Di pagi buta, Tanjung terbangun oleh suara bel. Dengan pelan dia turunkan jari-jari Serina dari rahangnya. Semalam entah alasan apa yang membuat Serina malah bermain-main dengan wajahnya.Tanjung bergerak sepelan mungkin agar tak membangunkan Serina. Ia mengatur selimut agar tetap menutupi tubuh Serina hingga sebatas dada. Bunyi bel semakin cepat. Tanjung segera membuka pintu sebelum Serina terganggu. Siapa yang datang di pagi buta begini? Apakah Markus atau staf hotel?Bukan keduanya. Saat pintu terbuka, Tanjung malah berhadapan dengan seorang wanita bertubuh mungil yang menatapnya tajam.Garis-garis rahang yang tegas dan bibir yang menipis. Meski bertubuh kecil, jelas auranya tidak biasa. “Mana Serina?”Suara yang dingin dan tegas sekilas mengingatkan Tanjung pada Narumi. Sorot mata yang mengancam itu tidak jauh berbeda dengan yang sering kali Narumi layangkan padanya.“Anda siapa?”“Bangunkan dia.”Kening Tanjung mengerut. “Saya perlu tahu identitas Anda.”Tatapan itu kian menaja
Tanjung mendengar decakan kesal dari balik punggungnya. Ia tahu pasti seberapa berambisi Serina untuk menyingkirkan Narumi. Rasa-rasanya wanita tinggi semampai itu tidak lagi melawan Narumi untuk Tanjung, tapi untuk dirinya sendiri. Alih-alih memudarkan tatapan tajamnya, Izora tetap menyorot Tanjung dengan dingin. “Itu tindakan yang benar. Lawan musuhmu sendiri, jangan mengandalkan wanita.” Kata-kata itu menusuk terlalu dalam ke jantung Tanjung. Harusnya ia menyadarinya sejak awal. Dia terlalu putus asa sampai akhirnya mengambil jalan bodoh dengan memanfaatkan seorang wanita. “Ayo kita pulang.” Pandangan Izora menembus melewati tubuh Tanjung, pada Serina yang masih menggertakkan gigi di ranjang. “Aku tidak mau.”“Berhenti bermain-main, Renata.”Serina terpaku. Saat Izora memanggil nama aslinya, maka wanita itu sudah amat marah. Tak ada celah untuk membantahnya. Yang lebih mengesalkan lagi, Tanjung malah berbalik, mendekati ranjang dan bersiap menggendong Serina. “Tidak perlu dia
Tanjung kembali ke kamar hotel. Saat itu juga ia merasakan kekosongan. Seolah ada sesuatu yang hilang. Ruangan itu kini menampung dirinya saja. Hanya suara napasnya yang mengalun pendek. Ranjang menjadi kosong. Aroma Serina pun menghilang. Seketika sekujur tubuh Tanjung dirayapi dingin. Sebab tak ada lagi tubuh lain yang bisa dipeluknya. Dua malam bersama Serina entah mengapa membawa sesuatu yang besar di hatinya. Tanjung menarik napas pendek sebelum memutuskan keluar dari kamar hotel. Tak ada yang bisa ia lakukan di sana. Ia memutuskan kembali ke kediaman Maulana–neraka yang sebenarnya.Para pekerja sudah berlalu lalang, tanda jika Narumi belum bangun. Mereka mengerjakan tugas terburu-buru sebelum sang nyonya besar bangun dan melihat mereka. “Tuan!!!!”Hanya Risa yang berani memanggilnya di antara puluhan pelayan yang mondar-mandir sambil sesekali meliriknya segan. “Tuan ke mana saja? Saya sangat khawatir.”Tanjung enggan menjawab. Bibirnya berat untuk terbuka. “Nyonya mencari T
Alih-alih senang karena musuhnya sudah pergi, Narumi malah terlihat tidak suka. Risa gemetar di tempatnya. Setelah ini dia pasti akan disalahkan. “Aku yang memulangkannya.”“Kenapa? Kau takut aku akan menghancurkannya?”Tanjung membalas tatapan kejam itu. Mulai saat ini, ia akan menghadapi Narumi sendirian. Apa pun risikonya akan dia tanggung sendiri. “Tidak perlu membahasnya lagi. Kembalilah seperti dulu. Ibu yang memperlakukanku seperti boneka Ibu, cukup bersikap seperti itu.”Sepersekian detik kemudian, Tanjung bisa melihat kilat misterius di mata Narumi, seperti sinyal berbahaya yang tak boleh ia abaikan. “Akhir-akhir ini kau suka sekali menantangku.” Badan tegap itu berbalik dan perlahan meninggalkan pintu kamar Tanjung, meninggalkan jejak mencekam yang mencekik napas. Tanjung menyadari, jika keputusannya membawa Serina ke rumah ini sangatlah salah. Ia dilanda keputusasaan sampai tidak mampu berpikir dengan jernih.*** Akhirnya mereka sampai di vila milik Izora. Puncak b
