Share

WANITA yang SUAMIKU SEMBUNYIKAN di KONTRAKAN
WANITA yang SUAMIKU SEMBUNYIKAN di KONTRAKAN
Penulis: Dwrite

Bab. 1

[ Neng, punya uang simpanan lima juta nggak? A'a baru dapet musibah kecolongan di toko. Mana saldo cuma tinggal tiga ratus ribu, ditambah akhir bulan lagi. ]

Kutatap layar ponsel dalam genggaman yang menunjukkan spam chat dari A Miftah, suamiku. Sudah dua hari sejak ponselnya tak bisa dihubungi, hari ini pesannya tiba-tiba datang tanpa menanyakan kabar dan langsung meminjam uang.

[ Sebenarnya ada, tapi buat biaya check up, Akbar, A. Dua hari dia sempat demam, aku sampe harus ambil cuti, pulang-pergi sendiri nemenin anak kita yang sempet tantrum sampe bikin heboh di rumah sakit. ]

Aku memang tak bisa bohong tentang apa pun pada A Miftah. Khususnya masalah keuangan. Kalau ada pasti aku katakan, begitu pun sebaliknya. Itulahh komitmen yang selalu aku jaga selama tujuh tahun pernikahan kita.

Sejenak kutolehkan pandangan pada bocah berusia lima tahun yang tengah menonton tayangan kartun di TV, bersama pengasuhnya Bi Tati. Anak spesial kami, buah cintaku dan A Miftah yang kala itu selalu kami nanti. Dia hadir di tahun kedua pernikahan kami. Lahir dengan berat dan panjang di bawa rata-rata dan dalam keadaan down sindrom. Muhammad Akbar Maulana, meskipun terlahir spesial, bagiku dia tetap anugerah dari Tuhan yang tak terhingga. Perlu kesabaran extra dalam membimbing dan membesarkannya, apalagi dua tahun terakhir aku berjuang sendiri, ditengah kesibukan sebagai pegawai negeri di kecamatan Bandung Kulon, karena suamiku dipindahtugaskan dari Buah Batu ke Karawang sampai saat ini.

A Miftah bekerja sebagai staf di sebuah Toserba yang cukup terkemuka, gajinya sekitar tujuh jutaan sebulan, selisih sedikit dengan gajiku sebagai PNS tingkat IV dengan gaji yang berkisar lima jutaan belum termasuk tunjangan. Sejak dipindahtugaskan dia kos di Karawang dan pulang seminggu sampai dua minggu sekali. Seharusnya komunikasi kami berjalan setiap hari. Namun, entah kenapa akhir-akhir ini dia sulit dihubungi dan selalu beralasan bila aku tanya tentang perubahan yang terjadi.

[ Check up Akbar, kan bisa nanti lagi. A'a janji bulan depan pasti diganti. Maaf, ya, Sayang. Soalnya penting banget ini. ]

Helaan napas panjang menandakan keputusanku saat ini. Sekali lagi, aku tak bisa menolak bila A Miftah sudah menyisipkan kata maaf dan janji di tengah kalimatnya.

[ Ya, udah. Aku transfer sekarang. Lain kali kalo ada apa-apa langsung hubungin lebih awal. Aku nggak suka kalau A'a chat cuma ada butuhnya aja. Kalau bisa minggu ini pulang! Akbar udah nanyain terus. Habis hampir sebulan A'a nggak pulang. ]

[ Siap, Sayang. A'a pasti pulang minggu ini. Nanti kita maen ke Gazibu, ya! ]

Kuabaikan pesan terakhirnya, dan langsung beralih menuju aplikasi m-banking. Men-tranfer nominal yang diinginkan A Miftah, dan menyisakan saldo sejuta rupiah untuk kebutuhan seminggu ke depan, sebelum gajihan. Setelah itu, kuletakkan ponsel di atas meja ruang tamu. Melepas jilbab yang masih melekat, sebab langsung memeriksa ponsel begitu sampai. Kemudian menghampiri Bi Tika dan Akbar.

"Bibi pulang aja! Nanti Akbar biar saya yang mandiin!" titahku sesaat setelah duduk di samping Akbar sembari memainkan rambut lebatnya.

Wanita paruh baya berjilbab itu terlihat begitu senang.

"Waduh makasih banget, Neng Tika. Kebetulan Bibi baru dikasih kabar kalau anak Bibi si Teddy kecelakaan jatuh dari motor."

"Innalillahi. Tapi, nggak kenapa-napa, kan, Bi?"

"Alhamdulillah nggak terlalu parah. Cuma lututnya sobek, perlu dijait. Kalau Neng nggak keberatan mah Bibi boleh kasbon dulu?" Memelas wajah Bi Tati membuatku tak tega untuk mengatakan tidak. Walau bagaimana pun beliau yang selalu ada di samping Akbar saat aku tengah sibuk bekerja.

Kualihkan pandangan menatap tas yang bertengger di atas kursi ruang tamu. Aku baru ingat kalau tadi pagi ada yang baru bayar kontrakan. Mungkin itu memang rezekinya Bi Tati.

"Sebentar, ya, Bi!" Aku beranjak untuk mengambil tas di kursi. Merogoh amplop berisi uang lima ratus ribu yang tadinya hendak ditabung. "Ini! Semoga Teddy cepet sembuh, ya, Bi."

"Hatur nuhun pisan, Neng. Kalau begitu bibi pamit dulu." Aku mengangguk menatap kepergian Bi Tati.

***

"Assalamualaikum."

"Punteun, Teh Tika!"

Suara ketukan pintu diiringi salam dan panggilan terdengar sesaat setelah aku selesai memandikan Akbar. Suaranya terdengar familiar.

