Dina langsung berjalan menuju ruang kesehatan yang telah diberitahukan oleh petugas piket di depan begitu mobil yang dia tumpangi berhenti. Bahkan Dia harus sedikit berteriak untuk mengucapkan terima kasih pada sopir kantornya.
Wajahnya yang tadi pagi sedikit pucat makin terlihat pucat, apalagi kekhawatiran jelas terbayang di wajahnya, guru Aksa tadi hanya menjelaskan kalau putranya itu tiba-tiba kejang dan pingsan setelah seorang wanita mendatanginya. Dina bahkan belum bisa menebak siapa wanita itu. apa mungkin Vanya yang diceritakan Angga tadi malam, diam-diam datang kembali menemui Aksa."Nyonya!" seketika Dina menghentikan larinya saat dilihatnya Pak Amin tergopoh-gopoh menghampirinya."Oh, bagaimana dengan Aksa, Pak? Apa yang terjadi?" berondong Dina."Saya juga tidak tahu Nyonya, saat sampai ke sini den Aksa sudah pingsan."Dina mengangguk mengerti, mungkin nanti dia akan meminta keterangan pada gurunya. "Bapak Ikut saya ke dalWanita itu selain memiliki wajah yang cantik dengan sepasang mata sendu yang mengundang juga gaya bicaranya yang lemah lembut sekalipun dia sedang berbicara buruk. Kecantikannya bagai seorang peri yang mampu menyihir siapapun untuk rela dijadikan tempat bersandar, bahkan mungkin tak menyadari kalau hal itu mungkin akan menghancurkan orang itu sendiri. Meski beberapa kali saat berbicara dengannya wanita itu kehilangan kontrol dirinya, saat semua perhatian tak lagi berpusat padanya. Dia licik dan serakah akan perhatian, dia akan melakukan segala cara untuk membuat perhatian kembali tercurah padanya, itulah yang Dina baca dari karakter Keira. “Selamat untuk apa, Din?” tanya Angga yang tidak mengerti ucapan istrinya. “Kamu selalu mengerjakan pekerjaan kantor di sini?” tanya Dina dengan pandangan menyelidik, ada kecemburuan yang terselip dalam ucapannya, tapi berusaha dia sembunyikan dengan baik. “Aku datang barusan dan karena pekerjaan kantor tidak bisa dit
Dina menyusul Angga yang berjalan ke arah kamar yang biasa mereka tempati saat berkunjung kemari. Laki-laki itu langsung masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu, sejenak Dina ragu untuk menyusulnya. Laki-laki dan egonya memang tak bisa dipisahkan, Angga memang baru saja mengambil keputusan besar dalam hidupnya, Dina tak tahu apa yang dirasakan Angga saat ini, menyesalkah, atau rasa bersalah karena membawa masuk Keira dalam keluarganya. “Din.” Dina menoleh saat seseorang menepuk pundaknya. Ternyata mama mertuanya. “Bagaimana dengan Aksa, apakah dia baik-baik saja? Maaf tadi aku mendengar pertengkaran kalian.” Dina menghela napas sejenak. “Selain baru saja pingsan dan stock sekarang Aksa baik-baik saja, dokter memberinya obat penenang, dan dia sudah lebih baik, saat saya tinggal tadi dia sedang tidur.” “Terima kasih, Din, kamu menyayangi mereka dengan tulus bahkan melebihi ayah kandungnya sendiri.” “Tidak sulit untuk menyayangi mereka, M
Tadinya Dina mengira Angga akan langsung datang ke kamar Aksa begitu sampai di rumah dan melihat keadaan putranya, ternyata Dina salah, laki-laki itu itu malah duduk diam membiarkan televisi menonton dirinya. Bahkan setelah Dina selesai mandi dan berganti baju, Angga tetap di sana. “Mas sudah lihat Aksa?” tanya Dina yang mengambil tempat duduk di sebelah Angga. “Mas kenapa ditanya kok diam saja.” Dina menyentuh lengan suaminya meminta perhatian. “Kenapa, Din?” Dina mengawasi suaminya yang seperti orang bingung. “Mas kenapa? Aku tadi bertanya Mas Angga sudah lihat Aksa?” ulang Dina. “Belum.” Angga menggeleng dengan putus asa. “Apa dia akan baik-baik saja kalau melihat aku, apa nanti dia tidak akan histeris, secara tidak langsung akulah yang menyebabkan semua ini terjadi,” kata Angga dengan putus asa. “Kenapa Mas, malah berpikir begitu, Mas Angga itu satu-satunya orang tua kandung yang dia punya, jadi dia akan baik-baik saja
