Pov Emir"Apa kabar, Mas?"Najwa bertanya sembari mengulas senyum manis. Mantan istriku terlihat jauh lebih dewasa dari terakhir kami bertemu. Selain penampilannya yang bertambah anggun, begitu juga dengan gesture tubuh yang lebih tenang dan luwes. Najwa menjelma menjadi wanita berkelas setelah ia lepas dariku. Jika ada yang bertanya apakah aku menyesal telah menceraikannya? Maka jawabannya adalah tidak. Melihat Najwa yang jauh lebih baik ketimbang masih bersamaku, tentu membuatku sadar bahwa melepasnya adalah keputusan terbaik yang aku ambil. "Alhamdulillah Mas baik. Bagaimana denganmu? Mas lihat, kamu jauh lebih baik dari terakhir kita bertemu," jawabku membalas senyumnya. "Mas Emir benar. Aku sudah jauh lebih baik sekarang."Aku mengangguk dan tersenyum. Tentu saja merasa senang meski di sisi hatiku yang lain merasa tersentil oleh ucapan Najwa. Ya, dia jauh lebih baik jika dibandingkan saat hidup bersamaku.Hening. Kami sama-sama membisu karena tidak tahu harus membicarakan apa.
"Jadi, wanita yang kamu lamar itu, Khanza?" tanyaku pada Aidan. Kini kami tengah duduk berdua di teras depan rumah Ustadz Hakim. Kami sengaja keluar rumah untuk memberi ruang pada orang tuaku dan mamanya Khanza untuk berbincang. Sedangkan mantan istriku tersebut masih belum nampak. Entah memang sedang sibuk dengan Umi Salamah atau sengaja menghindariku. Ternyata kedatangan Aidan tidak hanya berdua dengan Khanza. Aku sempat berpikiran buruk tentang mereka yang hanya berduaan selama di perjalanan, sedangkan jelas mereka bukan mahram. Namun, setelah tahu mantan mertuaku ikut serta, aku merasa malu karena telah berpikiran yang tidak-tidak."Dari mana kamu tahu kalau aku akan melamar seseorang?" Ia mengerutkan dahi. "Dari Najwa. Kemarin, kami sempat mengobrol sebentar," terangku. Aidan tersenyum getir, sangat jauh dari dugaanku tentangnya yang pasti tengah berbahagia. Bukankah kedatangannya menemani Khanza dan Mama Alice ke sini dan itu pertanda bahwa lamarannya diterima? "Ya, aku mem
POV Khanza"Khanza, tolong buatkan minum untuk tamu kita yang baru datang."Perintah Umi Salamah segera kulaksanakan. Aku bergegas menuju dapur, membuatkan minuman untuk Mas Emir. Ya, aku tahu tamu yang dimaksud adalah mantan suamiku. Papa Hamdan dan Mama Ranti memberitahu kami bahwa putranya itu akan menyusul untuk menjenguk Ustadz Hakim yang tengah sakit.Namun, alih-alih membuatkan minum, aku memilih berdiam diri dan duduk di salah satu kursi. Jujur, aku belum siap untuk bertemu kembali dengan Mas Emir. Rasa kecewa kembali muncul jika mengingat keputusan sepihaknya tanpa mempedulikan perasaanku juga Najwa. Mas Emir yang egois. Awalnya ingin mempertahankan kami berdua, tetapi akhirnya justru ia lepaskan juga.Hah! memikirkan pria itu selalu saja membuat dada ini sesak. Andai saja aku bisa melupakannya secepat ia melupakanku, mungkin rasanya tidak akan sesakit ini. Perasaanku padanya belum sepenuhnya hilang dan aku akui hal itu. Maka dari itulah, aku belum siap untuk bertemu lagi den
"Pokoknya aku gak suka Mama menghubungi Dokter Wildan lagi. Aku malu!" tegasku pada Mama yang baru saja tiba di Butik kami."Jadi dia sudah ke sini? Bagaimana? Kalian ngobrol apa saja?" cecarnya dengan wajah semringah. Aku memijat pelipis yang terasa pening akibat ulah Mama. Bisa-bisanya dia meminta Dokter Wildan untuk menemuiku dan mengajakku berkenalan tanpa sepengetahuan diriku."Ma, please! Aku gak suka Mama seperti ini. Mama sama saja mempermalukan aku di depan Dokter itu.""Lho kok mempermalukan? Niat Mama itu baik, Sayang. Mama hanya ingin kalian saling mengenal lebih dekat. Mama ingin kamu mendapatkan pengganti Emir supaya kamu bisa melupakan mantan suamimu itu," ujarnya sembari mengelus bahuku. Aku paham setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Namun jika caranya seperti ini, tentu aku tidak akan setuju. Lagipula, sifat Dokter Wildan ternyata tidak sebaik yang Mama kira. Dokter itu terlalu angkuh dan menyebalkan di mataku."Sudah ya, Ma. Khanza mohon
