“Kamu kalau sudah mengomel seperti mamaku saja,” sindir Brian. “
“Sayakan memang sudah ibu-ibu, Pak anak saya sudah tiga, ingatkan.” Dina tertawa di akhir kalimatnya.“Kamu sepertinya bahagia sekali menyebut dirimu ibu-ibu padahal banyak wanita di luar sana yang meskipun sudah ibu-ibu enggan untuk mengakuinya dan masih merasa seperti gadis muda.”“Bagi saya menjadi ibu itu satu tahapan kehidupan yang paling mulia, saya merasa memiliki dan miliki oleh seseorang.”“Apa itu cara lain darimu untuk mengatakan supaya aku cepat menikah?”Dina hanya tertawa. “Menikah bukan perlombaan, Pak, kesempatan itu akan datang di saat yang tepat.”“Itu pengalaman pribadi, ya?”“Benar, dulu saya hanya tahu bekerja, tiba-tiba ada duda tampan yang melamar saya dan tak lama kemudian saya harus rela diseret ke pelaminan.”“Aku tak menyangka perjalanan cintamu sereceh itu,” ejek Brian.“Untuk apa yang rumit kalau bisa dDina sesekali menengok ke belakang, dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Anggun Paramitha di sana. ternyata wanita itu sudah pergi keluar butik dengan tergesa-gesa. Entah karena perdebatannya dengan Brian atau memang dia sedang ada urusan yang harus dia kerjakan. “Ada apa, Din?” Tanya Brian yang mendapati Dina sepertinya gelisah. “Tidak, Pak, saya hanya khawatir dengan Mbak Anggun.” Sejenak Brian terdiam lalu mengangkat alisnya. “Kalau yang kamua maksud dia akan celaka karena menyetir mobil sendiri, itu tidak akan terjadi karena aku lihat tadi ada manager Anggun yang mengantarnya,” jawab Brian enteng. “Jadi pak Brian tahu kalau Mbak Angggun ada di sini sejak awal?” “Aku hanya tahu managernya, tapi tidak bertemu Anggun,” jawab Brian tanpa beban. Dina hanya mengangguk tak ingin mencampuri urusan Brian lebih jauh lagi. dia hanya orang luar tak bisa begitu saja menghakimi hubungan mereka. “Saya sudah bertanya kemung
Kombinasi badan yang capek dan perut yang lapar membuat Dina langsung menuju meja makan begitu dia sampai di rumah, mendampingi Brian mengawal para auditor itu ternyata hampir meremukkan tubuhnya, ditambah lagi pertanyaan mereka yang membuat pusing kepala."Bi ada makanan, Nggak?" tanya Dina pada Bibi yang sedang sibuk di dapur."Eh, Nyonya, tumben, hanya ada sayur asem sama telur mata sapi sisa makan siang tadi, apa nyonya belum makan siang? Atau mau saya buatkan lauk sebentar?" Bibi memandang heran Dina yang sudah duduk manis di meja makan padahal belum ganti baju. "Nggak usah, Bi, itu saja. Saya sudah makan siang tenang saja," jawab Dina sambil tertawa. "Saya cuma ingin makan masakan Bibi saja. Boleh?" Bibi ikut tertawa. "Boleh banget, Nya," jawabnya antusias. "Saya angetin dulu lauknya, atau mau saya gorengkan ayam sebentar? Ini sudah dingin.""Boleh deh, Bi, tinggal goreng saja, kan?" "Iya."Dengan cekatan Bibi menyed
Dina terbangun pagi itu masih dalam dekapan hangat suaminya, sejenak dia memandang wajah tampan yang sudah menemaninya selama lima tahun terakhir ini. Dadanya masih saja berdebar saat memandang wajah itu, sama seperti lima tahun yang lalu saat awal-awal mereka baru saja menikah. Debar yang indah dan juga menakutkan, dua hal itu bagai dua sisi mata uang yang menemaninya mengarungi pernikahan selama ini. Dina memuaskan diri untuk memandang wajah itu. “Apa ada sesuatu yang salah di wajahku?” Dina terkejut mendapati Angga membuka matanya dan menatapnya dengan mata yang masih mengantuk. Segera dia palingkan muka saat rona merah perlahan naik merambat ke pipinya, dia seperti perawan lugu yang baru saja berdekatan dengan pria. “Syukurlah, Mas sudah bangun jadi aku tidak perlu repot-repot membangunkanmu.” Dina yang salah tingkah langsung melangkah ke kamar mandi dan membersihkan dirinya. Angga tersenyum kecil dan menggeleng pelan melihat tin
Dina menatap cermin di depannya, untuk meneliti wajahnya, selama ini dia jarang sekali untuk berdandan hanya pelembab wajah, bedak dan lipstik sebagai senjatanya, itupun kalau dia tidak lupa memakainya. Beberapa kali Dina memang pergi ke salon bersama dengan mertuanya, dan mencoba berbagai rekomendasi krim wajah yang diberikan mbak-mbak penjaganya di sana, tapi dasar Dina yang memang malas untuk melalui keruwetan itu, akhirnya krim-krim itu hanya digunakan seingatnya saja. “Kamu itu sebenarnya sudah cantik, Din, cuma males dandan saja, coba kamu lebih sering dandan kayak ibu-ibu sosialita teman-temanmu itu.” “Aku nggak punya teman ibu-ibu sosialita, males banget temanan sama mereka, paling kalau ada acara amal saja aku datang kalau untuk ngumpul-ngumpul nggak jelas, mending aku tidur di rumah.” Sasa hanya geleng kepala, Dina dan segala pemikiran sederhananya, mungkin memang dia tidak cocok menjadi orang kaya, batin Sasa gemas.