Dina memandang suaminya iba, ditolak oleh darah dagingnya sendiri pasti memberikan pukulan yang sangat besar untuknya. Meski dia tahu ini juga sedikit banyak kesalahan Angga, tapi tetap saja ada rasa tak tega di hatinya.Pelan Dina menyentuh bahu Angga memberinya dukungan agar tak menyerah mendapatkan hati putranya."Bunda di sini, Sayang, Aksa butuh sesuatu?" Dina mendekati ranjang Aksa, setelah memberikan sebuah anggukan kecil pada suaminya.Dipeluknya tubuh anak yang sebentar lagi menginjak masa remaja itu dengan sayang, menenangkannya dengan tepukan halus tangannya di punggung Aksa. "Bunda tidak akan tinggalin Aksa kan?" tanya anak itu dengan tatapan sendu."Apa Aksa berbuat kesalahan?" tanya Dina. Anak itu menggeleng."Apa Aksa tidak sayang Bunda?" "Sayang, Bunda." "Kalau begitu nggak ada alasan buat Bunda tinggalin Aksa," jawab Dina lembut. "Tapi kata Tante Keira-""Sttt, Aksa tanya h
Liburan, saat mendengar kata itu anak-anak langsung bersorak senang, dengan antusias mereka lalu merencanakan apa saja yang akan mereka bawa. Ya Tuhan ternyata memang selama ini Dirinya belum bisa menjadi ibu yang baik, batin Dina. Dia bahkan terlalu sibuk meratapi nasibnya yang tidak mendapatkan cinta dari suaminya, bahkan keinginan kecil seperti liburan bersama saja belum pernah dia wujudkan. Anak-anak memang biasanya pergi berlibur bersama neneknya, tapi liburan yang dimaksud adalah menginap di Villa keluarga mereka yang ada di kawasan pedesaan, meski bagi Dina itu sangat menyenangkan saat kita bisa menghirup udara tanpa pencemaran atau melihat pemandangan alam yang membentang indah. Tapi mungkin tidak demikian untuk anak-anak. Mereka pasti juga ingin seperti anak lain yang pergi ke tempat-tempat yang mereka suka dengan keluarganya, dan Dina merasa sangat berdosa. Karena tidak peka.Pagi itu mereka semua bersiap untuk berangkat dengan masing-masing membawa
Setelah hampir sebulan lebih pontang panting dihajar pekerjaan yang menumpuk, akhirnya hari ini datang juga, hari dimana hasil kerja mereka akan dievaluasi oleh pihak terkait, dan sialnya hari ini juga Sasa harus ijin kerja karena anaknya tiba-tiba sakit, dan sebagai seorang ibu dan juga single parent tentu tak ada pilihan lain bagi Sasa selain ijin tidak masuk kerja. Dan sialnya, yang terhormat Pak Brian Mahendra langsung menunjuk Dina menggantikan posisi Sasa untuk sementara waktu, mendampinginya menghadapi para auditor yang telah bersiap membantai mereka. "Kamu sudah mempelajari semua berkas tadi kan, Din?" tanya Brian saat mereka bersiap terjun ke lapangan mengawal orang-orang itu. "Sudah, Pak, sesuai dengan list yang Bapak berikan tadi," jawab Dina yakin."Baguslah, nanti aku harap kamu bisa membantuku menjawab pertanyaan mereka.""Siap, Pak."Sebagai seorang pegawai tentu Dina tak bisa menolak perintah atasannya mengenai
“Kamu kalau sudah mengomel seperti mamaku saja,” sindir Brian. ““Sayakan memang sudah ibu-ibu, Pak anak saya sudah tiga, ingatkan.” Dina tertawa di akhir kalimatnya. “Kamu sepertinya bahagia sekali menyebut dirimu ibu-ibu padahal banyak wanita di luar sana yang meskipun sudah ibu-ibu enggan untuk mengakuinya dan masih merasa seperti gadis muda.” “Bagi saya menjadi ibu itu satu tahapan kehidupan yang paling mulia, saya merasa memiliki dan miliki oleh seseorang.” “Apa itu cara lain darimu untuk mengatakan supaya aku cepat menikah?” Dina hanya tertawa. “Menikah bukan perlombaan, Pak, kesempatan itu akan datang di saat yang tepat.” “Itu pengalaman pribadi, ya?” “Benar, dulu saya hanya tahu bekerja, tiba-tiba ada duda tampan yang melamar saya dan tak lama kemudian saya harus rela diseret ke pelaminan.” “Aku tak menyangka perjalanan cintamu sereceh itu,” ejek Brian. “Untuk apa yang rumit kalau bisa d
Dina sesekali menengok ke belakang, dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Anggun Paramitha di sana. ternyata wanita itu sudah pergi keluar butik dengan tergesa-gesa. Entah karena perdebatannya dengan Brian atau memang dia sedang ada urusan yang harus dia kerjakan. “Ada apa, Din?” Tanya Brian yang mendapati Dina sepertinya gelisah. “Tidak, Pak, saya hanya khawatir dengan Mbak Anggun.” Sejenak Brian terdiam lalu mengangkat alisnya. “Kalau yang kamua maksud dia akan celaka karena menyetir mobil sendiri, itu tidak akan terjadi karena aku lihat tadi ada manager Anggun yang mengantarnya,” jawab Brian enteng. “Jadi pak Brian tahu kalau Mbak Angggun ada di sini sejak awal?” “Aku hanya tahu managernya, tapi tidak bertemu Anggun,” jawab Brian tanpa beban. Dina hanya mengangguk tak ingin mencampuri urusan Brian lebih jauh lagi. dia hanya orang luar tak bisa begitu saja menghakimi hubungan mereka. “Saya sudah bertanya kemung