"Ma-mau ke mana, Bang?" tanyaku gugup sembari bangkit dari duduk. Aku takut ia akan membawaku kembali ke rumah. Jantungku berdebar sangat kencang karena kedatangan yang tiba-tiba dari pria ini. Aku nggak mau kembali ke rumah itu. Tidak mau!
"Apa-apaan ini, Rizal? Kamu masuk gak pake salam. Main nyelonong aja!" omel Bi Eli.Mas Wahyu terlihat heran melihat ke arah mantan suamiku dari tempat duduknya."Hari ini kita sidang keputusan," sahut Bang Rizal. Memang ia tampak rapi hari ini. Rambutnya klimis."Tumben kamu kelihatan rapi begini, Zal? Mau ke mana tadi kamu bilang? Sidang?" Bi Eli nampak penasaran. Dahinya yang memang sudah mulai berkerut semakin bertambah kerutannya.Sontak aku menyeret lelaki itu masuk ke dapur. Entah apa yang dipikirkan Bi Eli dan Mas Wahyu di sana, biarlah."Eh, kalian mau ke mana?" panggil Bi Eli.Aku tak tahu apa tanggapan Mas Wahyu melihatku menyeret Bang Rizal masuk ke dalam dapur barusan.Degup jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang. Aku melihat ke arah pandangan mata Bang Rizal. Ya, pria otoriter itu datang. Ma–mau apa dia? Hatiku seketika saja menduga-duga. Apa dia akan menyeretku saat ini juga?Aku kembali menyusut air mata yang hampir saja terjatuh. "Hmm ... bagaimana?" Suara bariton itu terdengar anggun dan begitu kental terasa bahwa si pemilik ialah orang yang sangat-sangat berkuasa.Aku menghindari tatapan matanya yang begitu tajam menusuk. Sungguh aku membenci dia. Mungkin bukan dia penyebab utama hancurnya rumah tanggaku. Karena memang komunikasiku dengan Bang Kamal di akhir-akhir waktu kami memang sudah semakin berantakan. Akan tetapi, pria inilah pemicunya!Ah ... betapa ingin kulupakan semuanya. Namun, hatiku masih belum bisa menerima begitu saja kalau realita yang ada adalah aku harus menghadapi kenyataan kalau kelak lelaki inilah yang akan menjadi suami pengganti Bang Rizal. Tidak! Tidak mungkin aku menerima hal ini.B
"Apa?! Kamu sudah bercerai dari Rizal?!" Bi Eli sangat terkejut mendengar berita yang baru saja aku sampaikan kepadanya.Ya, setelah aku pikir-pikir, lebih baik sedikit membuka apa yang telah terjadi. Aku tak mau kelak Bi Eli malah mengetahuinya dari orang lain. Seperti kata pepatah, borok yang disimpan dan disembunyikan, suatu saat pun akan tercium baunya. Suatu hari nanti kalaupun itu terus dirahasiakan, pasti akan terungkap. Tidak akan mungkin status jandaku ini terus-menerus ditutupi."Iya, Bi," jawabku sembari menundukkan kepala."Apa? Kak Nay bercerai?" Tiba-tiba Manda dan Nanda keluar dari kamar mereka demi mendengar sang ibu terpekik menanggapi beritaku. Wajah mereka pun tampak penasaran. Entah suara siapa barusan yang bertanya. Manda atau Nanda? Aku sampai kehilangan fokus disebabkan hati yang gundah ini."Sana kalian masuk ke kamar!" Bi Neli mengusir kedua anaknya dari ruang tamu rumah itu.Wajah kedua sepupuku memberengut. Mau tidak mau mereka pun menurut.Aku menyenderkan
Pagi ini langit tampak cerah. Mentari bersinar dengan gagah. Walau masih malu-malu, bintang terbesar di galaksi Bimasakti tersebut terus merangkak, menanjak tinggi menyebarkan cahayanya yang hangat. Akan tetapi, cerahnya hari tidak seperti suasana yang melingkupi hatiku. Penuh kabut gelap yang terasa sangat sendu dan kelam.Dalam beberapa hari ini pikiranku begitu ruwet juga butek. Statusku kini sudah menjadi seorang janda, belum lagi urusan dengan niat Tuan Steven yang aah ... membuatku tidak bersemangat sama sekali untuk menjalani hidup. Andai boleh meminta mati, mungkin lebih baik mati saja. Ya, daripada harus menerima kenyataan kalau aku bakal menikah dengan pria jahat seperti dia. Huuft ...."Ini, kue brownies dari Nak Wahyu." Tiba-tiba Bi Eli meletakkan sebuah kotak kertas lalu membukanya di atas meja di sampingku yang tengah mengelap beberapa perkakas dapur yang baru saja dicuci. Alisku bertaut. "Mas Wahyu? Kapan dia datang?" tanyaku heran pada Bi Eli yang mendaratkan bokong k
"Loh, Rizal? Ngapain kamu masih aja kemari?" tanya Bi Eli dengan memasang wajah tidak ramah. Mas Wahyu hanya diam di tempat duduknya. Sekali lagi Bang Rizal datang tiba-tiba di hadapannya."Aku ada perlu dengan Nay, Bi," jawab Bang Rizal santai."Ada apa, Bang?" tanyaku dengan hati kebat-kebit."Sini!" Bang Rizal mengajak aku keluar ke teras rumah.Mau tidak mau aku mengikuti langkah Bang Rizal. Khawatir nanti Bi Eli dan Mas Wahyu mendengar urusan persiapan pernikahan oleh Tuan Steven—kalau memang Bang Rizal membahas hal itu.Setelah berdua saja di teras, Bang Rizal pun bicara, "Kamu aku hubungi di WA gak dilihat-lihat, Nay. Sana berkemas sekarang. Steven mau ngajak kamu diskusi soal pernikahan."Nah, 'kan ... seperti yang aku duga. Ini soal Tuan Steven lagi.Aku mengernyitkan dahi. "Bang, selama ini Tuan Steven mengatur semuanya tanpa melibatkan aku. Kenapa sekarang dia butuh pendapatku?" tanyaku sengit kepada lelaki itu, "Lagian Abang 'kan, tahu, kalau aku gak mau nikah dengan dia!"
