"Bagaimana? Semua beres?" Angeline berdiri di depan jendela dengan handphone di telinga. "Beres, Baby Girl. Kami sudah dalam perjalanan pulang," kata Nathan di ujung sana. "Syukurlah. Aku pesan makan siang untuk kita semua. Uhm ... Jonathan datang." Angeline melirik ke sofa ruang tamu tempat Jonathan duduk bermain bersama Rafael dan Olivia. "Mau apa dia?" Nada suara Nathan berubah. "Sebenarnya dia ke rumah papa, tapi berhubung tidak ada orang maka dia kemari," jelas Angeline. "Pandai sekali dia beralasan." Angeline mendekap mulut supaya tidak tertawa. "Sebentar lagi kami sampai." "Oke." Percakapan seluler pun berakhir. Angeline melihat tiga buah mobil hitam berkilat berhenti di tepi jalan. Semua orang turun dari mobil. Gabriel terlihat mengomeli Mike yang menggandeng Cherry. Nathan tidak mempedulikan drama kecil tersebut. Dia punya prioritas lain, kembali pada istri dan anak-anaknya. "Nath—" Tidak memberi kesempatan bicara, Nathan memelu
Angeline memandangi Nathan yang tertidur setelah aktivitas yang menguras tenaga. Bagaimana tidak lelah? Bercinta satu kali di tempat tidur, satu kali di kamar mandi, kemudian menambah satu kali lagi saat mereka rebah bersebelahan di tempat tidur. "Sleep well, Honey Bunny," bisik Angeline. Hati-hati sekali agar tidak menimbulkan suara Angeline berpakaian dan keluar dari kamar. Dia masih penasaran apa yang sebenarnya terjadi dengan Mike dan Cherry. "Hei, tenagamu kuat juga. Hebat." "Yeah, Uncle. Papa teach me." Rafael menyeringai. Jonathan mendengkus, "Papamu? Oke, lumayan. Uncle akan ajari jurus yang lebih bagus." Wajah Rafael berbinar, "For real?" "Yes, for real." Angeline berdeham keras-keras. "Mama! Uncle Jo mau mengajariku!" Rafael berseru gembira. "Ya, Mama dengar." Angeline melihat Olivia tidur di gendongan Gloria, "Oh, Oliv tidur nyenyak." "Dia cukup lelah bermain dengan para lelaki ini," ujar Gloria. "Ternyata Princess-ku suka
"Biar aku mengantarmu." Jonathan berdiri menghadang di pintu. Angeline yang menggendong Olivia serta-merta terbengong, "Eh? Apa maksudmu? Mengantar ke mana?" "Kamu mau menjemput Rafael ke sekolah, bukan? Biar kuantar." "Tidak usah. Darman mengantarku." Angeline mencoba berjalan mengitari Jonathan. "Angel, kurasa aku harus menemanimu." Lelaki itu melangkah ke samping, menutup jalur pelarian Angeline. "Sudah kubilang tidak usah." "Aku memaksa." Jonathan mengambil Olivia dari gendongan Angeline dan segera berjalan keluar. Bayi itu menatap heran, kemudian tersenyum lebar. "Hei! Jangan! Astaga, ini pemaksaan!" Spontan Angeline menarik baju lelaki itu. "Ya. Aku memang pemaksa." Jonathan berjalan ke mobil. "Jonathan! Aku tidak mau!" "Terlambat untuk menolak. Olivia sudah menyetujui." Darman yang sudah siap sedia di belakang kemudi menggaruk kepala melihat adegan tersebut. "Silakan." Jonathan membukakan pintu untuk Angeline. "Sini, Oliv.
Menjelang sore, semua orang—kecuali Jonathan—berkumpul di ruang kerja rumah Gabriel. Semua mata mengikuti sosok tuan rumah yang mondar-mandir. Raut wajah lelaki paruh baya itu terlihat resah. "Kurasa Bryan tidak akan main fisik, Pa. Aku saja cuma dijebak, 'kan?" Mike angkat bicara. Angeline segera menahan Nathan yang sudah ancang-ancang menjitak adiknya. "Tetap saja kita harus waspada. Tidak ada yang bisa menebak apa yang dapat dipikirkan oleh orang-orang seperti mereka, terutama jika tujuannya adalah untuk menjatuhkan Golden Yue," ujar Gabriel. "Kapan Anda terbang ke Macau?" tanya Nathan. "Malam ini." "Perlu aku ikut bersamamu?" Gabriel tersenyum tipis, "Macau bukan wilayahmu, Nathan. Kamu tidak mengenal seluk beluk di sana. Cukup aku sendiri untuk menghadapi Rhein Long. Kamu harus tetap di sini untuk melindungi Angel dan anak-anak." Nathan tidak mendebat perkataan Gabriel. Dulu dia pernah merasa tak berdaya ketika Angeline diculik oleh Jonathan, d
"Kami menemui rintangan besar, Tuan Long." Bryan terlihat menggenggam handphone dengan penuh emosi. Setelah insiden dengan Jonathan, dia kembali ke hotel meninggalkan rekan-rekannya. "Apa yang terjadi?" tanya Rhein Long di ujung sana. "Jonathan berada di pihak mereka." Hening sejenak. "Dia putra si tua Mei?" "Benar, Tuan. Dia membuat empat orang yang kubawa hampir mati." "Anak jahanam. Anak dan ayah sama saja!" Terdengar suara benda dihancurkan. "Sebenarnya dia tidak berpihak pada Gabriel. Dari yang saya lihat dia memiliki perasaan terhadap putri Gabriel. Wanita itulah yang dia lindungi." Bryan mengepalkan tangan. "Begitukah? Siapa nama putri Gabriel itu?" tanya Rhein. "Angeline." Rhein tertawa, "Bukankah itu membuat semuanya lebih mudah? Jika aku berhasil memegang anak itu, bukankah dua orang akan takluk kepadaku tanpa syarat?" Bryan bisa membayangkan wajah tuannya tersenyum licik, "Benar sekali, Tuan." "Pikirkanlah caranya, Bryan.
