Pagi ini langit tampak cerah. Mentari bersinar dengan gagah. Walau masih malu-malu, bintang terbesar di galaksi Bimasakti tersebut terus merangkak, menanjak tinggi menyebarkan cahayanya yang hangat. Akan tetapi, cerahnya hari tidak seperti suasana yang melingkupi hatiku. Penuh kabut gelap yang terasa sangat sendu dan kelam.Dalam beberapa hari ini pikiranku begitu ruwet juga butek. Statusku kini sudah menjadi seorang janda, belum lagi urusan dengan niat Tuan Steven yang aah ... membuatku tidak bersemangat sama sekali untuk menjalani hidup. Andai boleh meminta mati, mungkin lebih baik mati saja. Ya, daripada harus menerima kenyataan kalau aku bakal menikah dengan pria jahat seperti dia. Huuft ...."Ini, kue brownies dari Nak Wahyu." Tiba-tiba Bi Eli meletakkan sebuah kotak kertas lalu membukanya di atas meja di sampingku yang tengah mengelap beberapa perkakas dapur yang baru saja dicuci. Alisku bertaut. "Mas Wahyu? Kapan dia datang?" tanyaku heran pada Bi Eli yang mendaratkan bokong k
"Loh, Rizal? Ngapain kamu masih aja kemari?" tanya Bi Eli dengan memasang wajah tidak ramah. Mas Wahyu hanya diam di tempat duduknya. Sekali lagi Bang Rizal datang tiba-tiba di hadapannya."Aku ada perlu dengan Nay, Bi," jawab Bang Rizal santai."Ada apa, Bang?" tanyaku dengan hati kebat-kebit."Sini!" Bang Rizal mengajak aku keluar ke teras rumah.Mau tidak mau aku mengikuti langkah Bang Rizal. Khawatir nanti Bi Eli dan Mas Wahyu mendengar urusan persiapan pernikahan oleh Tuan Steven—kalau memang Bang Rizal membahas hal itu.Setelah berdua saja di teras, Bang Rizal pun bicara, "Kamu aku hubungi di WA gak dilihat-lihat, Nay. Sana berkemas sekarang. Steven mau ngajak kamu diskusi soal pernikahan."Nah, 'kan ... seperti yang aku duga. Ini soal Tuan Steven lagi.Aku mengernyitkan dahi. "Bang, selama ini Tuan Steven mengatur semuanya tanpa melibatkan aku. Kenapa sekarang dia butuh pendapatku?" tanyaku sengit kepada lelaki itu, "Lagian Abang 'kan, tahu, kalau aku gak mau nikah dengan dia!"
"Bi, sebaiknya kita masuk. Gak enak dilihat warga ini," tutur Mas Wahyu, "Ayo Nay, kita masuk," ajaknya.Aku pun bangkit dengan masih terus terisak. Lalu duduk di kursi ruang tamu. Bi Eli juga turut mendaratkan bokongnya di sampingku."Kalau benar apa yang dikatakan si Rizal itu, bisa gawat!" cetus Bi Eli. Bibiku tentu tahu siapa Tuan Steven. Tidak pernah ada yang berani menentangnya selama ini."Aku harus bagaimana, Bi?" tanyaku dengan air mata yang masih mengalir deras, "aku gak mau nikah dengan dia.""Steven Arnold, tuan tanah yang terkenal itu ya?" tanya Mas Wahyu memastikan.Aku hanya bisa menganggukkan kepala pelan. Mas Wahyu mungkin tidak begitu mengenal siapa Tuan Steven, sebab ia hanya pendatang di desa ini."Kamu kok, gak bilang-bilang Bibi kalau Tuan Steven naksir sama kamu, Nay?" tanya Bi Eli lagi.Aku hanya bisa tertunduk. Aku juga tidak mengerti, mengapa lelaki blasteran tersebut sangat terobsesi menikahiku."Eemm ... kamu kenapa ga
"Tu–Tuan Steven Arnold?!" Bi Eli pun tak kalah terkejut. Bibi kontan bangkit dari duduknya. Hening.Kami semua terpaku begitu saja.Jantungku seakan berhenti berdetak untuk beberapa detik. Dan setelahnya degupannya begitu kencang seakan sebuah genderang perang. "Si-silakan duduk, Tuan!" ucap Bi Eli seakan kembali tersadar. Ia terbata-bata.Tampak di muka pintu yang terbuka Tuan Steven bersama sang ajudan serta Bang Rizal di belakangnya.Mas Wahyu bangkit dari duduknya dengan perlahan. Ia juga sama kaget seperti kami semua.Aku meletakkan nampan yang berisi secangkir kopi milik Mas Wahyu di atas meja dengan tangan yang tiba-tiba bergetar.Pria dengan alis tebal dan tatapan manik biru tajamnya itu melangkah kemudian mengambil posisi. Ia mendaratkan bokongnya ke salah satu kursi tamu. Kami semua kembali terdiam. Jantungku rasanya mau runtuh akibat debar kerasnya. Keringat dingin mulai terasa mengalir memenuhi tubuhku. Siapa sangka masih pagi begini si Tuan Otoriter datang ke mari. Past