"Bi, sebaiknya kita masuk. Gak enak dilihat warga ini," tutur Mas Wahyu, "Ayo Nay, kita masuk," ajaknya.Aku pun bangkit dengan masih terus terisak. Lalu duduk di kursi ruang tamu. Bi Eli juga turut mendaratkan bokongnya di sampingku."Kalau benar apa yang dikatakan si Rizal itu, bisa gawat!" cetus Bi Eli. Bibiku tentu tahu siapa Tuan Steven. Tidak pernah ada yang berani menentangnya selama ini."Aku harus bagaimana, Bi?" tanyaku dengan air mata yang masih mengalir deras, "aku gak mau nikah dengan dia.""Steven Arnold, tuan tanah yang terkenal itu ya?" tanya Mas Wahyu memastikan.Aku hanya bisa menganggukkan kepala pelan. Mas Wahyu mungkin tidak begitu mengenal siapa Tuan Steven, sebab ia hanya pendatang di desa ini."Kamu kok, gak bilang-bilang Bibi kalau Tuan Steven naksir sama kamu, Nay?" tanya Bi Eli lagi.Aku hanya bisa tertunduk. Aku juga tidak mengerti, mengapa lelaki blasteran tersebut sangat terobsesi menikahiku."Eemm ... kamu kenapa ga
"Tu–Tuan Steven Arnold?!" Bi Eli pun tak kalah terkejut. Bibi kontan bangkit dari duduknya. Hening.Kami semua terpaku begitu saja.Jantungku seakan berhenti berdetak untuk beberapa detik. Dan setelahnya degupannya begitu kencang seakan sebuah genderang perang. "Si-silakan duduk, Tuan!" ucap Bi Eli seakan kembali tersadar. Ia terbata-bata.Tampak di muka pintu yang terbuka Tuan Steven bersama sang ajudan serta Bang Rizal di belakangnya.Mas Wahyu bangkit dari duduknya dengan perlahan. Ia juga sama kaget seperti kami semua.Aku meletakkan nampan yang berisi secangkir kopi milik Mas Wahyu di atas meja dengan tangan yang tiba-tiba bergetar.Pria dengan alis tebal dan tatapan manik biru tajamnya itu melangkah kemudian mengambil posisi. Ia mendaratkan bokongnya ke salah satu kursi tamu. Kami semua kembali terdiam. Jantungku rasanya mau runtuh akibat debar kerasnya. Keringat dingin mulai terasa mengalir memenuhi tubuhku. Siapa sangka masih pagi begini si Tuan Otoriter datang ke mari. Past
Aku terpana melihat Mas Wahyu yang secara tidak langsung membelaku di hadapan semua orang. Ya, hanya dia yang mendukungku, sementara yang lain? Ah!Mas Wahyu tampak menahan emosi. Wajahnya memerah seakan menantang tuan tanah yang ada di hadapannya. Ia sama sekali tidak takut.Akan tetapi ... tetapi justru aku yang khawatir padanya. Bagaimana jika Tuan Steven marah? Dia membahayakan dirinya sendiri.Tuan Steven hanya membalas dengan senyuman. "Aku tidak butuh persetujuan siapa pun atas apa yang aku mau dan apa yang aku tidak mau," tegasnya kepada semua orang."Kalau perlu kita lewat jalur hukum!" ujar Mas Wahyu seakan menantang, "saya akan mendukung Nay walau apa pun yang terjadi. Anda tidak akan pernah menikahinya, kecuali dia sendiri yang bersedia dinikahi oleh Anda!"Aku terperangah mendengar kata-kata yang keluar dari lisan Mas Wahyu.Tuan Steven bangkit dan berdiri. Tatapannya tajam dan gesturnya masih sangat tenang. Tanganku terasa gemetar, hat
"Mau apa lagi bocah cecunguk itu ke sini!" Bi Eli pun bangkit berdiri dan berjalan mendekat ke muka pintu.Tampak Bang Rizal turun dari motor itu kemudian memberikan sejumlah uang kepada orang yang menyetir motor tersebut. Setelah menerima uang, orang tersebut pun pergi meninggalkan halaman rumah Bi Eli. Ya, kali ini Bang Rizal datang di antar oleh seorang pengendara ojek online, terlihat dari jaket yang khas dikenakan pria tadi.Mas Wahyu yang baru meneguk kopi yang aku sajikan langsung bangkit bersiaga.Bang Rizal tampak gusar berjalan menuju ke rumah. Ketika langkahnya semakin dekat, ia menatap mataku dengan sorot memelas.Bi Eli beringsut membiarkan Bang Rizal masuk dengan sikap tidak ramah."Nay, kamu harus menolongku, Nay ...." Bang Rizal duduk perlahan di dekatku."Kamu ngapain lagi ke sini, Rizal?" tanya Bi Eli sengit, "heran Bibi sama kamu. Kamu pasti mau bikin masalah lagi, 'kan?! Nggak bosan kamu bikin kami semua susah, hah?!" tudingnya.Ya, itu benar. Beberapa kali ke mari,