"Tu–Tuan Steven Arnold?!" Bi Eli pun tak kalah terkejut. Bibi kontan bangkit dari duduknya. Hening.Kami semua terpaku begitu saja.Jantungku seakan berhenti berdetak untuk beberapa detik. Dan setelahnya degupannya begitu kencang seakan sebuah genderang perang. "Si-silakan duduk, Tuan!" ucap Bi Eli seakan kembali tersadar. Ia terbata-bata.Tampak di muka pintu yang terbuka Tuan Steven bersama sang ajudan serta Bang Rizal di belakangnya.Mas Wahyu bangkit dari duduknya dengan perlahan. Ia juga sama kaget seperti kami semua.Aku meletakkan nampan yang berisi secangkir kopi milik Mas Wahyu di atas meja dengan tangan yang tiba-tiba bergetar.Pria dengan alis tebal dan tatapan manik biru tajamnya itu melangkah kemudian mengambil posisi. Ia mendaratkan bokongnya ke salah satu kursi tamu. Kami semua kembali terdiam. Jantungku rasanya mau runtuh akibat debar kerasnya. Keringat dingin mulai terasa mengalir memenuhi tubuhku. Siapa sangka masih pagi begini si Tuan Otoriter datang ke mari. Past
Aku terpana melihat Mas Wahyu yang secara tidak langsung membelaku di hadapan semua orang. Ya, hanya dia yang mendukungku, sementara yang lain? Ah!Mas Wahyu tampak menahan emosi. Wajahnya memerah seakan menantang tuan tanah yang ada di hadapannya. Ia sama sekali tidak takut.Akan tetapi ... tetapi justru aku yang khawatir padanya. Bagaimana jika Tuan Steven marah? Dia membahayakan dirinya sendiri.Tuan Steven hanya membalas dengan senyuman. "Aku tidak butuh persetujuan siapa pun atas apa yang aku mau dan apa yang aku tidak mau," tegasnya kepada semua orang."Kalau perlu kita lewat jalur hukum!" ujar Mas Wahyu seakan menantang, "saya akan mendukung Nay walau apa pun yang terjadi. Anda tidak akan pernah menikahinya, kecuali dia sendiri yang bersedia dinikahi oleh Anda!"Aku terperangah mendengar kata-kata yang keluar dari lisan Mas Wahyu.Tuan Steven bangkit dan berdiri. Tatapannya tajam dan gesturnya masih sangat tenang. Tanganku terasa gemetar, hat
"Mau apa lagi bocah cecunguk itu ke sini!" Bi Eli pun bangkit berdiri dan berjalan mendekat ke muka pintu.Tampak Bang Rizal turun dari motor itu kemudian memberikan sejumlah uang kepada orang yang menyetir motor tersebut. Setelah menerima uang, orang tersebut pun pergi meninggalkan halaman rumah Bi Eli. Ya, kali ini Bang Rizal datang di antar oleh seorang pengendara ojek online, terlihat dari jaket yang khas dikenakan pria tadi.Mas Wahyu yang baru meneguk kopi yang aku sajikan langsung bangkit bersiaga.Bang Rizal tampak gusar berjalan menuju ke rumah. Ketika langkahnya semakin dekat, ia menatap mataku dengan sorot memelas.Bi Eli beringsut membiarkan Bang Rizal masuk dengan sikap tidak ramah."Nay, kamu harus menolongku, Nay ...." Bang Rizal duduk perlahan di dekatku."Kamu ngapain lagi ke sini, Rizal?" tanya Bi Eli sengit, "heran Bibi sama kamu. Kamu pasti mau bikin masalah lagi, 'kan?! Nggak bosan kamu bikin kami semua susah, hah?!" tudingnya.Ya, itu benar. Beberapa kali ke mari,
Alisnya bertaut menatapku. "Mama pasti senang berkenalan dengan kamu," lanjutnya seraya mengulas senyum kecil."Kapan, Mas?" Aku bukannya tidak mau, hanya saja rasanya aku belum siap. Selama ini aku tahu kalau Mas Wahyu selalu berusaha menarik perhatianku. Dan, aku sendiri pun bukan tidak tertarik padanya. Hanya saja ....Dia lelaki muda yang cukup tampan, tubuhnya juga atletis, ia juga lelaki yang sangat baik. Perempuan mana yang tidak tertarik? Termasuk aku, sudah tentu ada rasa itu.Namun, aku menyadari siapa aku. Aku hanyalah perempuan kampung tamatan Aliyah yang mungkin tidak sepadan dengannya. Aku juga seorang janda. Sementara ia adalah seorang bujangan. Apa kata orang tuanya kalau tahu putra mereka tertarik pada perempuan sepertiku? Apa yang bisa ia banggakan di hadapan papa-mamanya?"Pekan depan," jawab Mas Wahyu singkat.Aku menggigit bibir. Berpikir kembali. Apakah ini waktu yang tepat untuk aku berkenalan dengan orang tua Mas Wahyu? Apa tidak terl
