Sepuluh menit berlalu, tak ada percakapan yang keluar dari mulut Vio maupun Keyla. Keduanya duduk di tepi kolam dengan pandangan lurus ke depan. Keyla yang sedari tadi ingin membuka suara selalu urung setiap kali melirik ekspresi datar Vio, dia tampak ragu-ragu untuk memulai percakapan lebih dulu.
Vio menghela napas, jenuh karena harus terperangkap dalam situasi yang tidak nyaman. Hingga akhirnya dia membuka suara lebih dulu agar bisa cepat terbebas dari situasi canggung ini. "Ngapain lo ke sini?" Vio langsung to the point.
"Hah?" Keyla refleks menoleh, sedikit terkejut mendengar suara Vio namun dengan cepat dia menormalkan ekspresinya. "Aku khawatir sama kamu," ucap Keyla. "Tapi syukurlah ternyata kamu baik-baik saja. Aku sempat cemas karena kak Levin nggak bisa dihub————"
Vio membuka pintu kamar ketika suara ketukan dari luar terdengar. Saat pintu terbuka, sebuah senyuman samar menyambutnya. Pipinya memanas, jantung Vio serasa mau copot hanya karena ditatap Levin tanpa berkedip."Kenapa? Jelek ya?" Vio menunduk, memperhatikan penampilannya. "Aku nggak biasa pakaidresspendek begini," ucap Vio, menarik-narik ujungdresssabrina bagian bahu yang sedikit melorot."Cantik," ucap Levin."Ya?" Vio sontak mendongak, matanya saling beradu pandang dengan Levin yang masih setia memandanginya."Dress-nya," lanjut Levin, mendengkus geli saat melihat wajah Vio yang cengo. "Sama yang pakai juga cantik." Levin berbisik di telinga Vio, berhasil menyadarkannya.
Viona berjalan cepat menuju parkiran, mengabaikan panggilan Levin yang berusaha menyusulnya dari belakang."Vio." Levin mengusap kasar wajahnya, bingung dengan sikap Viona yang berubah jadi aneh setelah keluar dari bioskop.Apa mungkin karena ciuman tadi?Apa salahnya dengan hal itu?Levin tak mengerti kenapa Viona harus marah akan hal itu. Bukankah wajar jika sepasang kekasih saling berciuman? Oke, mungkin di sini memang Levin yang salah tempat saja."Hei." Levin meraih tangan Viona, menariknya ke belakang hingga gadis itu tertarik dan menabrak dadanya."Levin!" pekik Vio, matanya melotot karena kaget. "Lepas!" Dia berusaha melepas
Viona terbangun di tengah malam, merasakan tenggorokannya kering dan gatal. Ketika membuka mata sepenuhnya, dia baru sadar kalau Levin tidak ada di sampingnya."Levin," panggil Viona sembari mengucek sebelah matanya, berharap ada sahutan dari dalam kamar mandi. Tapi tak ada sahutan sama sekali yang menandakan kalau cowok itu tidak ada di kamar mandi. "Levin ke mana?" Viona bergumam pelan, turun dari kasur.Karena kehausan, lantas Viona memutuskan untuk mengambil minum sekalian mencari keberadaan Levin. Padahal seingat Viona, Levin tadi menemaninya sampai tertidur. Tapi sekarang cowok itu pergi entah ke mana.Ketika pintu terbuka, suara dentuman keras menyambut gendang telinga Viona. Suara nyaring dari musik yang sedang diputar begitu memekakkan telinga, ditambah lampu temaram dan kemer
Reva menepikan mobilnya di tepi jalan saat dirasa situasi sudah cukup aman dan tidak ada tanda-tanda anak buah papanya Levin mengejar. Dia menghela napas lega setelah melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, kemudian menyandarkan kepala seraya memejamkan mata sejenak. Namun hal itu tak berlangsung lama, karena suara Viona kembali menginterupsi untuk kesekian kali."Reva, ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi, dan kenapa lo musti bawa gue pergi?Please, beritahu gue, jelasin ke gue, ada apa?" Reva yang sudah lelah dicecar berbagai pertanyaan Viona dari tadi akhirnya membuka mata, memiringkan tubuhnya untuk menghadap Viona."Lo yakin pengen tahu?" Anggukan kepala Viona jadi jawaban mutlak. Lantas Reva menghela napas panjang, meski Levin melarang untuk memberitahu Viona tentang apa yang terjadi. Tapi Reva tidak bisa terus di