Sembari melihat grafik rumit di laptop, Nathan memperhatikan Angeline yang bermain dengan Olivia di pangkuan. Tidak dipungkiri wanita itu tetap terlihat cantik dan selalu mampu memancing gairahnya yang tergolong tinggi. Nathan menghela nafas. Memiliki istri yang cantik memiliki tantangan tersendiri. Misalnya, butuh tenaga ekstra untuk menjaganya dari serigala-serigala kelaparan di luar sana. Kadang dia berpikir, apakah lelaki lain juga bersikap posesif terhadap wanita mereka, atau hanya dirinya? "Ups, jangan tarik rambut, Sayang. Mama sakit loh." Dengan lembut Angeline membuka kepalan tangan Olivia yang menggenggam juntaian rambutnya. Bayi itu tersenyum lebar karena merasa ekspresi sang ibu terlihat lucu. "Mama lupa ikat rambut sih." Angeline menoleh ke arah Nathan dan berkata, "Nath, titip Oliv sebentar. Aku mau ambil ikat rambut." "Oke." Nathan menerima Olivia dengan senang hati. "Kamu mau minum sesuatu? Jus? Teh manis?" Angeline berdiri. "Tidak usah
Dua lelaki berpengaruh di Macau berdiri bersebelahan di depan sebuah landmark terkenal, Ruins of Saint Paul's. Para pengawal pribadi berpakaian jas hitam berbaur di antara wisatawan yang meramaikan area tersebut. Tidak ada yang menyadari siapa dua lelaki yang sedang memandangi reruntuhan gereja dari abad ke-16 itu. "Wilayah kekuasaanmu terlalu banyak, Gabriel." Rhein Long buka suara, berusaha bicara dengan tenang di tengah keriuhan percakapan para turis. "Aku telah bekerja keras selama puluhan tahun," kata Gabriel sebagai jawaban. Rhein menatap bagian atas reruntuhan gereja tua di hadapan mereka, "Adalah bijaksana bersikap rendah hati. Kamu bisa mundur sedikit dan membagi wilayahmu untuk orang lain." Gabriel tersenyum tipis, "Aku juga mengatakan hal yang sama kepadamu. Tidakkah cukup kamu mengambil seluruh wilayah pamanku? Bukankah seharusnya aku punya bagian juga?" "Tampaknya Macau terlalu kecil untuk kita berdua, Gabriel. Bukankah kamu memiliki bisnis di luar
"Rafa, lepas sepatu sebelum naik ke tempat tidur! Nathan! Tolong pasang boks Oliv! Mana tas popok ya?" Angeline sibuk mengatur segala sesuatu. Nathan segera membantu memasangkan boks bayi portabel untuk tempat Olivia bermain. Lelaki itu tahu, wanita yang sedang kerepotan harus cepat dibantu sebelum emosinya meledak. "Oke. Beres. Sekarang Oliv sudah bersih dan wangi." Angeline mencium pipi bayinya setelah beres mengganti popok. "Iyuh! What's that smell??" Rafael menjepit hidung. "Kamu ya. Dulu waktu bayi kamu juga pup di popok." Angeline membungkus popok bekas dan membuangnya di tempat sampah. Rafael meringis, tidak tahu bagaimana harus membalas. Dia duduk di atas kasur memandangi adik bayinya yang sedang berceloteh. Baginya Olivia terlihat seperti boneka hidup, tapi boneka yang tidak bisa dimainkan. "Siapa mau berenang?" tanya Nathan. "Aku! Aku mau!" Rafael melonjak kegirangan, lupa kalau ada bayi di dekatnya. "Rafael!" pekik Angeline melihat lutut