasnya. Tiap pergerakanku jangan sampai menimbulkan bunyi. Setidaknya, kali ini saja, tak boleh ada yang tahu apa yang kulakukan. Tujuh lembar daun damar putih dan segenggam garam kurebus dalam panci tersebut. Sekali mendidih langsung kumatikan kompor, lantas membawa air rebusan tersebut ke kamar mandi.Sembari menunggu air ramuan itu dingin, aku pun mandi seperti biasa. Seperti biasa kataku. Nyatanya, aku sangat khawatir. Berbagai kemungkinan bisa terjadi setelah mandi air rebusan ini. Belum sepenuhnya percaya pada anjuran Hektor bahwa ramuan ini bisa menghilangkan jejak dari pantauan Nyi Roro Kidul selama dua belas jam.Air ramuan telah dingin, hatiku malah menghangat. Gugup. Yakinkah aku untuk mengguyurkan ramuan ke badan? Guyur, tidak? Byurrrr .... Kuguyur juga setelah memantapkan tekad. Aku mengerjap. Menunggu beberapa saat. Menanti apa yang akan te
Bab 19"Bunda! Jangan marah gitu sama Mbak Arini. Dia cuma karyawan di sana, cuma menjalankan tugas!" Suaminya sedikit menghardik."Loh, Ayah kenapa membela kaki tangan Nyi Roro Kidul? Semua orang di Vila Melati kan antek-anteknya si betina pantai selatan!" Meninggi suara wanita itu. "Ataukah Ayah masih cinta sama perempuan gaib itu?! Ayo ngaku!!" Kini ia melabrak permukaan meja. Udang krispi dan sayap ayam berhamburan keluar dari piring. Melanting, tepat mengenai hidung Hektor."Bun, Bun, Bun, cukup!""Cukup, Bunda!" Hektor bangkit dan meraih Ibunya. Memeluk erat lalu mengusap pundak yang tak lagi tegap.Ia memapah Ibunya ke lantai dua melalui tangga manual di sudut ruangan. Dari atas sana, menggema omelan wanita itu, "Kamu juga, Hektor! Mau mau aja disuruh Ayahmu kawin sama Kidul brengsek! Apa kamu gak jijik? Ayah dan anak sama aja!""Bun, sudah, Bun. Tenang dulu." Terdengar juga Hektor membujuk.Kini tersisa aku dan Ayah Hektor. Kami duduk membisu, menatap makanan yang bertebaran
Bab 20Aku mengingat-ingat. "Ada beberapa, Pak. Ayah pernah bilang, jika bertemu makhluk astral jangan berkomunikasi melalui ucap bibir, tapi beranikan ruh dalam diriku 'tuk mengoneksi mereka lewat bahasa batin." "Ayahku sudah meninggal. Ibu juga," jelasku lagi. Ayah Hektor terlihat tenang, sementara anaknya berubah sendu. Lebih tepatnya prihatin padaku."Maaf, Mbak Arini. Apa Mbak gak merasa curiga sama mendiang Ayah?" Aku mengernyit mendengar pertanyaan itu. "Gimana, gimana?"Ayah Hektor memperbaiki posisi duduk. Berdeham sebentar lalu meneguk jus yang tersisa."Maaf sebelumnya, Mbak. Tapi saya rasa, Ayah Mbak Arini juga bersekutu dengan Nyi Roro Kidul semasa hidupnya.""Jangan sesumbar, Pak!" Aku berucap tegas. "Gada tanda-tanda kalau Ayah saya bersekutu sama Nyi Roro Kidul." "Ada, Mbak. Pasti ada jika Mbak mau cari tahu!" "Kenapa Bapak begitu yakin?" Sepertinya aku mulai terganggu dengan pembahasan ini. Mulai meluas dan menyikut sana-sini. "Sebab aku pernah memperistri Nyi Ro
Bab 21Tepat jam lima sore, aku kembali ke Vila Melati. Kukelola pikiran agar tidak menghadirkan kenangan pertemuan tadi. Sebab jika sebentar mata batinku kembali aktif, mereka bisa mencium rahasia ini. Apa yang telah dibicarakan sebelumnya di restoran, kuhapus dari benak, seakan tak terjadi apa-apa. Ndoro Putri asyik bercokol dengan kuntum melati saat aku melewati taman vila. Ia merawat mereka seperti anak sendiri. "Arini ...." panggilnya lembut.Aku lalu menghampirinya dan memperlihatkan sensasi kagum pada bunga peliharaannya. "Kamu dari rumahmu, 'kan?" tanyanya dengan binar khawatir. "Iya, Ndoro. Lelah banget membersihkan debuh yang menumpuk berbulan-bulan." "Kok, Ndoro gak bisa melacak kamu, ya? Malah yang muncul sinar merah dan putih menghalangi penglihatan Ndoro." Ia mengeluh."Kok bisa gitu?" Sanggahku dengan mimik dibuat senormal mungkin. "Ndoro pasti kecapaian, juga terlalu banyak memfungsikan mata batin.""Sepertinya kamu benar, Arini. Ndoro terlalu mengandalkan mata b
Bab 22Enam bulan berlalu dan kami semakin menyatu dengan vila melati.Dibangun mirip keraton di mana ilalang menjadi atapnya, vila ini dikenal telah tutup. Masyarakat luas mengira bahwa usaha pariwisata ini telah berhenti beroperasi. Memang benar. Vila Melati ditutup bagi masyarakat luas, bahkan ijin usahanya dicabut oleh pemerintah setempat. Namun, tetap beroperasi secara terselubung.Kami tidak menerima tamu umum dengan tujuan liburan atau relaksasi alam. Jika mereka datang, pasti kami tolak. Vila ini hanya dikhususkan bagi pengikut Nyi Roro Kidul.Tidak hanya menjadi jembatan menuju pantai selatan, Vila Melati juga menjadi pusat persekutuan dan penyembahan kepada Nyi Roro Kidul. Oleh sebab itu, tidak heran jika ilmu supranatural kami meningkat pesat. Saat ini, kami tengah berkonsentrasi pada ilmu meraga sukma. Yaitu, memisahkan sukma dari raga dengan sengaja demi tujuan tertentu. Tujuan kami adalah, memenuhi undangan Nyi Roro Kidul di malam satu suro nanti. Bukan sebagai tamu,