Aku terpana melihat Mas Wahyu yang secara tidak langsung membelaku di hadapan semua orang. Ya, hanya dia yang mendukungku, sementara yang lain? Ah!Mas Wahyu tampak menahan emosi. Wajahnya memerah seakan menantang tuan tanah yang ada di hadapannya. Ia sama sekali tidak takut.Akan tetapi ... tetapi justru aku yang khawatir padanya. Bagaimana jika Tuan Steven marah? Dia membahayakan dirinya sendiri.Tuan Steven hanya membalas dengan senyuman. "Aku tidak butuh persetujuan siapa pun atas apa yang aku mau dan apa yang aku tidak mau," tegasnya kepada semua orang."Kalau perlu kita lewat jalur hukum!" ujar Mas Wahyu seakan menantang, "saya akan mendukung Nay walau apa pun yang terjadi. Anda tidak akan pernah menikahinya, kecuali dia sendiri yang bersedia dinikahi oleh Anda!"Aku terperangah mendengar kata-kata yang keluar dari lisan Mas Wahyu.Tuan Steven bangkit dan berdiri. Tatapannya tajam dan gesturnya masih sangat tenang. Tanganku terasa gemetar, hat
"Mau apa lagi bocah cecunguk itu ke sini!" Bi Eli pun bangkit berdiri dan berjalan mendekat ke muka pintu.Tampak Bang Rizal turun dari motor itu kemudian memberikan sejumlah uang kepada orang yang menyetir motor tersebut. Setelah menerima uang, orang tersebut pun pergi meninggalkan halaman rumah Bi Eli. Ya, kali ini Bang Rizal datang di antar oleh seorang pengendara ojek online, terlihat dari jaket yang khas dikenakan pria tadi.Mas Wahyu yang baru meneguk kopi yang aku sajikan langsung bangkit bersiaga.Bang Rizal tampak gusar berjalan menuju ke rumah. Ketika langkahnya semakin dekat, ia menatap mataku dengan sorot memelas.Bi Eli beringsut membiarkan Bang Rizal masuk dengan sikap tidak ramah."Nay, kamu harus menolongku, Nay ...." Bang Rizal duduk perlahan di dekatku."Kamu ngapain lagi ke sini, Rizal?" tanya Bi Eli sengit, "heran Bibi sama kamu. Kamu pasti mau bikin masalah lagi, 'kan?! Nggak bosan kamu bikin kami semua susah, hah?!" tudingnya.Ya, itu benar. Beberapa kali ke mari,
Alisnya bertaut menatapku. "Mama pasti senang berkenalan dengan kamu," lanjutnya seraya mengulas senyum kecil."Kapan, Mas?" Aku bukannya tidak mau, hanya saja rasanya aku belum siap. Selama ini aku tahu kalau Mas Wahyu selalu berusaha menarik perhatianku. Dan, aku sendiri pun bukan tidak tertarik padanya. Hanya saja ....Dia lelaki muda yang cukup tampan, tubuhnya juga atletis, ia juga lelaki yang sangat baik. Perempuan mana yang tidak tertarik? Termasuk aku, sudah tentu ada rasa itu.Namun, aku menyadari siapa aku. Aku hanyalah perempuan kampung tamatan Aliyah yang mungkin tidak sepadan dengannya. Aku juga seorang janda. Sementara ia adalah seorang bujangan. Apa kata orang tuanya kalau tahu putra mereka tertarik pada perempuan sepertiku? Apa yang bisa ia banggakan di hadapan papa-mamanya?"Pekan depan," jawab Mas Wahyu singkat.Aku menggigit bibir. Berpikir kembali. Apakah ini waktu yang tepat untuk aku berkenalan dengan orang tua Mas Wahyu? Apa tidak terl
Aku sontak berdiri karena kaget mendengar berita yang disampaikan oleh Manda."Gimana keadaannya, Man?" tanyaku lagi."Parah, Kak. Ang–kot yang ditumpangin I–Ibu kebalik karena nabrak trotoar." Manda menjelaskan sambil terisak-isak."Astaghfirullahal adziim ...." Jantungku berdegup kencang mendengar semua itu. Aku sangat khawatir, walau bagaimanapun juga Bi Eli adalah bibiku satu-satunya. Kalau kenapa-napa kedua anaknya bagaimana? Hendi juga ...."Kakak cepat ke sini, Kak. Aku bingung ... udah dulu ya, Kak. Aku dipanggil suster. Kakak ke Rumah Sakit Marzuki ya! Udah dulu, assalamualaikum!" Telepon pun ditutup.Aku menjawab salam dari Manda dengan lirih. Kemudian tercenung."Siapa, Nay?" tanya Bu Mona sembari berjalan ke luar dari kamarnya. Raut wajahnya tampak heran. Mungkin ia melihat aku yang terdiam setelah menerima telepon dari Manda barusan."Maaf, Bu. Saya mau izin pulang sekarang. Bibi saya kecelakaan,"