Mobil yang mereka tumpangi memasuki kawasan sebuah perumahan elit yang sangat khas dengan nuansa jawa, Dina memang pernah mendengar bahwa kawasan ini memang dihuni oleh kaum bangsawan yang masih memiliki hubungan saudara.
Dari bagian depan perumahan sudah terlihat penjaga yang akan mengecek identitas tamu yang akan berkunjung ke kawasan ini, dulu Dina hanya bisa membayangkan bagaimana bagian dalam perumahan ini jika dilihat dari luar saja sudah begitu mewah, bagaikan sebuah istana kerajaan.Seorang wanita tua yang memakai jarit menyambut mereka di depan pintu, mempersilahkan mereka masuk dan segara permisi untuk memanggil nyonya rumah. Perlakuan yang andap asor itu membuat Dina meringis tak enak hati karena diperlakukan begitu oleh wanita yang jauh lebih tua olehnya. Meski Dina tak tahu namanya tapi dia pasti tahu siapa Dina apalagi ada anak-anak yang datang bersamanya.Dina duduk di sebuah kursi yang berada di pendopo rumah itu, meski kawasaSuasana yang indah pagi itu terasa tidak nyata untuk Dina, bahkan burung-burung yang telah bangun dan memperdengarkan kicaunya yang merdu terasa mengejek di telinganya. Meski sudah banyak menduga hal itu tapi ada orang yang dengan jelas mengatakannya membuat Dina diliputi kegelisahan, Dina bahkan tak bisa mendefinisikan dengan jelas apa bentuk kegelisahan itu, ketakutankah? Atau kecemburuan yang sudah berakar?Dina tahu kalau cinta sang suami memang tak pernah untuk dirinya, tapi bukan berarti dia ingin menggali lebih dalam tentang wanita itu. Dina ingin bersembunyi dalam kubangan ketidaktahuan yang dia ciptakan, tapi saat semua misteri bersumber dari masa lalu, maka Dina tak bisa lagi menutup mata. Dia harus tahu dan menyelesaikan semua ini, paling tidak dia bisa membenahi apa yang telah rusak ataupun memotong bagian yang busuk agar tidak menjalar ke tempat lain.“Jadi siapa wanita itu, Nyonya?” Wanita tua itu mendesah pasrah dan memandang Dina dengan tatapan mata yang sulit dia
Keheningan itu terasa seperti lubang hitam yang akan menelan setiap manusia ke dalam pusaran kegelapan yang pekat, sepi, dingin dan mencekam. Mereka tenggelam dalam pemikiran masing-masing, berusaha menyelami apa yang baru saja menjadi bahan pembicaraan mereka berdua. Mereka masih diliputi keheningan saat ponsel Dina berdering mengagetkan keduanya. Dina memperhatikan nama suaminya yang muncul di layar, Dina mendesah lelah dia sangat tidak ingin bicara dengan suaminya terlebih dahulu, cerita mama Laras membuatnya masih shock dia tidak mau keceplosan mengucapkan apa pun yang akan dia sesali nantinya, tapi saat mengingat Ara bersama suaminya itu membuat Dina tak tenang, dia tahu kombinasi antara suami dan anak-anaknya saja bukan komposisi yang bagus. “Maaf saya terima telepon dulu.” Dina langsung berdiri tanpa menunggu jawaban Nyonya Aryobimo. “Ya?” “Kamu masih di rumah omanya anak-anak?” tanya Angga di uju
“Bunda!” Ara tersenyum lebar saat melihat Bundanya mendekat, anak itu sedang menaiki komidi putar dan tertawa lebar melambaikan tangan padanya. Wajahnya ceria meski tampak lelah. Dina membalas lambaian tangan putrinya, dia gemas sekali dengan kuncir dua Ara yang sudah berantakan. “Kukira kamu pergi sama Mbak pengasuh,” kata Dina saat dia berdiri dekat suaminya yang menumpukan tubuh di pagar pembatas komidi putar. “Aku memang pergi dengannya, tapi aku minta dia pergi membeli es krim untuk Ara.” Dina hanya mengangguk mendengar jawaban suaminya, dia ikut menumpukan tubuhnya di pagar pembatas. “Apa Ara merepotkanmu?” tanya Dina. Angga tersenyum memandang istrinya. “Aku tahu maksud pertanyaanmu, ini memang kali pertama aku pergi dengan Ara tanpa kamu, tapi semuanya baik-baik saja, Ara bukan anak yang sulit didekati, bagaimanapun aku papanya ada sebagaian darahku yang mengalir di tubuhnya. Tentu
