Share

Terserah

Pov Elvan

“Terserah, kalau memang kamu mau, silahkan ambil saja, sana!” ujarku tidak peduli.

Bukankah malah bagus jika ada lelaki lain menggantikan kewajibanku menjaga Jihan? Aku tidak peduli. Mungkin memang sudah saatnya aku menunjukkan siapa aku sebenarnya, aku tidak mau bersandiwara lagi. Aku lelah dan aku akan melakukan apa pun yang aku sukai.

Dua tahun hidup dalam ikatan pernikahan dengan wanita yang tidak aku cintai membuat aku sangat tersiksa. Aku ingin mencapai kebahagiaanku sendiri, jika wanita itu memang mencintaiku, sepatutnya dia menyetujui permintaanku tanpa berdrama lebih dulu seperti sekarang. Anggap saja balas budi karena selama ini aku sudah memperlakukan dirinya dengan baik layaknya suami pada umumnya.

“Kamu?” Arian melotot tidak percaya atas ucapanku barusan. Ya, mungkin dia tidak akan menyangka akan jawabanku yang dengan mudah menyerahkan wanita itu padanya. Wanita yang selama dua tahun ini sudah menemaniku meski aku risih berada di dekatnya.

Entahlah, aku sendiri tidak tahu kenapa aku bisa tidak tertarik oleh wanita itu. Mungkin sifat manjanya yang bertolak belakang dengan Cristal, perempuan mandiri dan tangguh dalam segala hal.

“Tarik kembali ucapanmu, jangan sampai kamu menyesal telah mengatakan hal itu padaku. Jika suatu saat aku bisa menarik perhatian Jihan dan mendapatkan cintanya, aku harap kamu memegang kata-katamu saat ini,” tekannya sekali lagi.

Aku tidak peduli, benar-benar tidak peduli. Aku harus memikirkan cara apa untuk bisa meyakinkan Cristal agar mau tetap menerimaku menjadi suaminya. Aku tidak bisa kehilangan Cristal begitu saja, aku bisa mati jika hidup tanpanya.

Aku memilih beranjak dari duduk meninggalkan Arian, bukannya mendapatkan solusi, yang ada menambah masalah dengan petuah-petuahnya. “Mau kemana, kamu?” cegah Arian.

“Pulang, aku harus memikirkan cara agar semuanya selesai sesuai mauku.” Aku langsung melenggang pergi begitu saja tanpa menoleh lagi ke arah pria itu.

Dalam jangka waktu lima belas menit, aku sampai di rumah tempat tinggalku dengan Jihan. Suasana dalam rumah terlihat senggang dan sunyi, tidak seperti biasanya mana kala Jihan selalu berisik hingga membuat telingaku panas akan pertanyaan-pertanyaan juga cerita tentang kesehariannya. Sungguh hal itu sangat memuakkan, meski aku selalu menanggapi singkat setiap perkataannya, namun tak khayal perempuan itu terus saja mengeluarkan suara.

Namun malam ini sungguh berbeda, suasana hening seperti ini ternyata lebih menenangkan pikiranku dari pada harus rame akan nada suara Jihan. Aku langsung pergi ke kamar tamu, semua sudah Jihan ketahui, tentang perasaanku yang sebenarnya. Jadi, aku tidak perlu lagi tidur di dalam kamar yang sama. Lebih baik aku tidur sendiri saja, lagi pula, dia butuh waktu untuk berpikir dan menenangkan diri.

Ku lirik jam di dinding ternyata sudah pukul sepuluh malam. Berniat membersihkan diri, seketika teringat jika seluruh pakaianku justru ada di kamar utama. Dengan sangat malas, mau tidak mau aku harus ke kamar Jihan dan mengambil semua pakaianku.

Ku naiki lantai dua menuju kamar tempat wanita itu berada. Tanpa basa basi, aku langsung membuka pintu cukup keras. Di dalam ternyata tidak ada orang, mataku mencoba mencari keberadaannya, namun tak terlihat batang hidungnya. Ku angkat kedua bahuku masa bodo, ku lanjutkan langkah menuju walk in closet.

Sebuah benda kotak besar berada di bawah pakaian gantung dalam lemari, segera saja ku ambil semua barang-barangku tanpa tersisa satu pun. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal lagi, aku segera menyeret koper tersebut keluar kamar. Sampai pintu tertutup, aku tidak mendengar apa pun sebagai tanda ada orang di sana.

