Bella terlalu lelah, berusaha sabar pada keadaan, lagi-lagi ia dibuat kecewa. Perasaannya yang jatuh pada pesona Dika pun turut membuatnya kecewa. Bella pikir Dika yang bersikap baik padanya beberapa saat yang lalu akan bertahan lama, namun nyatanya tidak. Hari ini, Bella kembali mendapatkan perlakuan bak hewan di hutan.
Bella kecewa pada ekspektasinya pada Dika, pemuda itu mengecewakannya. Bella menatap ujung sepatunya, ia berusaha tuli dan buta agar tak mendengar dan melihat Alfa dan Dika yang tengah beradu otot.Cairan bening masih mengalir di wajahnya, Bella menghapus cairan itu dengan kasar dan segera meninggalkan Dika dan Alfa yang sedang beradu otot.Belum jauh langkah kakinya, tangannya ditarik keras oleh Dika. Pemuda itu menarik rambutnya dengan kasar dan membawanya menaiki mobil dengan paksaan yang harus Bella turuti. Dika mengendarai mobil dengan cepat bak orang kesetanan. Bella berteriak ketakutan, gadis ini berulang kali berteriak untuk memperlambat laBella menatap sekitar dengan perasaan was-was, ia memejamkan matanya sejenak membuat air matanya kembali merembes keluar. Wajahnya terlihat acak-acakkan, dadanya naik turun, tangannya beralih mengambil ponsel yang selalu ia sembunyikan."Aku harus ngelakuin sesuatu ...." Bisiknya pada dirinya sendiri.Bella menatap jendela, ia menghampiri jendela tersebut dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Perasaannya mulai tenang, tangannya mulai memainkan ponsel itu.Bella menekan nomor ponsel Stefene, ia harus menceritakan segalanya pada pria itu sebelum semuanya terlambat. Bella pikir, ia bisa mengurus segalanya, namun karena kejadian hari ini, Bella sadar ia tidak bisa mengurisnya seorang diri. Ia butuh pertolongan.Bella ingin menceritakan segalanya pada Mark, tetapi keberadaan Mark tidak Bella ketahui. Nenek mengasingkan Mark secara diam-diam hingga Bella tidak bisa mendeteksi keberadaan kakaknya.Bella ingin berharap pada nenek, namun itu tidak bisa ia lakukan. Nene
“Kamu selalu nyakitin aku, Dika. Cukup jelas alasan aku buat pergi,”Dika menatap Bella tajam, “Kenapa lo nggak pernah nurut?”“Kenapa aku harus nurutin kamu terus? Kamu selalu nyakitin aku, kamu mukul badan aku terus-terusan. Itu sakit, Dika sakit!”Dika tertawa, bibirnya tersungging senyuman, “Itu karena lo nggak pernah nurut sama omongan gue, kalau lo nurut gua nggak akan mukul lo, Bella!”Bella menunduk, ia menatap mata Dika. Menyelami apakah pemuda di hadapannya ini tengah berbohong?“Apa aku harus percaya sama omongan kamu barusan?”Dika terbahak, “Terserah, gue nggak butuh rasa percaya dari lo. Kalau lo nurut sama omongan gue, tubuh lo nggak akan ngerasa sakit!”“Kamu pasti bohong, nggak mungkin kamu nggak nyakitin aku, Dika ….”Dika tertawa terbahak-bahak, tangannya memegangi perutnya. Aku menatapnya kesal.“Ngerti ju
Begitu tiba di ruang kesehatan, Alfa langsung meletakkan Bella di atas ranjang. Dokter dan dua perawat yang bertugas pun langsung mendekati Alfa.“Apa yang terjadi?” tanya Dokter itu.Alfa menjawab dengan suara bergetar, wajahnya nampak jelas jika Alfa sedang khawatir. “Bella pingsan dan tangannya sepertinya terluka. Saya tidak tahu apa yang terjadi padanya.”“Baiklah, saya akan memeriksanya. Tolong tunggu di luar, ya.” Alfa menurut dan keluar dari ruang kesehatan.Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menunggu Dokter itu keluar, hati Alfa lebih was-was. Dalam hati Alfa berucap, “Gue yakin ini pasti ada hubungannya sama Dika. Gue tau segila apa cowok itu, gue yakin banget Dika yang udah bikin Bella sekarat.”Alfa terdiam setelah menyadari mengapa ia sangat mengkhawatirkan Bella. Perasaan khawatir seperti ini tidak pernah ada sebelumnya, Alfa yakin ini hanya perasaan segan saja karena mengetahu
