Sebuah PengakuanPoV Irwan"Nadia ... Mas mohon, bertahanlah. Setidaknya, sampai bayi dalam kandungan Dini lahir," mohonku pada istri yang amat kucintai.Tatapan tajamnya kini berubah menjadi sebuah keheranan. Aku tahu, Nadia pasti bingung dengan semua yang kuucapkan."Mas janji, setelah bayi itu lahir, Mas akan bertindak tegas." Kusambung ucapan ambigu yang membingungkannya."Ada apa dengan bayi itu, Mas? Apa dia ... bukan anakmu?" Nadia sepertinya sangat sedikit syok. Ia terduduk di atas kursi, lantas segera kudekati dan bersimpuh di kakinya.Sungguh, aku rela jika ia memintaku untuk mencium kedua kakinya. Bukan hanya sekadar soal harta, tetapi juga cinta yang kupunya untuknya dan Allisya. Meski aku sangat sadar akan kesalahanku, tetapi aku sangat berharap Nadia mau memaafkanku."Mas yakin, bayi itu bukan anak Mas. Jadi, lima bulan lalu, Mas pernah tugas di Bogor ..."Malam itu, aku bertemu lagi dengan Diniarti yang kebetulan memang wanita yang pernah kucinta semasa SMA dulu. Tak te
Pria di Makam PapaPoV Nadia"Maafkan, Mas," ulangnya untuk ke sekian kali. Dada ini terasa sangat perih, nyerinya sampai ke seluruh tubuh setelah mendengar penjelasan Mas Irwan.Tak apa, setidaknya aku tahu apa yang sebenarnya terjadi melalui mulut Mas Irwan langsung. Namun untuk mengulang kisah yang sama, rasanya aku tak akan sanggup."Aku akan coba memaafkan, Mas.""Benarkah? Terima kasih, Sayang,"sambar Mas Irwan, berdiri dari duduk simpuhnya hendak memeluk tubuhku. Terpaksa, aku hanya bisa mendorongnya daripada menerima pelukannya. Belum rela rasanya, tubuh ini kubiarkan berada dalam dekapnya.Ya, dulu memang hanya dekapannya yang mampu membawaku pada suatu kedamaian, setelah kepergian Papa. Tapi sekarang, kuyakin pelukan itu hanya akan membawaku pada kehancuran."Sekarang pulanglah ke rumah istri sirrimu. Karena aku tidak sanggup lagi menjadi bagian dalam hidupmu. Aku menyerah, tetapi bukan untuk menyerahkan semuanya.""Kenapa begitu, Sayang? Mas mohon, beri Mas kesempatan satu
PoV Nadia"Al, cantik. Mama boleh minta tolong, gak, Sayang?" Gegas kututupi arah pandang Allisya dari pria yang ada di dekat nisan Papaku."Apa, Ma?" Gadis yang sejak tadi murung, menjawab tanpa semangat."Ambilkan tisyu di mobil, ya. Ini kuncinya." Kuberikan kunci mobil pada Allisya. Bukan aku tak khawatir pada gadis kecilku. Hanya saja, ada hal yang harus kulakukan. Biasanya, Allisya akan sangat suka jika kuminta membuka kunci mobil. Lagi pula, aku masih bisa memerhatikannya dari tempatku berada, yang memang tidak jauh dari parkiran.Benar saja, gadis itu segera melengkungkan senyuman seraya menyambar kunci mobil dari tanganku. Selangkah Allisya meninggalkanku, secepat kilat kusambar ponsel dari dalam tas.Bersembunyi di balik rumput ilalang, kunyalakan kamera pada ponselku untuk merekam pergerakan dan ucapan pria berkacamata hitam itu yang sengaja dibeli sepasang dengan milikku."Pa, maafkan Irwan. Tadinya, Irwan sama sekali tidak menyesali ini. Tapi sekarang, rasanya semua yang s
Pasca KecelakaanPoV AuthorSeorang anak perempuan tengah menangis di samping tempat tidur sang Ibu yang kini masih belum sadarkan diri."Mama, bangun, Ma. Al minta maaf, sudah buat Mama nabrak," lirih sang anak merasa bersalah. Pasalnya, sebelum kejadian kecelakaan itu, dirinya baru saja membuat sang Ibu lepas konsentrasinya."Tenang, Cantik. Mama kamu baik-baik saja. Mungkin sebentar lagi Mama sadar," rayu seorang pria seusia Kakek Allisya."Opa serius?" tanya Allisya, menatap pria tersebut tanpa menghapus jejak air mata di wajahnya."Iya. Tenang, ya. Opa juga gak akan ninggalin kamu, sampe Mama diperbolehkan pulang," terang pria tersebut, kembali menarik Allisya ke atas pangkuannya, sebab tadi anak itu sempat tak mau dipangku.Sementara itu, Nadia perlahan membuka matanya. Dilihat sekeliling ruangan tersebut dan ia segera ingat akan kejadian yang baru saja menimpanya."Pak Adnan? Al, Sayang?" panggilnya setengah bertanya, mengapa Pak Adnan ada di sana."Mama!" Allisya segera turun
