Share

bab 2

WARUNG SOTO MBOK KARSIEM 2

Di hadapanku berdiri sosok tinggi besar, dengan bulu lebat memenuhi tubuhnya, tanganya sangat besar dan ukuran setiap  jarinya sebesar buah pisang, mahluk itu menggeram, mata merahnya melotot, dari sorot matanya sepertinya mahluk ini marah kepadaku, mahluk itu maju mendekatiku, aku mundur dan tubuhku menabrak sesuatu, ketika aku menoleh kebelakang, di belakangku berdiri sosok pocong dengan kain kafan yang berwarna kecoklatan dan wajah hancur lebur, mulut pocong itu terbuka lebar, dari mulutnya keluar cairan merah pekat berbau anyir bercampur busuk. Aku berlari menjauh dari kedua mahluk menyeramkan ini, sayangnya aku malah menabrak sosok berambut gimbal dengan lidah panjang menjulur  ke lantai,  sosok itu mengerak-gerakkan lidahnya yang panjang, lidahnya yang berbau anyir itu mencambuk tubuhku. Aku berlari ke sudut ruang tamu, jantungku berdetak kencang sampai aku bisa mendengar bunyinya, keringat sebiji jagung memenuhi tubuhku.

Aku dikepung ketiga sosok mengerikan itu, sosok berambut gimbal menjulur-julurkan lidahnya kepadaku, Mahluk bertubuh besar menggeram, gigi-giginya yang panjang dan tajam sangat menakutkan, giginya yang seperti pisau itu bisa mencabik-cabik tubuh manusia, mahluk itu juga mengeluarkan air liur yang sangat bau. sedangkan sosok pocong terbang melayang-layang di atas kepalaku. Darah dari mulut pocong itu berjatuhan mengenai kepalaku, perutku serasa diaduk-aduk mencium bau anyir bercampur busuk dari darah yang mengenai kepalaku, belum lagi bau kedua sosok yang berdiri dihadapanku, rasanya aku ingin pingsan saja. 

Ya Allah, ada apa dengan semua ini? Sebelumnya aku tidak pernah melihat mahluk-mahluk menyeramkan ini di rumahku.

.

.

.

.

.

.

"Asna! Asna! Buka pintunya nduk!" Terdengar suara seseorang memanggilku.

Astagfirullah, ternyata aku hanya mimpi. Tidak ada sosok-sosok mengerikan di sini, mimpiku seperti nyata dan sangat menakutkan.

"Siapa?" Aku berdiri dan hendak membuka pintu.

"Bapak, Nduk. Cepat buka pintunya!"

Oh ternyata Bapak, gegas aku membuka pintu.

Bapak hanya sendiri, tidak ada Ibu dan Aska bersamanya, motor Bapak juga tidak ada.

"Bapak sendiri? Di mana Ibu dan Aska? Motor Bapak di mana?" Aku memberondong Bapak dengan rentetan pertanyaan.

"Ibu dan Aska masih di rumah Bude Parni, sedangkan motor Bapak ada di bengkel." Bapak masuk ke dalam rumah, tanpa sengaja tangan Bapak menyenggol tanganku. Tangan Bapak dingin sekali, apa Bapak kedinginan?

Bapak berdiri di ruang tamu, ia melihat foto keluarga kami, ia bergeming melihat foto itu. Lantai bekas jejak kaki Bapak kotor dan berlumpur, sebenarnya Bapak dari mana sih, sampai kakinya kotor begitu.

"Bapak dari mana, kakinya sampai kotor begitu?" 

"Jalanan becek, Nduk," jawab Bapak datar.

Aku mengerutkan kening mendengar jawaban Bapak. Di luar sedang tidak hujan, jalanan pun kering, kenapa Bapak mengatakan  jalanan becek? Bapak juga sangat aneh, biasanya ia banyak bicara. 

Aku mencoba berpikiran positif, mungkin karena kedinginan Bapak jadi pendiam.

"Pak, Asna buatkan kopi untuk Bapak ya?"

Bapak hanya mengangguk, ia masih menghadap dinding, di mana terdapat foto keluarga di sana. Bapak semakin aneh saja. 

Aku pergi ke dapur untuk membuatkan kopi Bapak. Bapakku itu biasanya minum kopi langsung di seduh menggunakan air mendidih. Aku harus merebus air dulu untuk menyeduh kopi. 

 Malam ini terasa berbeda, entah perasaanku saja atau memang ada sesuatu. Wush..wush..wush, angin berhembus kencang, pintu dapur sampai terbuka karena angin yang begitu kencang.

Aku berjalan ke pintu dan menutupnya, tengkukku meremang ketika akan menutup pintu, apalagi di belakang dapur hanya ada kebun pisang yang gelap. Tunggu aku seperti melihat sesuatu di sana, di kebun pisang itu ada sesuatu meliuk-liuk, aku memicingkan mata demi bisa melihat apakah yang meliuk-liuk itu. Mungkin saja itu daun-daun pisang yang kering, tapi kenapa daun pisang itu  seperti anak kecil yang sedang bermain melompat-lompat? Aku bergeming melihatnya, tanpa sadar apa yang aku perhatikan itu sudah berada di depan pintu, tepat di depan wajahku. Ternyata itu bukan daun pisang yang kering, tapi sosok pocong dengan kain kafan berwarna kecoklatan, seperti yang ada dalam mimpiku, dari mulut pocong itu mengalir darah berwarna kehitaman dan bebau anyir bercampur busuk.

Dengan cepat aku membanting pintu, tak lupa aku mengunci pintunya. Jantungku berdegup sangat kencang, keringat membasahi dahiku.

"Asna!" Sebuah tepukan mendarat di bahuku.

"Bapak, bikin aku kaget saja." Ucapku sambil mengurat dada.

"Bapak lapar, Nduk."

"Waduh, Pak. Enggak ada makanan, karena Bapak, Ibu dan Aska ke rumah Bude Parni buat acara syukuran, jadinya Ibu enggak masak tadi sore. Aku cuma buat mie dicampur telur. Bapak mau Asna buatkan?"

"Boleh," jawab Bapak datar.

Aku menghidupkan kompor, merebus air dalam panci berukuran kecil,  aku memasukkan mie kedalam panci, tak lupa kumasukkan dua butir telur dan juga sayuran hijau ke dalamnya.

Aku memindahkan  mie instan yang sudah matang ke dalam piring. 

"Ini, Pak." Aku meletakkan piring berisi mie instan ke atas meja di depan Bapak duduk.

Bapak mulai memakan mie yang kubuatkan tadi, aku perhatikan Bapak makan tidak seperti biasanya, kali ini Bapak makan seperti orang kelaparan yang berhari-hari tidak makan, cepat sekali Bapak makan.

Setelah menghabiskan mie, Bapak menatap nyalang. Ia berjalan ke lemari pendingin, Bapak membukanya dan mengambil telur itu, ia memakannya mentah-mentah.

"Apa yang Bapak lakukan?" Tegurku.

Bapak menoleh, ia menyeringai dengan  telur mentah menetes-netes dari mulutnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status