AFGANHanya saja, waktu tak bisa diulang. Waktu maju ke depan, bukan mundur ke belakang. “Jim, kalau semedinya sudah beres, temui aku. Kita jalin pertemanan seperti dulu!” “Insya Allah! Sekarang aku mau fokus mengobati dan mendidik Ela agar mau taat pada Allah. Seburuk apapun, tetaplah dia istriku. Aku punya kewajiban membawanya ke jalan kebenaran!” Luar biasa, Jim benar-benar sudah berubah. Dia sedang menapaki jalan kebenaran. Itulah kuasa Allah memberi hidayah pada siapapun yang dikehendakiNya. Kepergian Jim membawaku pada lamunan masa lalu. Di mana suka dan duka silih berganti terjadi dalam hidup ini. Tak pernah menyangka akan mengalami fase kehidupan semenyedihkan itu. Dikhianati sahabat sendiri hingga jatuh pada titik kehidupan paling rendah. Untung aku hanya gila, tidak sampai nekat bunuh diri. Tak terbayangkan jika itu terjadi. Betapa akan abadi di neraka nanti. Bunuh diri adalah kondisi di mana manusia telah kufur pada rahmat Allah. Dia tak yakin lagi bahwa Tuhan memilik
AFGANDetik demi detik yang kulewati seolah sedang menanti eksekusi algojo di tiang gantungan. Mau duduk atau berdiri tetap saja salah. Kadang hanya mondar mandir di ruang tunggu. Kadang mengetuk-ngetuk jari pada dinding.. “Bagaimana Rida, Afgan. Apa sudah selesai. Kok, lama sekali!” tanya mama mertua. Wanita itu lebih panik dariku. Wajahnya sudah pucat, bibirnya pun bergetar. “Belum, Mah. Masih proses.” Aku yang sedang galau tetap harus memperlihatkan diri lebih tenang. Kalau sama-sama panik bakal membuat makin tegang suasana. Di tengah ketegangan, ponsel berbunyi. Ternyata dari Adela. Pastilah akan bertanya soal Rida. Langsung saja kujawab belum selesai operasinya. Efeknya, Adela jadi cemas juga. Sekarang yang mengalami keresahan jadi bertambah. Setelah sekian lama menunggu, saat yang dinantikan pun tiba. Dokter yang menangani proses operasi keluar ruangan.. “Selamat, putra Anda lahir dengan selamat!” Seketika ruangan seakan menjadi lebih luas. Hal paling membahagiakan tel
ELA Bangkrut? Miskin? Tidak, itu tidak boleh terjadi! Aku tak mau hidup melarat, tidak mau! Tidak terbayang jika harus menjadi gembel. Mengapa tetap hancur? Bukankah Jim sudah mati-matian menahan kehancuran? Apa sehebat itu kekuatan suami cindy? Persetan wanita itu! Bangsat kalian! “Mas, apa tak ada cara lain untuk mengembalikan posis perusahaan? Lalu, apa gunanya usaha kita selama ini?” Jim tetap membisu dan itu membuat darahku makin mendidih. Rasanya aku ingin sekali berteriak dan memarahinya habis-habisan. “Dasar lelaki tak berguna! Cih, menyesal aku menikah denganmu! Lihat, sekarang kita miskin! Melarat!” “Cukup Ela, cukup! Jangan bicara sembarangan, aku sudah berupaya mati-matian, kau tahu’kan. Aku rela tak tidur siang malam demi apa?” Jim menghentikan perdebatan tak berguna ini. Ia lebih baik pergi dari hadapanku daripada lepas kendali. Seperti itulah hidup kami di masa menuju kebangkrutan. Mulailah ketakutan demi ketakutan menghiasi hidup keluarga Pratama. Sampai Sampa
“Sedang apa, Sayang?” Aku bosan mengapa lelaki itu selalu bertanya demikian. Aku sudah mengatakan bahwa sedang menimang bayi mungil ini. Apa tak melihatnya? Ah, kurasa dia sudah gila. “Sssst, bayi baru tidur, jangan berisik, nanti dia bangun!” Untunglah, lelaki ini tak bertanya lagi. Ia hanya menatapku lama. Aneh, mengapa selalu begitu. Bertanya terus diam kalau sudah dijawab. Ya, ya mungkin dia kurang waras. Kasihan sekali. “Ela, mandi, yuk. ‘Kan sebentar lagi ustazah datang!” Dasar tak waras, mengapa dia menyuruhku mandi. Aku sudah mandi dengan bayi tadi pagi. Sekarang ‘kan sudah malam. Aku menepis tangan yang ingin menyentuh tubuh ini. Dengar, ya aku ini wanita bersuami. Mengapa pegang-pegang sembarangan. Dan, dia terus memaksaku. Tanganya direkatkan pada tubuh. Aku tak mau, tak mau! “Aaaaaa!” Aku marah, aku ingin menghajar lelaki kurang ajar ini. Aku tidak terimaaa. Dan, aku pun lemas. Lalu jatuh. * “Ela, makan sedikit saja, nanti kita jalan-jalan, ayo!” Kekuatan cin