"Tunggu sebentar, ya, Sayang!" Kuselimuti tubuh Akbar dengan dua handuk tebal, sebelum beranjak menuju pintu.

Ceklek!

"Dini." Kutatap gadis berambut bob yang masih mengenakan seragam SMA-nya di balik pintu. Dia adalah adik kandung A Miftah. Mereka dua bersaudara. Berbeda denganku yang yatim-piatu, Dini dan A Miftah masih punya seorang ibu. "Ada apa, Din?"

"Maaf kalau nggak sopan dan terkesan buru-buru. Bisa pinjam uang lima ratus ribu? Tapi jangan bilang A'a sama ibu."

"Buat apa?" Kutatap gadis berkulit putih itu dengan penuh selidik. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Dini datang meminta uang dengan dalih pinjam. Dia tahu aku bekerja dengan gaji yang lumayan. Makanya anak itu sering sengaja datang dari Bandung Kabupaten ke Bandung Kota hanya saat ada butuhnya.

"Buat ganti rugi motor orang yang nggak segaja kutabrak."

Kuhela napas gusar. Dini memang terkenal sebagai anak yang cukup bengal di sekolahnya. Aku tahu kelakuannya dari rekan kantor yang anaknya selalu dibully Dini.

"Please, Teh. Dini harus minta sama siapa lagi coba? Ibu mana ada duit. Minta A Miftah yang ada aku habis diomelin." Gadis itu memelas sembari menyatukan kedua tangan. Sesekali dia menarik-narik tanganku.

Untuk ke sekian kalinya aku menghela napas panjang hari ini. "Ck, ya udah rekening masih yang itu, kan?"

"Masih. Makasih banyak, ya, Teh," ucapnya semringah.

"Udah, tuh. Lain kali jangan terlalu liar, Din. Kamu itu anak perempuan yang lagi dalam masa pendewasaan. Usahain hindarin bergaul yang keterlaluan. Kalau bukan teteh yang ingetin, siapa lagi?" Nasehatku entah didengar atau tidak, yang pasti gadis itu hanya mangut-mangut sembari memeriksa ponselnya.

"Sip, udah masuk. Sekali lagi makasih, ya, Teh. Aku pamit du--"

"Nggak mampir dulu? Ada Akbar di dalam?"

Dia hanya melirik Akbar sekilas, lalu melambaikan tangan sedikit enggan.

"Ng, nggak, deh. Lain kali aja, ya."

Gadis itu dan motor matix-nya pun berlalu begitu saja.

Kupijat pelipis yang tiba-tiba terasa pening. Dalam sehari uang lima setengah juta pergi begitu saja. Padahal kebutuhanku dan Akbar untuk seminggu ke depan masih kurang. Dari mana lagi aku bisa dapat uang?

Dering ponsel di saku daster berhasil menarikku dari lamunan. Nama Bu Susi K.1 tertera di layar. Beliau adalah penghuni kontrakanku yang sudah lebih dari tiga tahun menetap di Cijerah.

"Halo assalamualaikum."

"Waalaikumsallam."

"Neng, ada yang tanya-tanya kontrakan di sebelah ibu. Kayaknya suami-istri. Katanya mau langsung sewa buat sepuluh bulan ke depan. Bayar dimuka!"

Mataku sontak melebar. Mungkin ini yang dinamakan rezeki yang datang dengan cara yang tidak disangka-sangka.

"MasyaAllah. Kebetulan saya lagi butuh uang, Bu. Makasih banyak, ya. Saya berangkat sekarang."

Tanpa banyak berbasa-basi, meski lelah menggerogoti diri, sesaat setelah sambungan telepon terputus, setengah berlari aku masuk ke dalam. Menciumi Akbar, sebelum mengenakannya pakaian yang cukup rapi untuk pergi keluar. Motor yang semula sudah masuk garasi langsung aku keluarkan lagi. Setelah selesai bersiap-siap aku langsung menuntun Akbar untuk naik ke atas kendaraan roda dua yang selalu setia menemani. Sejenak ku-cek ponsel sebagai kebiasaan sebelum memulai perjalanan.

Sebuah notifikasi pesan yang mengambang di bar status tiba-tiba menarik perhatian. Sontak motor yang sudah siap berjalan, kembali kustandarkan.

[ Teh Tika! Ahmad ketemu A Miftah sama wanita hamil, lagi liat-liat kontrakan Teteh yang ada di Cijerah! ]

Deg!

[ Ah, salah liat mungkin kamu, Mad. Suami teteh, kan udah pindah tugas di Karawang. Lagian kalau dia tiba-tiba ada keperluan pasti mampir ke sini dulu, ngapain jauh-jauh dateng cuma buat cari kontrakan? Lagian A Miftah, kan nggak pernah tahu kalau selama ini teteh punya rumah kontrakan yang disewakan.]

*Foto*

[ Tuh, Teteh liat aja sendiri! Beneran A Miftah, kan? Ahmad fotonya diem-diem. Dia lagi ngobrol sama tetangga yang udah lebih dulu sewa. ]

Refleks aku mencengkeram ponsel yang sejak tadi digunakan untuk berkirim pesan dengan adik lelakiku itu, saat melihat foto yang dia kirimkan sudah cukup membuktikan bahwa Miftahul Hamid, suamiku yang satu jam lalu meminjam uang, ternyata tengah ada di Bandung bersama seorang wanita muda yang tengah berbadan dua.

.

.

Bersambung.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Ternyata uang pinjem ke istri 5jt buat bayar kontrakan istri simpanan
goodnovel comment avatar
Isabella
nah kan . uang 5 juta buat ngontrak sama gundiknya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status