Bagi Dina hari libur bukan waktu untuk berleha-leha, tapi waktu dia untuk membereskan pekerjaan rumah yang ada, memang banyak asisten rumah tangga yang dipekerjakan oleh suaminya tapi Dina bukan tipe istri dan juga ibu yang akan melepas semuanya pada orang lain. Jadi jangan harap Angga yang jarang berada di rumah saat matahari menyinari bumi seperti ini, harus kecewa saat pergi ke kamar tamu yang untuk sementara di tempati sang istri kosong tanpa menemukan wanita itu di dalamnya. Angga mengatakan sementara karena laki-laki itu bertekad untuk meyakinkan sang istri untuk kembali seperti dulu dan menempati kamar mereka lagi. “Nyonya di mana, Bi?” tanya Angga saat melhat asisten rumah tangganya lewat. “Di belakang, Tuan, sedang membuat camilan.” Angga mendesah, lalu kembali ke kamarnya, dia ingin tidur siang sejenak sebelum nanti mengumpulkan energi untuk bersitegang dengan sang istri. Angga tersenyum kecil, Dina memang bukan ti
Dina memandang nanar laki-laki yang masih duduk di depannya, Angga memang tak pernah berubah, sejak pertama kali mereka bertemu, dia memang sudah seperti itu, bertanggung jawab pada Dina dan keluarga secara finansial dan berlaku lembut itu saja, tapi hambar. Tidak ada kasih sayang yang tulus di sana, Dina merasa hampa. Dia ingin menertawakan kata sedikit yang dibilang Angga. "Sedikit, ya, setelah lima tahun kita bersama, setelah pengabdianku selama ini padamu?" Dina berkata dengan pahit."Dan sekarang setelah kehadiran Keira aku tak yakin yang sedikit itu akan bertambah bisa juga jadi hilang," lanjut Dina."Itu tidak akan terjadi," Angga berkata dengan yakin. "Karena tidak pernah sekalipun Keira ada dalam pikiranku.""Bohong!" bantah Dina dengan keras."Kamu boleh tidak percaya tapi itulah kenyataan, aku memang selalu menjaga Keira, tapi itu bukan tentang rasa, tapi hanya tentang bisnis belaka, aku menganggap Keira ad
Dina baru saja turun dari mobil, seperti beberapa hari ini Angga selalu mengantarnya terlebih dahulu dan anak-anak. Baru kemudian dia berangkat ke kantor dengan sopir pribadinya yang mengikuti di belakang. Meski Dina mengatakan kalau itu terlalu berlebihan dan boros tapi laki-laki itu sepertinya tak peduli, dia tetap saja melakukannya dengan senang hati. Apalagi dia juga masih enggan untuk berdekatan dengan suaminya itu, apalagi pengakuannya kemarin yang telah berhasil memporak-porandakan hati Dina. Ya sudahlah duit-duit dia juga, batin Dina kesal. “Halo, Mbak sudah dengar berita terbaru belum?” Dina yang baru saja sampai di lobi kantornya tiba-tiba dikejutkan oleh Siska yang menarik tangannya agar sedikit menyingkir. “Kamu apaan sih, Sis, masak beritanya nggak bisa nunggu,” jawab Dina dengan sebal. “Issh ini penting banget, Mbak, Mbak Dina harus tahu.” Tanpa meresa bersalah Siska terus menyeret t
Pekerjaan bertemu klien atau perwakilan perusahaan yang akan menjadi donatur di yayasan mereka, bukan jenis pekerjaan yang disukai Dina. Pekerjaan seperti itu menuntut kita untuk selalu tersenyum manis, ramah dan kata-kata yang persuasif, tak jarang kalau kita harus sedikit merayu atau bersikap centil di hadapan mereka.Itu sama sekali bertolak belakang dengan kepribadian Dina yang cenderung blak-blakan dan apa adanya, kadang dia bisa bersikap sangat judes jika ada yang tak berkenan di hatinya, kadang dia bisa bersikap sangat ramah pada seseorang yang jelas Dina tak suka berpura-pura.Dina bahkan tak tahu alasan Brian membawanya ikut serta kali ini, alih-alih membawa Sasa yang lebih luwes untuk urusan begini."Mbak Sasa nggak ikut, Pak?" tanya Dina saat mereka sudah duduk manis di dalam mobil dengan Brian di sampingnya, sibuk mempelajari berkas-berkas yang baru saja selesai dia siapkan, ada sedikit rasa bersalah pada diri Dina, saat melihat atasannya terpa
“Jadi ini alasanmu menolak mentah mentah ajakanku balikan.”Dina yang sedang menikmati makanannya sontak menoleh ke belakang. Di sana berdiri dengan wajah marah wanita cantik dengan penampilan yang up to date dari kepala pundak lutut kaki. Dan pastinya semua meneriakkan kata mahal. Tidak bisa dipungkiri wanita ini memang sangat cantik, apalagi saat diperhatikan dari dekat, Dina saja yang perempuan sangat mengagumi hal itu. tapi sepertinya kecantikannya tak dibarengi dengan etika yang baik, bahkan dia dengan tidak sopannya memandang Dina dari atas ke bawah dengan pandangan meremehkan. Hai atittude, Mbak. Ingin sekali Dina meneriakkan hal itu, tapi sebisa mungkin dia tahan. Dia tidak akan sudi memeprmalukan dirinya sendiri dan bertengkar dengan mantan tunangan atasannya itu. Dia wanita bersuami, demi Tuhan, dan tak ada sedikitpun keinginan Dina, untuk merebut Brian dari wanita itu. “Duduklah, tidak baik bicara sambil berdiri,” jawab Bri