"Mama kamu sudah menceritakan semuanya pada saya."Perkataan Dokter Wildan membuatku terkejut. Aku tidak menduga ternyata Mama sampai sejauh itu dengan menceritakan masalah pribadiku kepada orang lain yang baru kami kenal. Memang, Dokter Wildan tidak menunjukkan raut mencemooh ketika mengetahui nasib pernikahanku yang bisa dibilang miris. Namun, tatapan iba darinya membuatku tidak nyaman, karena aku sama sekali tidak ingin dikasihani oleh siapapun. Menikah dengan Mas Emir, diduakan olehnya, lalu diceraikan. Semuanya sudah menjadi bagian dari ketentuan yang Maha Kuasa, dan kini aku ikhlas menerimanya. Ingin marah pada Mama, tetapi percuma karena semuanya sudah terjadi. Apalagi beliau tengah sakit dan aku tidak tega untuk mencecarnya dengan pertanyaan seputar apa saja yang ia katakan pada Dokter Wildan. Biarlah Dokter itu mengetahui kisah hidupku. Toh, aku juga tidak peduli akan penilaiannya tentangku."Ya, dia mantan suami saya," jawabku akhirnya. Tidak ada alasan untuk mengelak kare
Pov Emir."Emir, Najwa kecelakaan dan dia ingin bertemu denganmu."Berita tentang Najwa telah kudengar dari Aidan. Mantan kakak iparku tersebut memintaku untuk datang ke rumah sakit dan menjenguk Najwa yang katanya ... selalu memanggil namaku. Tak aku pungkiri, rasa cemas tentu hadir ketika mendengar berita itu. Apalagi Aidan berkata bahwa kondisi Najwa bisa dikatakan cukup parah. "Biar Mama yang menemani kamu ke sana."Aku bernapas lega ketika Mama bersedia mengantarku. Beliau pasti mengerti bahwa putranya ini agak canggung jika harus datang ke sana sendirian, mengingat statusku dan Najwa yang hanya sebatas mantan. Namun, ada yang sedikit mengganjal ketika mengingat kembali perkataan Aidan. Najwa selalu memanggil namaku bahkan sebelum ia sadarkan diri sepenuhnya. Sebenarnya, ada apa dengan Najwa? Mengapa setelah kami berpisah cukup lama, ia masih saja menyimpan namaku di hatinya?Setengah jam perjalanan terasa sangat cepat. Aku dan Mama langsung menuju ruang rawat Najwa atas petun
"Kamu?"Ternyata informasi dari Mama memang benar. Kiyomi sudah duduk manis di ruang tamu dan ditemani Mama yang memasang wajah ditekuk. Sangat kentara kalau ia tidak menyukai kedatangan wanita ini. "Emir! Akhirnya kita bertemu lagi."Kiyomi berdiri, bergerak mendekat ke arahku yang masih mematung di ambang pintu. Hampir saja wanita ini mendaratkan kecupan di pipi, tetapi beruntung, aku dengan sigap menjauh dari jangkauannya. Kiyomi terlihat kecewa dan aku sama sekali tidak peduli. Gadis asal Tokyo ini memang cukup fasih berbahasa Indonesia karena ia pernah bercerita bahwa dulu pernah menetap cukup lama di sini bersama orang tuanya. Namun, setelah Kiyomi lulus SMA, mereka kembali ke negara asal karena kedua orang tuanya harus mengurus perusahaan keluarga yang terbengkalai. Perkenalanku dengan gadis itu ketika ia berkunjung ke salah satu Resto milikku. Kiyomi ternyata salah satu teman baik dari Daniel, sahabat sekaligus partner kerjaku di sana. Gadis itu memang cantik, pun dengan pe
Pov Khanza. "Boleh minta waktunya sebentar? Ada yang ingin saya bicarakan padamu."Suara Dokter Wildan menghentikan langkahku yang baru saja keluar dari ruang rawat Najwa. Berbalik, aku bisa melihat keseriusan di wajahnya. "Anda ingin bicara apa?""Bagaimana kalau sambil makan siang di Kantin? Supaya ngobrolnya agak enakan," tawarnya. Aku sempat ragu karena sebenarnya tidak nyaman jika harus berduaan dengannya. Akan tetapi, mengingat mungkin saja apa yang akan ia bicarakan adalah hal yang penting, maka terpaksa aku menyetujuinya. "Boleh."Dokter Wildan mempersilakan aku untuk berjalan terlebih dahulu, sedangkan dia mengikut di belakangku. Kami memasuki Kantin yang cukup ramai karena memang sudah saatnya jam makan siang. "Apa yang ingin Anda bicarakan?" tanyaku setelah pesanan kami datang. Dokter Wildan yang duduk berhadapan denganku memberi isyarat agar kami makan terlebih dahulu sebelum memulai obrolan. Menghela napas, kuturuti keinginannya meski hati sedikit jengkel. Tidak tah