"Gampang. Gue cuma bilang, polisi saat ini sedang mencari wanita hamil yang katanya ingin merampas resto milik kakak madunya. Dan asal kamu tau, resto ini sekarang sudah dijual ke saya. Udah, gitu doang," jelas Tania seraya terkekeh jahil.Aku tertawa puas. Tidak salah aku memilih salah satu teman yang terkenal bawel dan galak itu, untuk mengurus restoran yang selalu jadi incaran Mas Irwan."Hebat, deh, Lo, pokoknya. Ya, udah. Pokoknya, jangan sampe lengah. Oke?""Siap, Bos.""Makasih ya, Tan.""Gue yang makasih, udah dikasih kerjaan meskipun mendadak banget. Gi_la, subuh-subuh udah ditelpon suruh megang resto. Antara girang sama kaget, sampe bikin gue setengah blo_on, tau, gak!" "Sorry, sorry!" Aku terkekeh lagi mendengar ucapan sahabat ketika kami kuliah dulu.Lupa waktu saking asik tertawa mendengar celoteh teman yang sampai saat ini masih belum menikah itu. Meski begitu, Tania lah orang yang paling bisa dipercaya sejak masih jaman kuliah dulu.**Aku yang tidak pernah melepas hij
Cara Terbaik Mengusir Tikus GotPoV Nadia"Nadia, Mas mohon. Kita baikan, ya. Ijinkan Mas pulang ke sini. Mas yakin, tidak hanya Allisya yang membutuhkan sosok seorang Papa, tetapi kamu juga. Kamu butuh bahu untuk bersandar, Sayang. Kamu butuh sosok laki-laki sebagai suamimu," mohonnya, bersimpuh di kakiku.Benar-benar tak tahu diri. Pura-pura amnesia dengan segala dosa-dosanya. "Baikan kamu bilang? Oke, aku mau. Tapi__""Tapi apa, Sayang? Mas janji, akan turuti apa pun keinginanmu," sambarnya, menarik-narik tanganku seperti anak kecil yang mengajak ke tempat permainan.Kuhempas kasar tangan itu, bahkan menghentakkan kaki agar ia menjauh dari kakiku."Kembalikan kedua wanita itu ke tempat asalnya, tanpa ada jejak apa pun di masa depan. Bisa?" tanyaku, seraya menunjuk ke arah wanita tua tersebut.Mas Irwan menoleh ke arah mertuanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. Ia lantas mendongak ke arahku, "Bisa. Mas bisa kembalikan mereka ke asalnya, tanpa jejak apa pun. Mas janji, akan cerai
BulldozerAku datang tepat waktu. Allisya berlari dari belakang ke arah dalam rumah dengan wajah memerah. Ia menghambur ke pelukanku saat aku menyambutnya."Kenapa, Sayang?""Allisya mau lihat, siapa tamunya. Kalau memang teman kerja Mama, Al gak akan ganggu. Tapi, Kak Ima menahan Al, Ma. Al marah sama Kak Ima," omel anakku, masih dengan raut garangnya."Oh, begitu. Tamunya sudah pulang, Cantik. Kalau itu Papa, pasti Mama sudah panggil Allisya, 'kan? Sudah, yuk, balik ke belakang. Kita nikmati hari ini, mumpung Mama libur."Kugenggam tangan kecil itu menuju halaman belakang. Kuminta Mbak Nani membuatkan segelas es lemon tea untukku. Mungkin, kesegarannya mampu menghalau bara api di dalam dadaku.**Hari ini, aku harus segera menyelesaikan renovasi kerusakan pasca kebakaran di Tangerang. Mau tak mau, aku akan meninggalkan rumah seharian. Kuminta dengan sangat pada Ima, agar selalu berjaga-jaga terhadap siapa pun. Saat ini, hanya Allisya satu-satunya harta yang paling berharga. Jangan
PoV Author"Silakan, Pak. Ini pengajuan laporan saya atas beberapa kasus yang Ibu ini perbuat pada saya. Jadi, bukan baru kali ini dia berbuat ulah," ujar Nadia, memberikan beberapa bukti kelakuan Ibu Rita terhadapnya, baik itu di restoran maupun di rumah."Heh, apa-apaan kamu?" sentak Ibu Rita tak terima."Kenapa, Bu? Anda takut, sisa hidup anda yang berangan menjadi pemilik resto, justeru akan anda habiskan di penjara? Kasian ..." ejek Nadia, enggan berbelas kasihan pada wanita tua yang seharusnya dihormati itu."Apa alasan anda berbuat seperti itu?" tanya seorang polisi pada Ibu Rita."Saya kesal, Pak! Dia ini serakah. Gak mau berbagi. Padahal, restoran suaminya ada 6 dan anak saya hanya mendapatkan 1 bagian di pusat. Wanita serakah ini, terus saja menahan hak anak saya!" jelas Ibu Rita dengan nada bergetar, bersamaan deraian air mata yang terus mengucur dari sudut matanya."Betul begitu, Ibu Nadia?" Polisi tersebut beralih pada Nadia."Saya hanya mempertahankan milik saya, Pak. Kar