Setelah dokter mengatakan bahwa Bella butuh istirahat, Bella mmeutuskan untuk tidak keluar rumah selama mungkin. Terhitung hari ini Bella di rumah saja sudah satu minggu.Bella tidak melakukan apapun, ia hanya terbaring sambil bermain ponsel saja. Atau sesekali ia menandatangani berkas yang Stefene kirimkan padanya.Setelah itu, tidak ada aktivitas apapun yang membuat tubuhnya lelah.Bella menatap ponselnya lama, ia menghembuskan napasnya. Selama ini pula, Bella berusaha mencari keberadaan Mark, tapi ia tidak mendapatkan apapun.“Mark ke mana ….”Pesan singkat yang berisi permohonan maaf karena gagal menemukan keberadaan Mark membuat Bella kembali menghembuskan napas. “Ck, Mark ke mana, sih?”“Apa aku harus mencarinya sendiri?”Baru saja Bella ingin bersiap, pintu Apartemennya berbunyi. Bella segera mendatangi dan mendapati tetua Wilson berdiri di sana bersama Stefene.“Silahkan
Bella sudah membuka matanya, darah segar yang ada di hidungnya sudah dubersihkan semua. Bella duduk, ia menyenderkan punggungnya dengan mata yang terpejam.Dika yang tengah duduk di luar berdiri, pemuda ini berniat untuk memeriksa keadaan Bella. begitu ia masuk ke dalam ruangan, melihat Bella yang sedang menyender dengan mata terpejam, Dika segera mendekatinya dan berkata, “Lo udah sadar?”Bella membuka matanya, ia memandang Dika tanpa ekspresi di wajah.“Lo punya masalah apa? Kenapa lo lakuin ini?” ujar Dika, keningnya mengerut penasaran.Bella menggeleng, “Kamu ngomong apa?”Dika memijat pangkal keningnya, “Sejak kapan lo pakai ganja? Dan dari mana lo bisa dapat barang kotor itu?”Bella menunduk, ia memilin tangannya.“Jangan diem aja, karena lo gue harus nutupi kesalahan lo, Bella. Apa yang akan terjadi kalo kepala sekolah tau, hah?”Bella mendongak, “Aku nggak mi
Sial, apa yang sudah Dika katakan pada gadis yatim itu. Dika sangat malu sekarang, perutnya terasa seperti sangkar kupu-kupu yang membuat geli oleh kepakan sayap. Sebelum gadis itu menjawab perkataanya, Dika segera beranjak pergi.Ia berjanji untuk tidak akan menampakkan wajah pada gadis itu selamanya! Ingat selamanya! Dika benar-benar kehilangan wajah untuk menampakkan diri pada Bella.“Gue ngomong apaan, sial!”Sedang dengan Bella yang tidak mendengar perkataan Dika tadi hanya menggaruk kepalanya, ia berkata di dalam hati, “Dia kenapa? Tadi baik sekarang kayak orang gila.”Bella mencoba untuk tidak peduli dan melanjutkan langkah kakinya. Pandangannya masih menatap pergelangan tangannya yang disentuh oleh Dika beberapa saat yang lalu, tiba-tiba saja jantungnya berdetak tak teratur.“Aku kenapa …?”“Kenapa hangatnya sentuhan Dika masih bisa aku rasain? Kenapa aku pengen liat wajahnya sekarang?
Baru saja Bella tiba di Apartemennya, Stefene sudah berada di sana berdiri di depan pintu. Menyadari itu, Bella bertanya, “Stefene apa yang kamu lakukan di sini? Apa Nenek yang memerintahkanmu?”Stefene mengangguk pelan, “Betul, Nona Nyonya Besar meminta saya untuk membawa Anda ke rumah utama. Silahkan nona bersiap-siap dulu.”Bella mengernyitkan dahinya tidak mengerti, “Ada apa? Mengapa nenek memintaku untuk ke rumah utama? Apa yang terjadi? Apa sesuatu terjadi pada Mark, Stefene?”Stefene hanya menjawab, “Nona akan mengetahui itu jika datang ke rumah utama.”Bella mengangguk mengerti, “Baiklah, aku akan bersiap-siap dulu.”Stefene mengangguk, “Baik, nona.”Tak membutuhkan waktu yang lama, Bella sudah siap. Ia tidak membuthkan riasan wajah apapun, ia hanya mengambil Blazer putih dan langsung memakainya.“Ayo, Stefene kita pergi sekarang.”&ldqu
Setelah mengetahui kondisi Mark, Bella tak tahan untuk tidak menangis.“Mark, mengapa kamu menekan perasaanmu selama ini? Kalau kamu memang bersedih, katakan padaku, Mark aku akan selalu bersamamu. Jangan bersedih sendirian, kamu punya aku, Mark ….” Bella berucap dengan suara serak.“Mark, aku tahu rasanya sendiri. Aku tahu rasnaya nggak punya siapa-siapa buat cerita, tapi Mark, aku nggak mau kalau kamu ngerasain juga apa yang aku rasain. Mark … sampai sekarang hati aku belum baik-baik aja setelah mama dan papa pergi. Hati aku masih sakit, Mark ….” Bella menjatuhkan kepalanya pada ranjang, ia menangis sambil memegangi ujung tangan Mark.“Mark … kamu benar, jadi anak yatim piatu itu nggak enak. Tapi Mark … siapa yang bisa milih takdir seseorang? Kalau pun ada, aku rela bayar berapa pun asal kakek, mama, papa, paman, dan bibi hidup lagi. Aku rela miskin selamanya asal mereka hidup lagi, tapi kita ngg