“Kau pernah merasa kacau?”Serina mengunyah makanannya dengan lahap. Akhirnya dia bisa makan di meja makan dengan tenang. Ia menyelesaikan kunyahannya sebelum menjawab pertanyaan Izora. “Iya, seperti ada yang berbeda dari tubuhku. Aku merasa ketakutan dan tenggelam dalam kesedihan. Kau tahu ‘kan … mentalku tidak selemah itu kecuali jika kau menyuntikkan obat aneh padaku secara diam-diam.”Hening menyergap secara tiba-tiba. Entah Kayman yang duduk di ujung meja maupun Izora yang menjadi kaku di di hadapan Serina. Mereka bertiga menyadari bahwa ada sesuatu yang salah. “Aku selalu mewaspadai makanan ataupun minuman yang selalu masuk ke mulutku di rumah itu.”“Kau pernah ke rumah sakit.” Izora yang memperkuat kecurigaan itu. Semua informasi tentang Serina selama ini ia dapatkan dari Ronald, tangan kanannya.Serina membanting garpunya sampai suara denting piring dan sendok memekakkan telinga. “Sialan! Nenek Lampir sialan itu sangat cerdik. Dia pasti sengaja melukaiku agar bisa menyuntikk
Helaan napas pelan itu berembus mendominasi dinding lift yang dingin. Tak sedikit pun Narumi melunturkan wajah angkuhnya meskipun hanya ada dirinya di dalam ruangan besi yang sempit ini. Seperti apa menantu yang dia inginkan? Pertanyaan itu sudah muak ia dengar. Telah berulang kali ia dapatkan dari berbagai macam orang. Narumi tak pernah menjawabnya. Meskipun yang bertanya adalah sosok presiden sekalipun.Karena ia tak butuh menantu. Dia tak menginginkan sosok menantu di rumahnya. Tak akan ia biarkan anak dari perempuan jalang itu menikah dan memiliki keluarga seperti ibunya. Narumi ingin melihat anak itu tumbuh menjadi sosok yang dia inginkan. Sosok yang dia manfaatkan habis-habisan dan sosok yang akan menjadi orang paling kesepian di dunia ini, bahkan lebih dari yang dia rasakan. Tanjung akan menjadi pionnya, aset, dan boneka yang akan dia gunakan sepuasnya. Karena anak itulah dia kehilangan cintanya, keluarga, dan seluruh hidupnya. Ia kembali mengingat saat dirinya jatuh cinta
Ballroom hotel bernuansa emas dan gelap, khas Maulana. Aroma mawar yang sedikit menyengat mendominasi udara di dalam ruangan maha luas itu. Saat kepala mendongak, puncak langit-langit yang dikelilingi lampu-lampu mewah seolah seperti langit yang sesungguhnya. Amat tinggi dan menyilaukan. Setiap tahun Tanjung menyiapkan acara megah seperti ini. Tiap tahun pula ia mesti mengumpulkan semua kolega, karyawan, dan petinggi perusahaan dalam satu ruangan. Lalu yang duduk di takhta tertinggi dan menerima semua pujian adalah Narumi Maulana, putri tunggal Maulana yang berhasil mempertahankan bisnis Maulana dan membentuknya menjadi kerajaan makanan yang besar. Wanita hebat yang berhasil mendidik pewaris hebat sepertinya.Wanita bergaun maroon gelap itu berdiri di tengah orang-orang penting dan menjadi pusat perhatian. Orang-orang berebut ingin menjalin relasi dengannya. Para pegawai di perusahaan memanfaatkan acara ulang tahun perusahaan untuk mendapatkan perhatiannya. Tanjung menjauh dari ker
Dalam sekejap, seisi ballroom dipenuhi rahang-rahang yang terbuka, mengagumi sosok indah di atas panggung yang bersinar dengan gaun pastelnya. Terbuka di sepanjang bahu dengan potongan lengan yang menjuntai ke bawah bagai sayap yang tertutup.Rambut kelamnya yang bagai malam pekat tercepol dengan anak-anak rambut yang terjatuh, menonjolkan kulit bahunya yang mulus bak porselen. Suaranya melantun indah menyebutkan nama Maulana.Tanjung terperangah. Bukan hanya pada kecantikan sempurna yang dipamerkan Serina di atas sana. Namun, pada kehadiran tiba-tiba wanita itu. Mengapa Serina kembali?“Saya istri dari Tanjung Maulana.”Semakin senyap dan kian tegang. Dari ekor matanya, Tanjung melirik ekspresi Narumi yang tak tertebak. Bibirnya tak mengetat seperti biasanya, seolah kedatangan Serina kembali bukan masalah besar baginya.Atau justru … Narumi memang menunggu kedatangan Serina.Tanjung meremang. Tidak. Ia harus memulangkan Serina lagi. Dia hendak bangkit dari duduknya ketika senyum mani