Baguslah, aku bersyukur karena malam ini tidak mendapati wajah perempuan itu. Ku ambil satu stel baju tidur dan membawanya ke kamar mandi setelah menata semua pakaian di kamar tamu. Lima belas menit, aku keluar dengan wajah lebih segar dari sebelumnya.

Ku rebahkan tubuh lelahku ini ke atas ranjang, sejenak aku belum memejamkan mata karena pikiranku melayang teringat kesedihan di mata Cristal. Aku khawatir dan takut dia kecewa karena penolakan dari keluargaku, bertambah aku yang tidak bisa menghubunginya sejak tadi. Ingin sekali rasanya aku lari ke Apartemen miliknya namun, ini bukan waktu tepat untuk bertamu.

Hampir satu jam, aku tetap tidak bisa tidur dan hanya bergulang guling di atas kasur saja. Kesal, akhirnya aku pergi ke dapur membuat kopi sebagai teman malamku. Aku menyalakan lampu teras samping rumah dimana tempat itu merupakan taman bunga kesukaan Jihan. Aku memang membebaskannya mendesain sesuai seperti maunya, tidak pernah sekali pun aku membatasi dia maupun menuntutnya untuk sesuatu hal.

Ku daratkan tubuhku pada bangku panjang dengan ukiran Jepara yang indah di pinggir taman. Ketika ku lihat ke atas bermaksud menatap bintang, aku melihat Jihan duduk di balkon dengan tatapan kosong. Bisa ku pastikan dia menangis sedari tadi karena pupil matanya bengkak.

Ada sedikit rasa bersalah datang tiba-tiba dalam hatiku, Jihan selama menjadi istriku, tidak pernah sekali pun menangis. Aku berhasil membuatnya tersenyum serta melupakan kesedihan karena di tinggal Kakakku. Entah kenapa, rasa tidak peduli yang aku tunjukkan pada Arian tadi hilang begitu saja.

Aku merasa bersalah, iya, aku memang merasa bersalah karena telah menanamkan luka pada istriku sendiri. Sebagai suami sudah sepatutnya aku membuat dia selalu tersenyum dan bahagia namun sekarang, aku malah menanamkan luka terdalam di hatinya.

“Maaf,” lirihku tanpa memutus kontak mataku pada perempuan berhijab instan abu-abu di atas sana.

Entah dia mendengar atau tidak, beberapa detik setelah ucapan maaf dari bibirku, Jihan menoleh ke bawa dan mendapati aku sedang menatapnya intens. Tanpa senyum tanpa sapaan, Jihan bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam kamar, menutup pintu dan jendela kaca menggunakan horden lebar nan tebal seolah tidak ingin pandangan mataku menembus area dalamnya.

“Huft….” Ku hembuskan nafas lirih.

Tersirat di mata perempuan itu betapa dia sangat terluka dan mencoba tegar di depanku. “Maafkan aku, Jihan. Aku tahu kamu sakit hati saat ini, aku sebenarnya tidak ingin semua ini terjadi. Andai aku bisa memilih, aku pun ingin Allah memberi rasa cinta ini untukmu tapi, realitanya tidak bisa. Aku justru melabuhkan cintaku pada wanita lain bukan pada sekoci yang sudah menemaniku berlayar mengarungi bahtera rumah tangga kita.”

Aku penasaran sekali, sedang apa Jihan setelah masuk ke dalam kamar. Apakah dia akan menangis lagi atau langsung tidur karena lelah memikirkan semua yang terjadi hari ini. Apakah aku harus menyusulnya masuk untuk mengetahui keadaan wanita itu?

Ah, tidak. Dimana harga diriku di hadapan istriku setelah aku melakukan kesalahan besar baginya. Walau menurutku hubungan aku dan Cristal bukanlah kesalahan. Aku tidak peduli lagi, aku habiskan minumanku lalu masuk. Lebih baik aku istirahat dan meliburkan otakku agar tidak stress memikirkan masalah ini. Setelah membuka mata esok, ku harap keadaan akan jauh lebih baik lagi dari pada malam ini termasuk, Jihan.

Mraazzahra

Hai semua, ini karya pertamaku di GoodNovel, semoga suka ya... jangan lupa untuk menambahkan cerita ini ke ranjang. Terima kasih

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status