Aku sontak berdiri karena kaget mendengar berita yang disampaikan oleh Manda."Gimana keadaannya, Man?" tanyaku lagi."Parah, Kak. Ang–kot yang ditumpangin I–Ibu kebalik karena nabrak trotoar." Manda menjelaskan sambil terisak-isak."Astaghfirullahal adziim ...." Jantungku berdegup kencang mendengar semua itu. Aku sangat khawatir, walau bagaimanapun juga Bi Eli adalah bibiku satu-satunya. Kalau kenapa-napa kedua anaknya bagaimana? Hendi juga ...."Kakak cepat ke sini, Kak. Aku bingung ... udah dulu ya, Kak. Aku dipanggil suster. Kakak ke Rumah Sakit Marzuki ya! Udah dulu, assalamualaikum!" Telepon pun ditutup.Aku menjawab salam dari Manda dengan lirih. Kemudian tercenung."Siapa, Nay?" tanya Bu Mona sembari berjalan ke luar dari kamarnya. Raut wajahnya tampak heran. Mungkin ia melihat aku yang terdiam setelah menerima telepon dari Manda barusan."Maaf, Bu. Saya mau izin pulang sekarang. Bibi saya kecelakaan,"
"Ini kamu pakai aja dulu, Nay," ucap Mas Wahyu sembari menyerahkan sebuah amplop coklat yang aku tahu kalau itu isinya adalah uang."Mas, aku nggak bisa nerima ini." Aku menolak pemberiannya.Mas Wahyu mengernyitkan dahinya."Mas jadi ikut susah karena aku dan keluargaku," ujarku dengan perasaan sedih.Aku memang membutuhkan uang. Namun, aku tidak mau menyusahkan Mas Wahyu lagi. Dia sudah terlalu banyak menolong. Beberapa waktu lalu, ia juga sudah mengeluarkan uang satu juta lebih untuk menalangkan obat-obatan Bibi.Aku sudah mengecewakannya sebab tidak jadi berkenalan dengan orang tuanya, diakibatkan peristiwa kecelakaan Bi Neli yang sangat tidak terduga ini. Namun, ia masih saja peduli."Jangan menolak, Nay. Kamu sudah aku anggap bukan orang lain lagi. Kamu paham, 'kan?" Mas Wahyu menatapku lekat. Ia mendorong amplop coklat itu semakin dekat kepadaku.Aku terdiam melihat amplop itu. Apakah aku harus menerimanya? Aku ta
"Ya," jawab Bang Hanan singkat."A–bang kenapa kok, di sini?" tanyaku penasaran. Sebenarnya aku mau tahu alasan Tuan Steven ada di kota. Aku ... juga tidak tahu mengapa aku penasaran."Biasa. Tuan Arnold mesti berkala ke sini untuk memantau kantornya," ujar Bang Hanan menjelaskan."Ooh." Aku manggut-manggut. "Di mana?" tanyaku lagi. Mengapa aku jadi sangat penasaran begini?"Di seberang sana!" tunjuk Bang Hanan ke arah barat. Di arah sana terlihat sebuah gedung bertingkat yang mewah."Di gedung tinggi itu?" Gedung yang ditunjukkan Bang Hanan tampak paling megah dibandingkan dengan gedung lain di sekitarnya."Iya," jawab Bang Hanan singkat sembari melihat ke arah jam tangannya."Oh.""Sudah dulu. Tuan Arnold sudah menunggu saya," pamit pria yang dikenal kaku itu.Aku mengangguk pelan.Bang Hanan langsung saja melangkah ke arah mini market yang posisinya berada di sebelah apotek tempatku menebus
"Nay!" Tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing di telinga. Ya, itu Mas Wahyu."Eh, Mas Wahyu. Kapan datang?" tanyaku basa-basi. Hampir setiap akhir pekan Mas Wahyu selalu ke mari. Ia tak henti memberikan support kepadaku dan kedua sepupuku."Tadi, jam sepuluh. Hmmm ... kenapa ke sini?" Mas Wahyu melihat ke arah petugas rumah sakit yang sedang sibuk menulis entah apa di buku catatannya."Eng ... nggak, Mas! Cuma nanya perkembangan Bi Eli aja," jawabku menutupi apa yang terjadi.Aku tidak mau Mas Wahyu kembali ikut pusing dengan memikirkan biaya Bi Eli. Ia sudah terlalu banyak mengeluarkan uang membantuku selama ini. Bahkan aku belum mampu untuk membayar semua utangku padanya."Oh," sahut Mas Wahyu singkat."Mbak, aku permisi dulu ya. Terima kasih banyak!" ucapku pada petugas di balik meja tinggi itu."Sama-sama, Mbak," jawabnya ramah.Aku lalu berjalan kembali menuju ke arah ruang Bi Eli. Mas Wahyu j