“Itu yang namanya Vanya?” tanya Dina pada Angga yang sudah kembali menekuni laptopnya saat empat orang itu keluar dari ruangan Angga. Angga menatap istrinya yang masih duduk di tempatnya semula. “Kukira kamu ikut mereka ke ruang rapat.” “Jadi aku tidak boleh ada di sini sebentar?” tanya Dina sambil berjalan mendekati meja kerja suaminya, mengintip sejenak apa yang ada pada layar laptop itu, benarkah suaminya sibuk bekerja atau mungkin sekedar nonton film, batin Dina geli. “Aku tidak berkata begitu.” Dina hanya mengangkat bahu menelusuri meja kerja suaminya yang begitu elegan dengan jari tangannya. “Aku hanya ingin tahu saja, benarkah dia wanita yang menyebabkan Aksa sakit? Ternyata dia sedekat ini denganmu.” Angga menghentikan pekerjaannya. “Bukankah aku sudah mengatakan kalau dia baru pulang dari luar negeri dan meminta pekerjaan di sini.” “Benar, kamu sudah engatakan itu memang tapi kamu tidak mengatakan kalau k
Angin bertiup dengan kencangnya, membuat Dina harus beberapa kali membenarkan tatanan rambutnya yang diterpa angin. Dia sekarang sedang berada di puncak gedung, dari sini Dina dapat memandang gedung-gedung yang menjulang tinggi di sekitarnya, bahkan pemandangan gunung di kejauhan terlihat dengan jelas dari ini. Apalagi suasana yang sunyi dan tenang membuatnya langsung jatuh cinta. “Aku tidak menyangka di atas gedung pemandanganya seindah ini,” kata Dina. “Ini tempat biasa aku melarikan diri dari rutinitas di kantor, tempatnya tenang dan cocok untuk orang yang ingin menyendiri.” Bara di belakangnya tersenyum melihat Dina yang antusias berkeliling atap gedung. “kamu sering kemari, Bar?” “Kalau sedang suntuk aku suka kemari.” “Sendiri?” tanya Dina heran. “Iya, aku lebih suka sendiri.” “Kenapa sekarang mengajakku?” tanya Dina lagi dengan penasaran.
“Apa maksudmu, aku juga punya pekerjaan ditempat lain?” tanya Dina heran. “Mbak nggak pernah dengar perselingkuhan sering terjadi di lingkungan kantor?” “Itu hany terjadi di film saja, Bar, lagi pula ada kamu di samping Mas Angga dan sekretarisnya juga laki-laki.” “Mbak lupa ada orang yang juga berpotensi untuk dekat dengan Mas Angga, dengan beberapa alasan.” Dina memperhatikan Bara dengan seksama,apa maksud laki-laki itu Vanya?“Vanya?” Bara mengangguk samar. “Ceritakan padaku tentang wanita itu?’ Pinta Dina. Bara memandang Dina dalam. “Dulu aku mengenalnya saat Mas Angga mengajakku ke rumah kekasihnya, Ghea.” Mulai Bara, dia mengamati reaksi Dina apa ada kecemburuan di wajah wanita itu, tapi wajah itu hanya datar saja tak terbaca. Membuat Bara mau tak mau melanjutkan ceritanya. “Dan Vanya adalah adek Ghea, meski begitu Mas Angga juga sangat dekat dengan Vanya dan sudah menganggapnya sebagai adeknya sendiri. Semula semua baik-baik saja. Mas Angga dan Ghea bertunangan, tapi sat
Siapa sangka berpetualangan mempercantik diri bisa semelelahkan ini. Setelah Sasa menmintanya lebih tepatnya memaksanya untuk browsing berbagai skincare dan make up juga baju-baju yang pantas digunakan untuk pesta seperti itu, kini mereka harus berjalan mengelilingi mall, untuk sampai ke tempat itu, karena baik Dina maupun Sasa tak ada yang tahu pasti lokasinya.“Kenapa kita tidak ke tempat biasanya ibu mertuaku perawatan saja, sih, Mbak?” tanya Dina dengan kesal, padahal mereka sudah berputar-putar, tapi tempat itu belum juga berhasil dia temukan. “Dina, kamu sender yang bilang kalau perawatan di situ mukamu gatal-gatal, itu artinya tidak sesuai dengan jenis kulitmu.”“Tapi nggak sampai yang parah banget kok, Mbak, mungkin itu efek sampingnya setelah itu kulitku baik-baik saja.” “Iyalah, kamu Cuma perawatan sekali terus ngilang.” Dina kembali berdecak kesal tapi tak bisa mengatakan apa-apa memang benar dia hanya melakukan perawatan saat ma