Viona berdecak, lagi, suara operator itu kembali menyambutnya setelah nada sambung berbunyi. Ini sudah kesekian kalinya dia menghubungi nomor Levin yang tidak aktif dan selalu berakhir dengan suara mba-mba operator.Viona menghela napas berat, lelah menatap layar ponsel yang mulai redup karena baterainya akan habis. Namun dia masih berharap jika centang di pesan yang dia kirim ke Levin akan berubah warna, atau setidaknya berubah jadi dua bukan seperti sekarang hanya centang satu.Kamu ke mana, Vin? Aku kangen.Batin Viona, nyaris ingin menangis. Dia ingin bercerita banyak hal dengan Levin, terlebih mengenai surat yang dikirim oleh adik papanya. Viona ingin tahu pendapat Levin mengenai ungkapan adik papanya yang tertuang di selembar kertas, kalimat-kalimat yang begitu menenangkan dan seakan menjadi motivasi untuknya tetap b
Viona duduk termangu di bangku taman, sorot matanya begitu redup menatap kosong kedua ujung kakinya. Di sampingnya ada Bagas yang menemani, sembari menghisap rokok dan mengembuskan asapnya ke udara. Keduanya tak saling berbicara, hanya diam membisu menikmati keheningan malam dengan pikiran masing-masing."Lo nggak mau pulang?" Bagas kembali bersuara setelah keheningan panjang, mengajukan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan sebelumnya dan berakhir diabaikan lagi oleh Viona. Melihat hal itu Bagas menghela napas panjang dan dalam, kasihan pada Viona yang tampak begitu bersedih karena menghilangnya Levin. "Nggak usah didengerin omongan Regan tadi, dia lagi nggak waras gara-gara kebanyakan minum. Gue yakin Levin baik-baik saja kok, mungkin emang dia lagi nggak bisa nemuin lo aja." Viona tak bereaksi dan tetap memilih bungkam.Bagas menden
Dering alarm memekakkan telinga, memenuhi seisi ruangan yang masih nampak gelap. Meski secercah mentari berusaha masuk menembus celah-celah gorden yang tersingkap, nyatanya ruangan itu tetap terlihat suram.Alarm masih terus berbunyi, hingga suara ketukan pintu beradu di tengah suara bising dari alarm. Namun, hal tersebut tak lantas mempengaruhi Viona. Gadis itu masih membatu, bersandar pada kepala ranjang dengan tatapan kosong ke depan. Matanya bengkak akibat menangis, diperparah dengan kantung mata yang menggelap karena semalaman ia tak memejamkan matanya."Viona." Suara dari luar kamar terdengar masuk menembus pintu. "Vi, kamu sudah bangun?" Tapi Viona tak merespon, seolah gadis itu tuli dan tidak mendengar apa pun yang ada di sekelilingnya.Sejak pertengkaran kemarin dengan papanya
Dimas duduk termenung, memandangi Viona yang terbujur lemas tak berdaya di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus menancap di tangannya. Sudah satu jam berlalu ia duduk tanpa melakukan aktivitas apa pun selain menatap wajah pucat Viona, seraya mengusap tangan putrinya itu yang terdapat memar."Putri Anda terkenaLeukemia limfositik kronisatau yang biasa disebut kanker darah."Ucapan Dokter yang memeriksa Viona kembali berputar-putar di kepala Dimas, seperti kaset rusak yang berhasil menghancurkan tembok kokoh dalam hatinya. Sekeras apa pun ia menahan diri untuk tidak menangis, nyatanya pertahanannya runtuh. Air mata yang ditahan di pelupuk mata seketika keluar bagaikan air bah."Maafkan papa, Viona." Dimas terisak, menutup wajahnya yang tak kuasa menu