“Jim, bolehkah aku minta bantuan?” “Apa, katakan saja!” “Aku ingin ke Jakarta.” Pria itu melepas pelukan, lantas mengubah posisi duduk. Ia kini menghadapkan badannya padaku. “Aku ingin menemui Rida, Adnan dan Cindy. Aku ingin minta maaf pada mereka. Bukankah kyai bilang dosa pada manusia akan diampuni Allah jika manusia itu mengampuninya.” Keputusanku untuk meminta maaf pada mereka sudah bulat. Ini adalah hasil perenungan panjang. Aku telah menang melawan ego yang selalu menghalangi atas nama harga diri. Aku tak pernah tahu kapan usia ini berakhir. Untuk itu harus segera menjalankan satu masalah yang belum terselesaikan, yaitu minta keikhlasan maaf dari orang-orang yang kusakiti. “Alhamdulillah, masya Allah. Inilah yang kutunggu, Ela. Kesediaanmu menyingkirkan ego. Besok kita minta izin kyai untuk pergi ke Jakarta. * “Pakailah kerudung dan gamis baru itu. Kita akan bertemu orang-orang baik. Anggap saja ini sebagai bentuk penghargaan pada manusia. Dan jangan sampai juga mereka
Kami sampai di pintu gerbang mansion milik Edward Douglas alias suami Cindy. Untuk tembus ke dalam, harus melewati satpam yang tampangnya cukup garang. Jim akhirnya mengatakan bahwa Cindy pasti mau menemuinya. Ia sedikit memaksa pada satpam agar menyampaikan hal tersebut pada majikannya. Setelah debat cukup alot, akhirnya satpam itu menyerah. Dia menyampaikan kepada majikan bahwa ada tamu yang ingin bertemu. Tak lupa juga menyebut namaku. Kami butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk menunggu izin masuk ke rumah Cindy. Untunglah kami duduk di dalam mobil hingga bisa bertahan lama dalam penantian ini. Jika tidak, akan terkena sengatan mentari Jakarta yang pastilah membakar kulit. Aku dan Jim mengucapkan hamdalah ketika izin untuk masuk telah keluar. Mobil pun kembali dikemudikan oleh Jim untuk memasuki gerbang menuju pelataran.. Ternyata jarak antar gerbang dan pintu utama lumayan jauh. Kalau ditempuh jalan kaki bisa-bisa kelelahan. Luar biasa memang tempat tinggal Edward Douglas.
ADNAN“Ini adik kak Diva, kak Azkia dan ka Azka!” terangku saat ketiga bocah itu berkumpul mengelilingi adik bayinya. Mereka baru diijinkan menengok mama Lestari dan adik bayi. “Adik, adik?” celetuk Azkia. Mungkin dia bingung mengapa yang baru lahir pun di sebut adiknya. Selama ini yang Azkia tahu, adiknya adalah anak yang dilahirkan Rida. “Iya, dedek bayi ini adalah adik kak Azkia. Sama dengan adik Alfan” jawab Lestari. Setelah mengangguk, Azkia mulai memanggil bayi baru itu dengan kata Adik. Begitu juga Azka dan Diva. Mereka terlihat antusias mencandai adiknya. “Nah, sekarang adik bayi mau mimi dulu. Ayo kita bermain di luar!” Aku menggiring tiga bocah ini keluar untuk memberi kesempatan pada Lestari menidurkan putri kami. Bayi kecil itu baru berusia tujuh hari. Di ruang keluarga tak henti-hentinya tiga anak ini bertanya. Tentang bayi, tentang ingin mengajaknya bermain.. Bahkan Azkia ingin memberinya permen. Aku terangkan perlahan bahwa permen bukan makanan bayi. Kalau sampai
ADNAN Hari ini waktu yang kugunakan untuk membersamai keluarga. Kesempatan libur tak kusia-siakan sebab memang jarang punya waktu untuk mereka. Azka dan Azkia bukan jadwal di sini. Kemarin mereka baru dipulangkan pada Rida. Kadang, tak rela harus berpisah sementara dengan mereka. Namun, mau bagaimana lagi, hanya itu jalan nyaman agar anak-anak tetap mendapat kasih sayang orang tua kandungnya. Kurasa Rida pun sama. Meski tak diperlihatkan, aku bisa menduga ia tak rela kalau mereka dijemput. Dia akan mencium dan memeluk anak kami kalau waktu berpisah lagi. Meski saat ini sudah tak ada air mata, tetap saja di hati muncul denyut nyeri. Anak korban perceraian tetap tak bisa sama dengan anak yang hidup dalam naungan keluarga utuh. Mereka harus mengikuti ritme hidup orang tua yang telah tak satu rumah. Tak akan juga menyaksikan ayah dan ibunya bersama seiring sejalan lagi. Padahal, mungkin sangat ingin anak-anak itu melihat kembali kebersamaan tersebut. “Tuan, Nyonya maaf menganggu, ada